Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Datang Kondangan Bukan karena Undangan Semata

15 Januari 2020   15:37 Diperbarui: 15 Januari 2020   20:20 2690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi: Dokumentasi pribadi

"Biarin saja aku nggak datang, wong aku dua kali mantu dia nggak datang"

"Ya, nggak ada salahnya datang, sekalian untuk silaturahmi" ujar ibu lain menyela

"Silaturahmi piye, kalau datang kan juga perlu duit" balas si ibu sengit

Percakapan seperti ini, pernah saya dengar di sebuah pojok kampung halaman saya. Inti dari obrolan ini, adalah seorang ibu enggan mendatangi undangan pernikahan tetangga.

Pasalnya pengirim undangan, pernah diundang ke hajatan si ibu (penerima undangan dan sudah dua kali menggelar hajatan) tetapi tidak datang.

Entahlah apa alasan absennya si tetangga kurang jelas, yang pasti dengan ketidakhadiran ini rupanya telah menjadi catatan tersendiri.

Ujung-ujungnya (kalau boleh dibilang) balas dendam dilakukan, si ibu (penerima undangan) benar-benar tidak mau mendatangi undangan tetangga ini.

Hmmm, secara logika memang tidak salah. Tidak ada yang berhak menghakimi sikap ini, saya atau kompasianer mungkin akan mengambil sikap yang sama (yaitu tidak datang).

Dan hukum kehidupan tidak bisa dipungkiri terjadi, bahwa setiap yang kita perbuat akan menuai hasilnya sendiri (entah cepat atau lambat)

-----

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Saya punya bulek (adik kandung dari ibu saya), ketika menggelar hajatan berlimpah tamu yang datang. Saking banyaknya, sampai menutup jalanan kampung. Padahal rumahnya lumayan besar (layaknya rumah khas kampung), tetapi tamu datang tidak tertampung.

Para ibu dan para gadis sekitar, dengan sukarela membantu memasak. Biasanya kesibukan di dapur terasa, beberapa hari sebelum hari H. Tetapi tetap ada team inti untuk memasang, terdiri dari dua tiga tukang masak profesional (biasanya ibu-ibu).

Tukang masak inti dipilih yang berpengalaman, memang sengaja dipanggil dan dibayar oleh empunya rumah. Si ibu tukang masak inti, bertanggung jawab atas kesiapan, kecukupan, dan (tentu saja) cita rasa menu untuk tamu.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Sementara para bapak dan perjaka, sibuk untuk urusan memasang tenda dan mengatur meja kursi. Kesibukan para lelaki semakin tampak, sehari menjelang hari pernikahan dilaksanakan.

Kemudian kesibukan perjaka bergeser, menjadi pelayanan (di desa saya namanya sinoman) ketika hari berlangsung pernikahan. Tenaga muda dan perkasa ini, menjadi andalan mengantar suguhan tamu. Para anak muda diberi seragam, dengan koordinator satu orang paling disegani.

Semua tetangga yang datang dan rewang (membantu) secara sukarela, tidak ada yang dibayar dengan sejumlah uang. Mereka hanya ditanggung makan dan minum, selama kesibukan acara pernikahan dilangsungkan.

Para ayah yang sudah sepuh, bertindak sebagai among tamu dan mendapat baju seragam. Baju seragam motif batik, sekaligus menjadi kenang-kenangan dari tuan rumah.

Sungguh, suasana guyub dan penuh gotong royong, benar-benar bisa dirasakan di kampung halaman. Warga bahu membahu dengan kesadaran sendiri, dilakukan dengan tulus tanpa pamrih.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Alasan Datang Kondangan Bukan karena Undangan Semata

Di kampung halaman saya (mungkin di kampung lain juga), masih berlaku (semacam) balas budi. Artinya kalau seseorang menanam budi, suatu saat akan dikembalikan budi tersebut.

Pun masalah undangan pernikahan, hal yang sama (balas budi) otomatis akan berlaku. Orang yang mendatangi hajatan, nanti pada saat punya hajat akan ganti didatangi.

Jadi kalau ada pernikahan di desa, kemudian tamu yang datang sampai membludak. Hal ini bisa menjadi indikasi, bahwa pemilik hajatan rajin datang ke kondangan. Jadi bagi warga yang malas datang, tunngu saja nantinya balik tidak didatangi saat hajatan.

Bulek saya, termasuk tipe orang yang rajin memenuhi undangan pernikahan. Bahkan untuk untuk undangan beda desa, tak enggan dibela-belain datang. Maka tak heran, pada hajatan pernikahan anaknya dihadiri banyak orang.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Antar saudara kandung (biasanya) tak kalah guyub, misalnya ada kakak yang punya hajat. Saudara lain juga ikut turun tangan, ada yang kebagian membeli beras, yang lain menyediakan minuman kemasasan atau kue-kue dan seterusnya.

Cara mengembalikannya juga sama, kelak ketika saudara (yang menyumbang) menggelar pernikahan untuk anak maka saudara yang berpiutang dibalas.

----

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Tapi saya agak bingung, dengan hajatan yang digelar di perkotaan. Model balas budi seperti di desa saya, saya pikir agak susah untuk diterapkan.

Dulu ketika di awal merantau di ibu kota, beberapa kali saya mendatangi pernikahan teman sekantor. Kemudian hanya satu tahun berteman, saya (atau teman ini) pindah pekerjaan dan lingkaran pertemanan berubah drastis.

Maka ketika saya menikah, terus terang ada kendala saat mengirim undangan kepada teman pernah didatangi. Bisa karena sudah ganti nomor telepon, bisa karena pindah kost dan seterusnya.

Pun teman yang pernah datang ke pernikahan saya, ternyata juga mengalami kebingungan seperti saya alami. Pernah saya bertemu kawan sewaktu bujang, sedang berjalan-jalan bersama istri dan anak-anaknya.

"Kok pas merrid nggak ngundang,"celetuk saya.

"Gue nyariin lo, susahnya minta ampun," balasnya

Terdapat maksud, dibalik menghadiri setiap undangan pernikahan. Untuk warga desa, (mungkin) bisa menjadi ajang berbalas budi. 

Sedang bagi kaum urban, (kalau saya) datang untuk alasan pertemanan.Urusan nanti dibalas datang atau tidak, bagi saya (yang tinggal di kota) tidak terlalu dipikirkan.

Semoga bermanfaat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun