Meskipun saya laki laki, tetapi pada satu hal ini saya sangat tidak setuju (tepatnya menentang). Ketika mendengar atau mendapati kisah, suami yang pengin menikah (lagi), padahal sang istri belum lama meninggal (apalagi kalau istri masih sehat wal'afiat).
Rasanya campur-campur, antara gemes, kesel, geram dan bingung musti berkata apa. Apa ya, yang terlintas di benak suami seperti ini. Sementara bunga ditabur di atas makam mendiang istri, kelopaknya masih juga segar bugar dan merona.
Sementara dia menjadi saksi, anak-anaknya turun ke liang lahat demi mengubur sang ibunda. Peluh dan keringat anak-anak, belum juga sepenuhnya kering di dahi. Tiba-tiba sudah disodorkan keinginan si ayah, ingin segera menikah di usia yang sudah sepuh.
Saya seorang laki-laki, seorang suami, dan ayah, bakal berpikir berulang kali, untuk mengambil keputusan (menikah) secepat itu. Keputusan yang (menurut saya) kurang elok, dan sekiranya bakal menggores perasaan orang yang dikasihi (baca anak-anak).
-------
"Cinta itu ingin memberikan, mungkin ada kecemasan, ketika tidak bisa memberikan kepada pasangan. Tetapi ketika reaksi pasangan, bahwa memberi bisa dalam bentuk yang lain. Maka itulah yang disebut empati, bahwa perkawinan adalah tempat berbagi, bahwa perkawinan tidak menuntut, dan ini yang membuat perkawinan indah sekali,"Â Ieda P. Sigit Sidi, Konsultan Perkawinan.
Bukan profesi dan tingkat keilmuan Eko Pratomo, yang membuat saya jatuh suka dan berdecak kagum. Tetapi tentang pilihan sikap setia, ketika belahan jiwa sedang terpuruk telah teruji. Sehinga membuat saya, perlu banyak belajar kepada pria berhati mulia seperti beliau.
Eko Pratomo memilih bergeming, tetap mendampingi sang istri Dian Wahdini Syarief. Pada usia pernikahan ke sembilan, Sang istri terdiagnosa sakit lupus yang menyebabkan kehilangan 95% penglihatan.
Kesetiaan sebagai laki-laki ini semakin teruji, tak lama setelah menderita lupus, mendapati kenyataan , rahim Dian  terpaksa diangkat. Masalah klasik terjadi, ketiadaan anak biasanya menjadi salah satu alasan laki-laki ingin menikah lagi. Sebagai istri, Dian merasa tidak mampu membahagiakan suami. Maka dengan penuh kesadaran dan kerelaan, mempersilakan sang belahan jiwa menikah lagi.