Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orangtua Jangan Tersulut Emosi Saat Anak Berantem dengan Sebaya

5 Juli 2021   22:38 Diperbarui: 8 Juli 2021   23:18 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berantem dengan teman sebaya (SHUTTERSTOCK)

Masalah anak-anak biasanya berkisar di mainan atau adu omongan atau rebutan dengan teman-teman sebaya dan seterusnya. Bagi kita orangtua, mungkin masalah tersebut terkesan sepele atau remeh.

Tetapi kalau melihat dari sudut pandang anak, tentu bukan masalah sepele. Bayangkan betapa sedihnya, dikucilkan di lingkungan sepermainan. Saat teman ngumpul, tiba-tiba kehadirannya tidak dipedulikan.

Hal demikian tentu tidak nyaman, menjadi pikiran untuk anak seusianya. Bahkan mungkin ditahap menyinggung harga diri, mencoreng nama di tengah lingkup pertemanan.

Dan orangtua, tempat paling tepat untuk mengadu. Tentang perlakuan sebaya diterima dianggap tak memihak kepadanya. Tentang ketidakadilan di pergaulan membuatnya nelangsa dan merasa tersisih.

Bagi saya, curhatnya anak pada ayah dan atau ibu ibarat golden moment. Kesempatan langka jangan disia-siakan, saat membangun kedekatan bisa dimulai dari obrolan hati ke hati.

Tak penting topik dibahas, selama anak merasa ditanggapi, dia akan menemukan pahlawan bagi dirinya.

Masalahnya, siapkah orangtua melapangkan diri dan waktu? 

Dalam kondisi standar dan tenang, bisa saja ayah menanggapi dengan baik.  Tetapi saat badan sedang kecapekan, banyak masalah kerjaan mendera, pikiran kusut menanggung beban, tentu akan lain situasinya.

Selain tak leluasa dan tak fokus menanggapi obrolan, reaksi spontan (orangtua) muncul bisa jadi tidak seperti yang diinginkan.

Kemungkinan si anak terkena marah atau justru anak orang lain (yang diceritakan anak) kena semprot.

Wah, kalau sudah marah ke anak orang lain kemudian ke orangtuanya juga, bakalan panjang ceritanya,

-----

Minggu siang, saya dikejutkan suara kencang dari luar pagar rumah. Suara setengah teriak, di sela-sela tangisan anak kecil.

"Paaaak, ini anaknya yaa" 

Saya dan istri mendengar dari dalam, tak segera beranjak. Bersitatap, mengira-ngira suara siapa yang terdengar berap-api dari luar.

Kebetulan di rumah sebelah, ada orang baru yang menyewa. Masih terhitung tetangga baru karena tinggal baru hitungan bulan. Kami belum saling mengenal dan belum ngobrol.

sumber gambar | Sumber: lifesylekompas
sumber gambar | Sumber: lifesylekompas
Sementara dengan empunya rumah, hubungan kami cukup baik. Terutama istri sering dititipi pesan, kalau ada yang berminat menyewa atau membeli rumah.

Kami tetangga kanan kiri juga ditawari rumah. Tetapi saya belum menyanggupi, mengingat harga dibuka untuk ukuran saya lumayan tinggi.

"Paaaak, buuu," teriakan kedua terdengar.

Saya dan istri semakin terhenyak, seperti membuat kesepakatan dalam diam. Dengan sedikit gerakan kepala istri, saya paham tugas si ayah keluar menghadapi orang sedang teriak.

Sembari bergegas ke teras, saya mendapati anak wedok nangis di sudut ruang tamu. Feeling saya bekerja bahwa baru saja terjadi "perang" antar anak.

Dan semakin mengerucut kesimpulan, bahwa di depan rumah adalah tetangga sebelah rumah. Suara tangisan di luar, adalah tangisan anak tetangga.

Orangtua Jangan Tersulut Emosi Saat Anak Berantem dengan Sebaya

Saya punya beberapa buku parenting dan beberapa kali ikut kelas bertema pengasuhan. Ada poin yang sangat membekas dan menjadi catatan tersendiri buat saya.

Konon anak tak ubahnya kita manusia dewasa, mereka dengan fitrah kemanusiaan, memiliki badai dan jalan terjal musti dilalui.

Ada bagian kehidupan anak yang sebaiknya jangan dicampuri orangtuanya. Maksudnya ketika anak punya masalah, orangtua jangan lekas turun tangan.

Ayah dan ibu bisa memfungsikan diri sebagai support system, memberi masukan atau nasehat. Selebihnya biarlah anak maju menghadapinya, biarlah anak belajar sebagai eksekutor.

Ada ujian yang memang sebaiknya dihadapi anak sendiri karena akan memberi dampak baik bagi pondasi kepercayaan diri.

Karena dari masalah tersebut, anak punya kesempatan belajar bertanggung jawab dan menyelesaikan masalahnya.

----

sumber gambar | rumah.com
sumber gambar | rumah.com
"PAK..!"

Sungguh saya dibuat kaget, kemunculan saya di teras disambut dengan (saya mengartikan) bentakan. 

Puluhan tahun tinggal di lingkungan ini, baru ini satu-satunya tetangga yang terang-terangan ngajak berantem.

Amarah meluap itu, saya tanggapi dengan (berusaha) dingin. Hingga saya tahu duduk masalahnya, rupanya anak tetangga baru saja diguyur air oleh anak saya.

Masalahnya adalah (masalah) umumnya anak-anak, berebut kucing yang kerap lewat depan rumah kami. Anak saya kerap memberi makan,, tetapi anak tetangga mengaku ngaku itu kucing miliknya.

Sebagai penghuni lama, anak saya tidak terima, kemudian jengkel dan menyiram air ke teman sebaya.

Si ibu tidak terima anaknya basah kuyub, kemudian melabrak saya. Beruntung saya tak membalas sehingga tak ada perang antar orangtua (setelah antar anak).

Saya meminta maaf, dan akan menasehati anak saya.

Kompasianer, setelah kemarahan di minggu siang itu. Besoknya, lusanya, lusanya lagi, si ibu jadi lumayan jarang keluar rumah. Dan uniknya, sang suami justru kebalikan dengan istri. Kerap menyapa saya tanda akrab, saya balas dengan sikap semisal.

Kalau dipikir- pikir, apa untungnya orangtua ikut campur masalah anak-anak. 

Kemarahan sesaat itu buntutnya panjang, merembet pada ketidakenakan yang lain.

Dan terhitung satu tahun waktu sewa habis, keluarga ini pindah tanpa pamit ke kami para tetangga. Persis seperti saat kedatangan yang juga tidak berkenalan.

So, ayah dan ibu jangan tersulut emosi saat anak berantem dengan sebaya.

Semoga bermanfaat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun