Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pondok Pesantren, Solusi Alternatif Atas Sengkarut Sistem Zonasi

25 Juni 2019   07:05 Diperbarui: 26 Juni 2019   10:12 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari belakangan di timeline medsos saya, bertebaran status tentang bagaimana galau dan deg-degan-nya para orangtua, yang tahun ini berjibaku mendaftarkan anak-anaknya ke SMP dan atau SMU. Menyoal pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) 2019, rupanya membuat (beberapa orangtua) terkendala pada beberapa hal teknis di lapangan.

Si anak yang nilainya bagus dan berprestasi, ternyata tidak diterima di sekolah yang dituju (baca favorit), lantaran jarak antara rumah ke sekolah tidak memenuhi syarat zonasi. Ada yang mengusulkan, pembagian prosentase kuota penerimaan murid baru, sekian persen mengacu prestasi, sekian zonasi dan seterusnya.

Sebagai ayah, saya menaruh empati sangat tinggi, kepada para orangtua yang berikhtiar lahir batin buat buah hati tercinta. Pengorbanan tulus ayah dan ibu, niscaya akan menjadi benih subur di sanubari anak-anak, menjadi alasan bakti mereka kelak (meskipun saya yakin, kita orangtua tidak focus pada balas budi).

Melalui status di medsos, saya bisa merasakan, bagaimana semangat para orangtua, yang selalu mengupayakan terbaik demi masa depan anak-anak. Senang dan sedih ditanggung anak-anak, pasti akan dirasakan lebih oleh ayah dan ibunya.

Tak urung saya turut mendoakan, semoga apa yang diharapkan dapat tercapai, dilancarkan dan dimudahkan segala usaha, sehingga anak-anak diterima di sekolah yang dituju---Amin,

Subhanalloh, mendadak saya sangat kagum atas bukti kasih dari Sang Maha Pengasih, yang telah menghadirkan tekad kuat di kalbu setiap orangtua. Sehingga mereka rela dan direlakan, dengan sepenuh kesadaran bersedia mengorbankan apa yang dimiliki untuk buah cinta dikasihi.

Jujur, saya bukan orang yang berkompeten untuk membahas, bagaimana rumit dan silang sengkarut sistem zonasi. Karena saya belum berpengalaman, atau tepatnya tidak mengalami sendiri repotnya mendaftarkan anak ke sekolah berbasis zonasi. (sulung saya, sekarang setara kelas dua SMP).

tribunjateng.com
tribunjateng.com
----

Masih terekam di benak, sekira bulan Maret setahun yang lalu, saya juga merasakan, bagaimana deg-deg-annya menanti detik-detik pengumuman hasil test beasiswa di sebuah Pondok Pesantren. Kala itu sulung saya sedang bersaing dengan ratusan calon santri lain, yang berasal dari berbagai kota (seingat saya, dari Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, NTB)

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Pada seleksi awal, alhamdulillah nama anak saya masuk dalam daftar 60 besar, untuk kemudian berhak mengikuti karantina selama 4 hari untuk disaring menjadi 30 santri. Proses karantina yang cukup menegangkan, tidak hanya anak yang mengikuti serangkaian test dan kegiatan, tetapi orangtua juga menghadapi sesi wawancara.

Tak hentinya saya dan istri merapal doa, di setiap waktu dan kesempatan, baik saat berkegiatan di rumah, di perjalanan atau di mana saja kami mengingat anak, maka disitu hembusan lirih doa kami lantunkan dalam hati. 

Sekira pertengahan bulan April (tahun lalu juga), hasil seleksi akhir diumumkan, saya benar-benar dibuat gelisah dan tidak jenak duduk, berdiri, makan dan minum seharian. Setiap detik, saya terus memeriksa email dan website pondok pesantren.

Daaan, akhirnya nama anak saya tidak ada dalam daftar. Pada pengumuman penentuan tersebut, memastikan bahwa anak lain lebih berhak atas beasiswa di Pondok idaman.

Seketika tubuh si ayah lunglai, tulang belulang di dalamnya seperti terlepas dari tempatnya. Saya berusaha menenangkan diri sendiri, mencoba berdamai dengan situasi yang (rasanya seperti) tidak adil.

Untungnya, selepas seleksi awal (di bulan Maret) sambil menunggu pengumuman masuk karantina, kami sudah mendaftar dan test di Pesantren lain (di Pesantren kedua tidak ada jalur beasiswa). Dan dinyatakan lulus lebih dulu, namun (saat itu) harapan kami tetap tertuju pada pesantren yang ber-beasiswa.

"Nggak apa kak, kita syukuri bahwa rejeki kita di Pesantren kedua, ini pasti yang terbaik menurut Alloh" ayah dan anak bersepakat

Pondok Pesantren, Solusi Ruwetnya Sistem Zonasi

alinea.id
alinea.id

Saya mendengar informasi, bahwa sejauh ini sistem zonasi berlaku pada sekolah negeri yang ada di bawah naungan Kemendikbud, sementara untuk MTSN dan MAN (dibawah Kemenag) tidak berlaku. Hal yang sama (non zonasi) juga berlaku, untuk jalur pendidikan melalui Pondok Pesantren (kalau pesantren saya mengetahui dari ustad wali kelas).

Memilih menuntut ilmu di Pesantren memang butuh persiapan, keinginan itu sebaiknya muncul dari anaknya sendiri atau bisa inisiatif orangtua tapi disampaikan jauh hari.

Baca artikel : Persiapkan Diri Sebelum Anak Masuk Pesantren

Anak yang memilih nyantri, setidaknya dia bersedia berproses selangkah lebih dulu dibanding teman yang sekolah umum, yang paling tampak adalah si anak bersedia tinggal terpisah dengan orangtuanya (sebagian besar sekolah umum anak masih pergi pulang rumah ke sekolah)

Dari sisi kemandirian, di Pondok juga punya kesempatan untuk ditempa lebih dulu. Anak dituntut belajar menyelesaikan masalahnya sendiri, ada apa-apa tidak langsung mengadu dan berlindung pada orangtuanya (yang secara naluri akan melindungi anak kalau ada apa-apa).

Anak belajar kemandirian dari hal paling sederhana dalam keseharian, mulai dari merapikan tempat tidur dan selimut setelah bangun tidur, mencuci gelas dan piring selepas makan dan minum, mencuci pakaian (biasanya celana dalam) sendiri dan lain sebagainya.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Tanpa terasa, satu tahun sudah terlewati anak mondok, saya bisa merasakan perubahan positif pada diri anak (dan teman-teman di Pondok pada umumnya). Sulung saya lebih hormat dan sopan pada orang lebih tua, hal ini tampak baik dari bahasa tubuh dan bahasa verbal.

Saat ngobrol, sesekali anak memberi masukan kepada ayah dan ibunya, tentang mana yang sebaiknya boleh dilakukan dan tidak saat berada pada situasi tertentu.

Dulu, kalau menyambangi anak ke Pondok, saya kerap memakai kemeja biasa atau kaos berkerah dan celana jeans. Rupanya hal ini mendapat perhatian  anak, dengan bahsa sopan anak kesayangan berujar, bahwa secara adab sebaiknya memakai baju lebih pantas. Sejak saat itu, setiap ke pondok saya memakai celana bahan dan baju koko.

Hal yang sama berlaku pada masalah lain, pada liburan Ramadan yang lalu, saya tercerahkan tentang adab dan prioritas bersedekah, memberi oleh-oleh tetangga setelah bepergian dan lain sebagainya. Orangtua mana tidak bahagia, mendapati anak yang lebih paham dari dirinya sendiri. 

------

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Memang, setiap orangtua dan anak, bebas memilih jenjang pendidikan yang akan ditempuh. Tetapi kalau menilik kecenderungan terjadi, kebanyakan kita para orangtua masih memilih pendidikan di jalur umum. Dalam satu kelas di MIN (Madarasah Ibtidaiyah Negeri) tempat sekolah anak saya dulu saja, tidak sampai sepertiganya anak memilih meneruskan di Pondok.

Artinya, sekolah umum masih dijadikan jujugan dan sangat banyak peminatnya, dampaknya pada kompetisi sangat ketat dan lebih berat. Saya jadi berandai-andai, kalau sebagian dari kita mulai memilih Pondok Pesantren sebagai alternatif pilihan, setidaknya kita orangtua tidak dibuat pusing dengan pemberlakuan sistem zonasi saat ini.

Banyak Pondok Pesantren yang bagus, bahkan berkelas Internasional dengan biaya terjangkau, atau kalau mau jeli dan mencari informasi bisa juga mengambil jalur beasiswa (seperti pernah kami upayakan). Ilmu didapat dari Pesantren juga tak kalah keren, anak-anak juga siap berkompetisi di lapangan pekerjaan.

Sependek pengetahuan saya, anak-anak yang alumni Pesantren, biasanya lebih siap untuk mandiri di bidang pekerjaan (mereka banyak yang berwirausaha atau membuka usaha sendiri) dan siap terjum di tengah masyarakat. Di Pesantren ada masa namanya pengabdian, sebelum dilepas anak-anak dibekali pengalaman menjadi pengajar di Pondok dan mencari peluang penghidupan.

Masa pengabdian, adalah kesempatan anak menempa mental, santri diajak melihat apa yang ada di hadapan mereka dijadikan sebagai peluang untuk berkarya (dan tentunya menghasilkan).

kegiatan berkemah- dokpri
kegiatan berkemah- dokpri
Saya tidak punya anggapan, bahwa kemandirian tidak diajarkan di sekolah umum, tetapi saya hanya ingin mengajak melihat bahwa dunia Pondok Pesantren bisa dijadikan solusi atas sengkarut sistem zonasi.

Selebihnya, soal pilihan mau menuntut ilmu di sekolah umum atau di Pesantren, sepenuhnya menjadi hak orangtua dan anak-anak. Pada ujung artikel ini, doa dan harapan terbaik saya haturkan, smoga orangtua yang masih deg-deg-an menunggu hasil kelulusan mendapatkan hasil terbaik, .buah hati bisa diterima, di sekolah yang diharapkan--Amin.

Kalaupun, ternyata belum rejeki di sekolah diinginkan (karena kendala sistem zonasi), kenapa tidak mencoba ke Pondok Pesantren.- Semoga bermanfaat-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun