Saat ngobrol, sesekali anak memberi masukan kepada ayah dan ibunya, tentang mana yang sebaiknya boleh dilakukan dan tidak saat berada pada situasi tertentu.
Dulu, kalau menyambangi anak ke Pondok, saya kerap memakai kemeja biasa atau kaos berkerah dan celana jeans. Rupanya hal ini mendapat perhatian  anak, dengan bahsa sopan anak kesayangan berujar, bahwa secara adab sebaiknya memakai baju lebih pantas. Sejak saat itu, setiap ke pondok saya memakai celana bahan dan baju koko.
Hal yang sama berlaku pada masalah lain, pada liburan Ramadan yang lalu, saya tercerahkan tentang adab dan prioritas bersedekah, memberi oleh-oleh tetangga setelah bepergian dan lain sebagainya. Orangtua mana tidak bahagia, mendapati anak yang lebih paham dari dirinya sendiri.Â
------
Artinya, sekolah umum masih dijadikan jujugan dan sangat banyak peminatnya, dampaknya pada kompetisi sangat ketat dan lebih berat. Saya jadi berandai-andai, kalau sebagian dari kita mulai memilih Pondok Pesantren sebagai alternatif pilihan, setidaknya kita orangtua tidak dibuat pusing dengan pemberlakuan sistem zonasi saat ini.
Banyak Pondok Pesantren yang bagus, bahkan berkelas Internasional dengan biaya terjangkau, atau kalau mau jeli dan mencari informasi bisa juga mengambil jalur beasiswa (seperti pernah kami upayakan). Ilmu didapat dari Pesantren juga tak kalah keren, anak-anak juga siap berkompetisi di lapangan pekerjaan.
Sependek pengetahuan saya, anak-anak yang alumni Pesantren, biasanya lebih siap untuk mandiri di bidang pekerjaan (mereka banyak yang berwirausaha atau membuka usaha sendiri) dan siap terjum di tengah masyarakat. Di Pesantren ada masa namanya pengabdian, sebelum dilepas anak-anak dibekali pengalaman menjadi pengajar di Pondok dan mencari peluang penghidupan.
Masa pengabdian, adalah kesempatan anak menempa mental, santri diajak melihat apa yang ada di hadapan mereka dijadikan sebagai peluang untuk berkarya (dan tentunya menghasilkan).