Mohon tunggu...
Subarja Wahdini
Subarja Wahdini Mohon Tunggu... -

semangat dan jangan pernah menyerah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membangun Yogyakarta Tanpa Meninggalkan Identitas dan Nilai Kelokalannya

7 November 2018   11:44 Diperbarui: 7 November 2018   20:35 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malioboro, Yogyakarata/wikipedia.org

Hampir semua orang mengetahui bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan destinasi wisata kedua setelah Provinsi Bali. DIY yang terdiri dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Sleman, Gunungkidul, dan Kulonprogo ini memiliki seni dan kebudayaan khas yang tidak ditemui di daerah lain.

Sebagai daerah dikenal dengan sebutan keistimewaan ini dikarenakan sejarah berdirinya pemerintahan DIY yang berkait dengan perjuangan Kemerdekaan RI. Keistimewaan juga dalam bentuk pemerintahan DIY sebagai daerah setingkat provinsi dimana gubernur dan wakilnya dijabat oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.

Dalam hal implementasi pembangunan daerah, juga tak lepas dari filosofi yang tercakup diantaranya adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita-cita luhur menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.

Identitas dan nilai-nilai budaya daerah yang terkandung dalam filosofi tersebut selanjutnya akan mewarnai segala kehidupan dalam berbagai aktivitas kepemimpinan, kehidupan diri pribadi dan kehidupan bermasyarakat, serta artefak seni-budaya daerah yang diwujudkan dengan ciri khas kelokalannya.

Yogyakarta yang banyak memiliki julukan sebagai kota pariwisata, kota sejarah, kota seniman-budayawan, kota pelajar/mahasiswa, kota gudeg, kota geplak, kota batik, kota pasar tradisional, kota becak-andhong, dll. Ditemui pula berbagai lokasi wisata sejarah, wisata alam (pantai dan pegunungan) yang eksotis dengan keragaman dan keunikan ekologinya.

Yang tak kalah penting diketahui yaitu terkait filosofi poros imajiner, ini terwujud dalam cagar budaya yang meliputi Gunung Merapi-Tugu-Kraton-Laut Selatan. Secara simbolis filosofis ini melambangkan keselarasan/keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam yang termasuk lima aspek pembentukannya yakni api dari gunung Merapi, tanah dari bumi Ngayogyakarta, air dari laut selatan, angin dan angkasa.

Makna dari filosofi poros imajiner ini adalah harmonisasi lingkungan secara fisik yang kemudian menuju terbentuknya harmonisasi dimensi kemanusiaan dan alam yang terbangun di atas ruang yang memiliki ciri khas maupun karakter lokal.

Karenanya, membangun dan mengembangkan Yogyakarta sebagai daerah yang mempunyai budaya penuh nilai-nilai kelokalan ini yang semestinya menjadikan pedoman untuk kemajuan ataupun pengembangan daerah menuju masa depan.

Ditengah modernisasi yang terus berproses,bersamaan pula dengan globalisasi ditandai ekonomi pasar bebas dan teknologinya (liberalisasi) -- bukan tidak mungkin apabila dasar filosofi yang dimiliki ini tidak disertakan dalam perencanaan pembangunan di berbagai bidang selanjutnya akan berdampak pada tergerusnya nilai-nilai budaya kelokalan.

Kawasan Malioboro dan sekitar boleh saja gemerlap, lebih elok dan indah dari waktu-waktu sebelumnya. Fasilitas publik tersebar di beberapa tempat seperti menjamurnya toko-toko modern, pusat perbelanjaan/mall, hotel, perumahan mewah, rumah makan modern/fast-food, pusat hiburan, hingga tersedianya fasilitas akomodasi dan transportasi terkini plus layanan eksklusif tinggal pilih.

Itu semua sebagai konsekuensi dari perkembangan jaman, merupakan bagian dari interaksi budaya tradisional dengan budaya modern yang diwujudkan dalam aneka tampilan serta gaya yang bernuansa hiburan. Masuknya budaya luar juga menjukkan bahwa Yogyakarta sebagai kota berperadaban yang tak pernah lepas dengan toleransinya.

Identitas dan nilai kelokalan

Seperti telah disebut bahwa identitas dan nilai-nilai budaya lokal menjadikan ciri khas yang dimiliki suatu daerah. Daerah satu dengan daerah lainnya tentunya mempunyai perbedaan sosio-kultur sekaligus memperkuat bahwa segala sesuatu yang terkandung didalamnya memiliki kearifan lokal sebagai karakter yang melekat.

Ini menjadi penting disadari, jati diri dan seni-budaya lokal perlu dilestraikan dan dikembangkan sesuai era kekinian. Ikon-ikon Yogyakarta sesuai ciri khasnya misalnya Gunung Merapi, Tugu Pal-Putih, Keraton, Laut Selatan, juga seni-budaya tari, pakaian adat, rumah adat Jawa/Joglo, Wayang, Kethoprak, dan sejenis, serta ikon unik seperti becak, andhong, hingga produk lokal batik dan budaya kuliner khas gudeg, bakpia, geplak, geblek, semuanya layak terus dikembangkan.

Melestarikan dan megembangkan budaya bukan berarti sebatas formalitas dan hanya berlaku atas dasar secara instruksional. Melestarikan dan megembangkan budaya lokal bukan pula hanya berorientasikan pada nilai jual secara ekonomi semata.

Belakangan ini kalau boleh diamati, upaya gerakan melestarikan dan mengembangkan budaya lokal Yogyakarta baru sebatas penampilan, pameran/pentas dan lomba atau pada event tertentu. Di kalangan birokrat daerah "mengenakan pakaian adat" hanya sebulan sekali.

Demikian halnya dalam pemakaian baju batik khas daerah Yogya, di lingkungan pendidikan maupun di kalangan lembaga formal atau swasta hanya ditemui pada hari tertentu. Selebihnya nilai-nilai kelokalannya kurang nampak "membumi" dan justru cenderung banyak didominasi budaya populer.

Barangkali sudah saatnya upaya pelestarian dan pengembangan budaya menyentuh segala aspek kehidupan tanpa melepaskan simbol-simbol dan makna kearifan lokalnya. Pembangunan infrastruktur mulai dari pendirian gedung/bangunan, perkantoran, pertokoan, kawasan industri/perdagangan, perumahan, fasilitas publik dan transportasi termasuk para pekerja di sektor pelayanan umum selayaknya dikaitkan dengan identitas dan budaya yang erat dengan nilai-nilai kelokalan.

Ketika kita memasuki wilayah Provinsi Bali misalnya, begitu kita menginjakkan kaki di seluruh kawasan ini sangat menampakkan suasana ke-Bali-annya. Identitas dan nilai-nilai budaya lokal disana sangat dijunjung tinggi walaupun budaya luar/asing masuk namun Bali masih menunjukkan jati dirinya sebagai daerah yang tidak tercerabut dari akar budaya dan tradisi khasnya.

Yogyakarta dengan dinamikanya yang terus berkembang seiring modernisasi dan maraknya pembangunan hotel, perumahan mewah, berdirinya pasar-pasar modern atau mall. Bahkan belakangan disusul proyek-proyek infrastruktur transportasi, akomodasi wisata sangat memungkinkan perkembangannya mengarah pada konsep design yang dibawa pemodal turut menghiasi ruang publik di beberapa kawasan Yogyakarta.

Bangunan maupun suasana ke-Yogyakarta-annya lambat laun tersaingi atau tergeser bilamana hal ini tak dikendalikan. Sangat bisa dipahami bilamana di kalangan tertentu menyampaikan aspirasi, melakukan orasi jalanan dengan tuntutan "Jogja Ora Didol" (= Yogyakarta tidak dijual). Ini terkait

Munculnya aspirasi tersebut logis adanya, di era ekonomi pasar bebas, privatisasi/liberalisasi yang terus merambah ke seluruh penjuru negeri -- kecenderungan ekspansi tanah dan lahan semakin tinggi. Salah satu dampaknya akan mempengaruhi tata ruang dan wilayah yang berlanjut pada penggusuran. Ekspansi para pemodal untuk membangun infrastruktut semakin tampak terutama mengarah di pinggiran-pinggiran kota, termasuk di Yogyakarta.

Nah mumpung gejala ini belum terlanjur berdampak lebih luas, ada baiknya evaluasi pembangunan di setiap daerah perlu dilakukan. Proyek-proyek pembangunan sarana-prasarana perlu disesuaikan dengan identitas dan nilai kelokalan sebagai cerminan budaya setempat.

Sebagai warga asli Yogyakarta, penulis berharap bahwa modernisasi di era global tidak perlu ditakuti ataupun dihindari. Akan tetapi harus dihadapi, disikapi secara arif dan bijak sehingga kemajuan jaman yang kita raih seiring dan sejalan dengan identitas diri dan nilai-nilai kelokalan.

Melestarikan dan mengembangkan budaya daerah bukan berarti kita harus kembali menjadi manusia masa lalu yang belum tersentuh teknologi. Jauh dari itu kedepannya sangat diharapkan Yogyakarta terus bertumbuh, berkembang dan memiliki roh, tanpa melupakan akar budaya yang terkandung dalam filosofinya.

Hamemayu Hayuning Bawana dan Poros Imajiner sebagai dasar pijakan layak dimasukkan dalam variabel pembangunan di segala bidang -- sehingga Yogyakarta berkembang dinamis tidak kehilangan jati dirinya. Ini semua sangat bergantung pada para petinggi dan pengambil kebijakan yang akan ikut mewarnai masa depan Yogyakarta dan kawasan sekitarnya. (Subarja W).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun