Mohon tunggu...
Agustina Mappadang
Agustina Mappadang Mohon Tunggu... Dosen - Assistant Professor, Practitioner and Tax Consultant

Dr. Agoestina Mappadang, SE., MM., BKP., WPPE, CT - Tax Consultant, Assistant Professor (Finance, Accounting and Tax)

Selanjutnya

Tutup

Money

GCG dan Peran OJK pada Koperasi Simpan Pinjam Mencegah "Perampokan" Dana Anggota

12 Juli 2021   10:22 Diperbarui: 13 Juli 2021   17:19 1967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sehubungan dengan hari Koperasi 12 Juli 2021 maka Penulis tertarik membahas tentang Koperasi di Indonesia. 

Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, ibarat anak emas bagi pelaku koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah. Kemudahan, dukungan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap koperasi dan UMKM ini adalah agar mampu memperluas lapangan kerja dan berperan dalam pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mampu tumbuh menjadi usaha yang berkelanjutan dengan skala yang lebih besar dalam rangka untuk mendukung kemandirian perekonomian nasional.

Koperasi berdasarkan jenis usahanya dibedakan menjadi 4 jenis, yakni koperasi simpan pinjam, koperasi konsumen, koperasi produsen, dan koperasi jasa.

Dari hasil pendataan Kemenkop UKM, pada akhir tahun 2020, total jumlah Koperasi Aktif adalah 127.124 unit dengan jumlah total anggota 25.098.807 orang.

Walaupun saat ini kontribusi koperasi  terhadap PDB masih relatif kecil, namun diharapkan akan semakin meningkat bahkan jika memungkinkan menjadi soko guru perekonomian negara. 

Dalam tulisan ini penulis akan menyoroti koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam sebab saat ini di Indonesia jenis yang diminati masyarakat adalah jenis koperasi simpan pinjam dan selain itu sudah cukup banyak koperasi simpan pinjam yang mengakibatkan kerugian materil dan immateril kepada para anggotanya. Untuk hal tersebut penulis akan lebih spesifik menyoroti bagaimana sifat perilaku koperasi simpan pinjam tersebut.

Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah koperasi yang memiliki usaha tunggal yaitu menampung simpanan anggota dan melayani peminjaman. Anggota yang menabung akan mendapatkan imbalan jasa dan bagi peminjam dikenakan biaya jasa. Besarnya jasa bagi penabung dan peminjam ditentukan melalui rapat anggota. Jadi seharusnya KSP melakukan prinsip-prinsip keterbukaan kepada anggota, pengelolaan keuangan secara hati-hati, pembagian sisa hasil usaha yang adil, berupaya bekerja secara mandiri untuk menuju usaha yang berkelanjutan. Hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan, yakni Transparency, Accountability, Responsibility, Independence dan Fairness serta ciri utama untuk koperasi yakni adanya dasar asas kekeluargaan.

Namun disayangkan tidak sedikit KSP dalam pengelolaannya tidak menerapkan GCG, baik disengaja maupun tidak disengaja sehingga menyebabkan "gagal bayar" terhadap hak anggota. Hal tersebut umumnya diakibatkan :

  1. Pengurus tidak memahami GCG / Tata Kelola koperasi Yang Benar,
  2. Pengurus tidak hati-hati dalam mengelola dana sehingga anggota yang meminjam tidak bisa mengembalikan pinjamannya,
  3. Kurangnya penerapan teknologi informasi yang sangat diperlukan dalam pengelolaan keuangan,
  4. Oknum Pengurus melakukan kecurangan/penggelapan atas dana anggota,
  5. Pengurus secara bersama-sama ("Para Pelaku Kejahatan") melakukan "Shadow Banking" secara terencana, tersistem dan masif dengan tujuan "Penggelapan / Perampokan" dana anggota secara besar-besaran.

Dari ke 5 kriteria diatas, yang paling berbahaya adalah point ke 5, sebab mengakibatkan begitu banyaknya anggota KSP yang mengalami kerugian.

"Shadow Banking" pada KSP adalah suatu aktivitas KSP yang melakukan penghimpunan dana, investasi serta pinjaman, namun aktivitas KSP tersebut seakan lepas dari pengawasan Kemenkop UKM dan Otoritas Jasa Keuangan, bahkan "Para Pelaku Kejahatan" dengan mudahnya terhindar dari regulasi  Kemenkop UKM dan OJK sehingga memungkinkan mereka lepas dari jerat sanksi pidana.

"Shadow Banking" umumnya dilakukan dengan urutan sebagai berikut :

  1. Mempersiapkan institusinya agar dikenal masyarakat luas sebagai perusahaan yang memiliki "kredibilitas dan kapabilitas yang baik / sehat",
  2. Memberikan  penawaran jasa yang tinggi atas produknya agar masyarakat banyak tertarik menjadi anggotanya,
  3. Melakukan metode/skema Ponsi yakni "Gali Lubang Tutup Lubang", artinya  dana yang sangat besar dari anggota baru digunakan hanya sedikit untuk menutup kewajiban jasa kepada anggota lama,
  4.  Setelah dana terkumpul sangat besar (biasanya mencapai triliunan rupiah), pengembalian dana anggota tidak dilakukan alias "gagal bayar".
  5. Umumnya setelah kondisi "gagal bayar" maka "Para Pelaku Kejahatan" akan berupaya berbagai cara membawa kondisi KSP tersebut pada kondisi PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) yang ujungnya berlindung pada keputusan Pengadilan Niaga sehingga umumnya anggota mau tak mau menerima pengembalian secara dicicil dalam waktu yang sangat panjang, bahkan tanpa mendapatkan kepastian.

Jelas hal tersebut sebenarnya merupakan "KEJAHATAN PIDANA TERENCANA" YANG SANGAT JAHAT sehingga harus diusut tuntas dan "Para Pelaku Kejahatan" dihukum seberat-beratnya dan juga seluruh asset mereka disita untuk digunakan sebagai pengembalian dana kepada para anggota yang terdampak.

Penulis berharap Pemerintah Indonesia (Eksekutif) bersama-sama lembaga lainnya (Legislatif, Yudikatif) bersatu padu segera mengambil tindakan nyata dan tegas untuk menyelamatkan masyarakat dari perilaku "Para Pelaku Kejahatan" serta menerapkan sanksi hukum seberat-beratnya kepada "Para Pelaku Kejahatan" tersebut demi memperbaiki citra dan kemakmuran negara Indonesia yang kita cintai.

Terkhusus dalam hal ini Kemenkop UKM agar segera mengeluarkan regulasi mengenai keharusan setiap koperasi melakukan GCG (Tata Kelola Perusahaan) serta mengevaluasi kembali sistem pengawasan dengan melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta dalam menjaring kembali dana anggota yang digelapkan maka perlu  melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kepolisian Republik Indonesia karena tak menutup kemungkinan terjadi "Pencucian Uang" dalam "penggelapan/Perampokan" dana anggota tersebut.  

Mengapa harus melibatkan OJK ?, sebab penggalangan dana yang begitu besar yang dilakukan KSP tak beda dengan kondisi suatu lembaga jasa keuangan lainnya sehingga regulasi dan pengawasannya perlu melibatkan OJK. Selama ini KSP relatif dikenakan regulasi yang jauh lebih "ringan" terkait tata kelola.  

Penerapan regulasi kepada KSP agar wajib melakukan GCG untuk memastikan bahwa pengelolaan KSP berjalan pada jalur yang benar sehingga tidak terjadi "Perampokan Dana Anggota KSP". Namun jika tindak kejahatan / kecurangan dilakukan secara berjamaah dari pemegang-pemegang kebijakan dalam KSP maka sebaik-baiknya prinsip-prinsip GCG yang harus diterapkan dalam suatu manajemen tetap tak ada artinya. Untuk itulah perlu pengawasan yang ketat dari Kemenkop UKM dan OJK.

Penulis menyadari bahwa masih adanya "kekosongan regulasi" agar produk KSP dapat "terikat" dengan regulasi yang dikeluarkan OJK, walaupun saat ini sebenarnya OJK telah memiliki dasar hukum melalui POJK Nomor 20/POJK.04/2019 terkait penerbitan efek bersifat utang atau sukuk yang dilakukan tanpa penawaran umum (EBUS) atau yang lazim disebut Surat Utang Jangka Menegah (Medium Term Notes/MTN) yang berlaku efektif per 1 Juni 2020, namun tetap produk KSP ini belum "terikat" oleh POJK Nomor 20/POJK.04/2019 tersebut dengan argumen bahwa produk KSP adalah merupakan Simpanan Berjangka bukan Surat Utang.

Sebagai penutup, penulis mengambil contoh kasus yang terjadi di salah satu KSP, yakni Koperasi Simpan Pinjam "SEJAHTERA BERSAMA" (KSP-SB) yang berkantor pusat di Bogor, yang memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia.

KSP-SB ini pernah mendapatkan predikat sebagai salah satu dari 10 Koperasi "Terbaik / Tersehat" di Indonesia dari pemerintah Indonesia, cq. Kemenkop UKM ?????. Sehingga dengan predikat tersebut masyarakat sangat percaya akan kredibilitas dan kapabilitas  KSP-SB tersebut !!!!!!. Namun berdasarkan hasil verifikasi PKPU per Agustus 2020 ternyata KSP-SB mengalami "gagal bayar" kepada  58.825 anggotanya dengan total dana sebesar Rp.8.878.103.454.763 (Sebagai tambahan informasi bahwa dalam laporan keuangan intern KSP-SB tercatat total anggotanya adalah  173.875 anggota. Bisa dibayangkan jika seluruh anggota tersebut mengalami "gagal bayar" dari KSP-SB, dan jika diberlakukan perbandingan lurus maka nilai "gagal bayarnya" tidak kurang dari Rp. 25 Triliun.)

Hasil tanya jawab penulis dengan beberapa anggota KSP-SB ("Anggota") yang terdampak "gagal bayar" adalah diakibatkan beberapa faktor, antara lain :

  • Pergantian pengawas pengurus sejak berdirinya KSP-SB tahun 2004 tidak sesuai regulasi.
  • Adanya hubungan sedarah dan semenda dalam pengurus pengawas.
  • "Anggota" tidak pernah menerima SHU  
  • "Anggota" tidak pernah diikutsertakan dalam RAT (diragukan kuorum- nya).
  • RAT dilakukan 1 arah dimana "Anggota" tidak diberikan kesempatan berdiskusi.
  •  "Anggota" sulit bertemu pengawas pengurus untuk mendapatkan keterangan mengenai kondisi KSP-SB.         
  •  KSP-SB menggunakan akuntan publik secara terus menerus dan hasil audit tidak pernah dinformasikan ke "Anggota" di dalam RAT.
  • Hasil data laporan keuangan internal per 31 Des 2019 dalam RAT dengan Hasil PKPU sangat berbeda jauh. Terjadi selisih pengakuan kewajiban kepada anggota sebesar Rp.5.7Triliun dimana KSP-SB mencatat sebesar +/- Rp.3.131Triliun dan putusan PKPU Rp.8.878Triliun. Sehingga diindikasikan terjadi Rekayasa Laporan Keuangan. 
  • Unit Usaha dan anak perusahaannya KSP-SB bergerak diluar koridor Koperasi Simpan Pinjam, yakni di bidang ritel, furniture, pengembang properti, perminyakan, saham dan perhotelan.

Keadaan tersebut secara nyata diakibatkan tidak efektifnya pengawasan yang dilakukan Kemenkop UKM serta tidak dijalankannya GCG dalam KSP-SB, yakni :

1.       Tidak adanya Keterbukaan (Prinsip "Transparency")

2.       Kebijakan Yang Diputuskan Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan (Prinsip "Accountability")

3.       Tidak Bertanggungjawab Atas Hasil Pelaksanaan (Prinsip "Responsibility")

4.       Adanya kepentingan pihak tertentu  (Prinsip "Independence")

5.       Tidak Adanya Keadilan, Kewajaran dan Kejujuran (Prinsip "Fairness")

Dengan kondisi tersebut di atas, kiranya Pemerintah Indonesia, Cq. Kemenkop UKM tidak "Lepas Tangan", namun berperan aktif membantu para anggota KSP-SB untuk mencarikan jalan keluar terbaik, terlebih anggota KSP-SB mayoritas adalah masyarakat "kecil" yang sangat membutuhkan dana disaat pandemi ini, sebab sering terjadinya kejahatan penggelapan dana anggota pada institusi KSP dan adanya kesan "Lepas Tangan" nya Kemenkop UKM atas musibah yang dialami anggota KSP akan berdampak hilangnya kepercayaan masyarakat kepada koperasi, khususnya KSP. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan harapan Pemerintah Indonesia yang saat ini dipimpin oleh Bapak Presiden Joko Widodo dengan dikeluarkannya Undang-Undang Cipta Kerja, bahkan akan mempermalukan citra Indonesia dimata international.

Terimakasih, Jakarta 12 Juli 2021

Penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun