Ini menunjukkan bahwa tekanan untuk selalu responsif bisa mengganggu keseimbangan emosional dan pikiran mereka.
Kondisi seperti ini juga berkaitan dengan Fear of Missing Out (FoMO). Beberapa mahasiswa merasa khawatir jika tertinggal informasi penting atau dianggap tidak peduli hanya karena terlambat merespons. Rasa tidak enakan juga menjadi alasan mereka tetap membuka dan membalas pesan, meskipun sedang merasa lelah. Seperti yang dikatakan informan lainnya,
"Kadang saya balas pesan cuma karena gak enakan, takut dianggap sombong."
Selain itu, ada juga tekanan dari lingkungan sosial yang tidak selalu diucapkan secara langsung, tapi terasa. Dalam circle pertemanan, kehadiran digital sering kali dianggap sebagai bentuk perhatian. Jika seseorang jarang aktif, bisa saja dianggap menjauh atau berubah. Padahal, kondisi psikologis tiap orang berbeda-beda. Beberapa mahasiswa mengaku lebih memilih untuk tetap membalas pesan meskipun sebenarnya ingin istirahat, hanya demi menjaga hubungan sosial.
Hal ini sejalan dengan pendapat Irwanto (2022), yang menyebutkan bahwa kelelahan media sosial dapat memengaruhi emosi, pikiran, dan hubungan sosial pengguna. Ketika seseorang terus-menerus merasa perlu hadir di ruang digital tanpa jeda, maka tekanan tersebut perlahan-lahan dapat memengaruhi kesehatan mentalnya. Dengan kata lain, keaktifan di WhatsApp bukan lagi sekadar alat komunikasi, tapi bisa menjadi beban jika tidak dikelola dengan batas yang jelas. Mahasiswa perlu menyadari bahwa menjaga keseimbangan antara kebutuhan sosial dan kesehatan psikologis itu penting, bahkan di ruang digital seperti WhatsApp sekalipun.
Situasi seperti ini tentunya berkaitan dengan adanya ekspetasi sosial digital yang tinggi dalam grup WhatsApp yang sering kali dikaitkan pula dengan fenomena information overload. Dimana keadaan ketika mahasiswa merasa tertekan untuk selalu responsif dan telibat dalam komunikasi digital. Banyaknya jumlah pesan atau notifikasi yang diterima melebihi kapasitas mereka untuk meproses sebuah informasi akan berdampak pada kelelahan mental maupun emosional. Hal ini sejalan dengan pernyataan Tukle (2011) yang menjelaskan bahwa ketidakhadiran secara digital dapat dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian dan akhirnya menciptakan tekanan ntuk selalu hadir secara daring.
Dari hasil wawancara, salah satu mahasiswa mengungkapkan
"Saya jadi lebih cuek dan kadang membalas pesan dengan singkat saja, tidak seantusias sebelumnya".
Dari pernyataan ini menggambarkan dampak dari kelelahan akibat kelebihan informasi, di mana mahasiswa merasa terpaksa untuk merespons tetapi tidak memiliki energi atau motivasi untuk melakukannya dengan sepenuh hati. Kelelahan seperti ini dapat menyebabkan hubungan sosial menjadi renggang, di mana seharusnya komunikasi digunakan untuk memperkuat hubungan justru menjad dangkal dan tidak memuaskan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa ekspetasi untuk selalu aktif dan responsif dapat menciptakan dampak negatif, di mana mahasiswa merasa tertekan untuk memenuhi tuntutan sosial, tetapi pada saat yang sama pula mereka merasa kelelahan yang mengurangi kemampuan mereka untuk saling berinteraksi secara efektif. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk menyadari batas mereka dan mengembangkan strategi untuk mengelola informasi yang sekiranya perlu diterima dan diabaikan, agar tidak terjebak dalam siklus kelelahan digital terus-menerus.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan temuan dari wawancara, dapat disimpulkan bahwa keaktifan mahasiswa dalam grup WhatsApp tidak hanya dimotivasi oleh kebutuhan komunikasi, tetapi juga oleh ekspektasi sosial digital yang secara tidak langsung menuntut mereka untuk selalu hadir dan responsif. Meskipun bertujuan menjaga keterhubungan sosial, intensitas komunikasi digital yang tinggi sering kali menyebabkan tekanan emosional dan kelelahan psikologis. Fenomena Social Media Fatigue (SMF) yang dialami mahasiswa terlihat nyata dalam bentuk rasa jenuh, terpaksa membalas pesan, kehilangan antusiasme saat berinteraksi, hingga munculnya perasaan takut dinilai negatif. Tekanan ini diperkuat oleh faktor FoMO, information overload, serta ekspektasi dari lingkungan pertemanan yang tidak selalu disampaikan secara langsung, namun tetap dirasakan sebagai beban. WhatsApp, yang awalnya hanya dianggap sebagai sarana komunikasi dan koordinasi, dalam kondisi tertentu justru bisa menjadi pemicu kelelahan mental apabila tidak disertai dengan batasan penggunaan yang sehat. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk mulai menyadari batas pribadi, mengelola interaksi digital secara bijak, dan memprioritaskan keseimbangan antara koneksi sosial dan kesehatan mental.
DAFTAR PUSTAKA