Mohon tunggu...
Agistina Sekarini Kanika
Agistina Sekarini Kanika Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers Mahasiswa

Seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pekalongan yang tertarik dibidang menulis dan jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Emosi di Balik Jendela Bus

24 Maret 2020   01:08 Diperbarui: 25 Maret 2020   19:08 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Tim Kavanagh via independent.co.uk

"Ketika kau sudah lelah dengan beban yang kau tumpu, kau membutuhkan ketenangan. Kau sedang kehilangan siapa diri sebenarnya," ujarnya padaku. 

Kala itu emosiku berkecamuk. Aku ingin berteriak. Mataku sudah tak kuat untuk menampung bendungan air yang akan membanjiri pipiku. 

Lantas, pikiranku bekerja dengan cepat. Terkadang aku merasa menjadi manusia terlemah di dunia ini. Namun terkadang aku merasa aku tidak boleh menjadi manusia lemah. Hatiku menimpali, bahwa aku harus menjadi manusia kuat.

Aku berjalan menyusuri keramaian, menikmati tawa kebahagiaan yang dimiliki orang lain. Melihat sudut-sudut emosi manusia yang tertanam dalam jiwanya. Aku yakin, sebagian dari mereka sedang berusaha berpura-pura bahagia. 

"Kamu harus kuat. Bila butuh bantuanku, hubungi saja aku. Maaf aku belum bisa menemanimu detik ini. Urusan mendadak harus ku selesaikan," ujar seseorang yang sudah kuanggap sebagai manusia baik selain keluargaku. 

Membaca pesan singkatnya, aku mendadak kesal. Karena sebenarnya aku ingin bercerita kepadanya mengenai sayatan-sayatan luka yang ada di hati dan pikiranku.

Aku sudah mencoba mengobatinya. Namun, sesekali aku merasa sayatan tersebut terbuka sedikit, sehingga aku merasakan perih. Memang, kita harus siap kapanpun sayatan itu tak dapat ditangani dengan cepat.

Akhirnya aku memilih untuk meninggalkan sudut keramaian. Menaiki bus kota, berharap dapat lekas tiba di rumah.

Aku suka ketika menatap orang-orang dari balik jendela bus. Sambil bersandar, berawal menatap langit yang seakan menyapaku dengan ramah. Memberi salam kepada pencipta seluruh bumi ini. Nampaknya manusia setiap hari selalu sibuk dengan urusannya. 

Tukang parkir di pasar yang rela menjaga kendaraan dengan mengharap uang seribu hingga dua ribu rupiah untuk menghidupinya. Tukang bakso yang mendorong gerobaknya dengan perlahan, sambil menyerukan bakso andalannya mengharap ada pelanggan membelinya. 

Anak-anak jalanan yang berbondong-bondong menunggu transportasi yang rela membawa mereka ke tempat tujuan entah ke mana. Penjual asongan di traffic light yang menawarkan minuman dinginnya sampai tidak dingin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun