Kasus ini menunjukkan bagaimana faktor-faktor dalam teori GONE saling berkaitan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi praktik korupsi sebagaimana yang dijelaskan berikut.
1. Greed (Keserakahan)
- Dalam kasus E-KTP, pelaku utama seperti Setya Novanto dan pejabat Kemendagri terdorong oleh keinginan untuk memperkaya diri dengan mengambil bagian dari proyek bernilai triliunan rupiah (Hoffman & Patel, 2017).
- Keserakahan ini dipicu oleh gaya hidup mewah dan kebutuhan dana untuk kepentingan politik (Rose-Ackerman, 2001).
2. Opportunity (Kesempatan)
- Lemahnya sistem pengawasan dan transparansi dalam proyek pengadaan barang dan jasa memberikan peluang besar bagi para pelaku untuk melakukan manipulasi (Treisman, 2000).
- Minimnya sistem akuntabilitas internal di kementerian dan DPR turut memperbesar kesempatan untuk korupsi (Jain, 1998).
3. Need (Kebutuhan)
- Meskipun mayoritas pelaku memiliki posisi ekonomi yang baik, kebutuhan akan dana politik atau menjaga kekuasaan mendorong mereka untuk melakukan korupsi (Heywood, 2017).
- Beberapa aktor dalam kasus ini membutuhkan dana tambahan untuk membiayai kampanye politik dan mempertahankan posisinya di pemerintahan (Johnston, 2014).
4. Exposure (Paparan)
- Kurangnya deteksi dini dan lambannya penegakan hukum sebelum kasus ini terungkap memungkinkan korupsi terus berlangsung dalam jangka waktu yang lama (Klitgaard, 1988).
- Skandal ini baru terbongkar setelah KPK melakukan penyelidikan mendalam selama bertahun-tahun (Transparency International, 2019).
Bagaimana Pengaruh Faktor Penyebab Korupsi Terhadap Sikap Individu yang Disintegrasi dengan Melakukan Tindak Pidana Korupsi?
     Faktor penyebab korupsi memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap individu yang mengalami disintegrasi sosial, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk melakukan tindak pidana korupsi. Disintegrasi sosial mengacu pada hilangnya keterikatan individu terhadap norma, nilai, dan etika yang berlaku di masyarakat atau organisasi, yang menyebabkan pelaku merasa terpisah dari tanggung jawab moral.
Faktor-faktor penyebab korupsi berperan dalam membentuk sikap disintegrasi sosial melalui:
1. Melemahkan Ikatan Moral dan Etika
Pendidikan moral dan etika yang kurang kuat, baik dalam keluarga, institusi pendidikan, maupun lingkungan kerja, membuat individu lebih mudah tergoda untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Ketika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang tidak menanamkan prinsip integritas, mereka cenderung mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama.
2. Menciptakan Justifikasi atas Perilaku Menyimpang
Individu yang mengalami disintegrasi sosial sering kali mencari pembenaran atas tindakan mereka. Berbagai alasan, seperti rendahnya gaji, tekanan ekonomi, atau bahkan ketidakadilan dalam sistem birokrasi, digunakan untuk membenarkan tindakan koruptif yang mereka lakukan. Dalam banyak kasus, individu yang korupsi meyakini bahwa tindakan mereka hanyalah respons terhadap ketidakadilan yang lebih besar di dalam sistem. Mereka mungkin juga menganggap korupsi sebagai bagian dari mekanisme bertahan hidup dalam lingkungan yang sarat dengan praktik-praktik serupa.
3. Mengurangi Rasa Takut terhadap Konsekuensi Hukum
Ketidakefektifan sistem hukum dan penegakan keadilan turut mempercepat laju korupsi. Jika individu melihat bahwa banyak pelaku korupsi yang lolos dari hukuman atau hanya mendapatkan sanksi ringan, maka rasa takut terhadap konsekuensi hukum akan berkurang. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa melakukan korupsi bukanlah suatu tindakan yang berisiko tinggi. Lemahnya penegakan hukum juga memperlihatkan bahwa terdapat celah dalam sistem yang dapat dimanfaatkan oleh mereka yang ingin mengambil keuntungan secara tidak sah.
4. Memperkuat Budaya Permisif terhadap Korupsi
Dalam lingkungan di mana korupsi telah menjadi praktik yang umum dan diterima secara sosial, individu akan merasa bahwa tindakan tersebut adalah sesuatu yang wajar. Budaya permisif terhadap korupsi berkembang ketika masyarakat tidak lagi menganggap korupsi sebagai sesuatu yang buruk atau ketika terdapat toleransi tinggi terhadap tindakan semacam ini. Jika individu melihat bahwa orang-orang di sekitar mereka, termasuk atasan atau pejabat publik, melakukan korupsi tanpa konsekuensi berarti, maka mereka akan cenderung mengikuti pola yang sama.