*
Hanifah mulai menimbang-nimbang, apakah ia akan pindah dari Tegaloyo, atau tetap tinggal. Tujuh hari rundungan protes dan kebencian yang ia terima dan semakin menekan, kiranya sudah cukup memberitahu bahwa langit tak lagi minta dijunjung, dan aliran sungai harus membawa batang ilalang menjauh pergi. Harus bagaimana ia dan kapan, ia akan menentukannya dengan satu kunjungan penting.
“Janda. Janda!”
Hanifah menutup telinganya pakai telapak tangan. Sembari menenteng keranjang berisi sayuran dan gula, ia menjauhi pos jaga di tikungan ketiga, semata biar telinganya tak menangkap lagi umpatan itu.
“Janda.Janda, hati-hati Mbak…. Di sini banyak serigala. Nanti kalau cari suami, jangan yang seperti Dusman ya….”
Tiga pemuda tanggung yang duduk di pos jaga saling tertawa seperti menindas itu menyenangkan. Di samping mereka, laki-laki tanggung berkulit legam melepas asap rokoknya begitu saja ke udara, tanpa bicara.
Tidak di pos ronda, tidak di pasar, Hanifah selalu menyumbat telinganya rapat-rapat. Toh selalu lupa ia membeli kapas, maka terkadang biji kemiri dan uang koin ia tatakan ke daun telinganya. Tiga tetangga yang di awal kedatangannya sebelas tahun lalu begitu ramah, mengikuti dengan rumpi-rumpi manis kaum ibu-ibu, kini seperti takut dan bersembunyi. Tak seorangpun dari mereka ingat bagaimana Hanifah dulu mengirimkan sayur bayam bening bercelup jagung kuning, di saat mereka terlalu sibuk untuk memasak dan suami mereka terlalu sibuk di luar sana.
Kini Hanifah sendirian, mengunci diri dan berkali-kali mengadu pada sajadah bergambar Kabah di dinding papan rumahnya. Tak ada yang senang diumpat sebagai janda, meski perempuan yang ditinggal mati sekalipun. Hanifah ingat nasib Bu Hasnah, yang akhirnya pindah karena dituduh selingkuh hanya seminggu setelah suaminya wafat di kandang ular. Atau Ibu Rusmini yang tak tahan dan akhirnya menikah lagi dengan pemuda ingusan yang untuk menggendong bayi saja tidka becus. Ini tidak, Hanifah hanya ditinggal. Pikiran-pikiran dan sisa cintanya selalu memberitahu bahwa suaminya, Dusman, masih hidup.
Hanifah menengadahkan tangan, seraya matanya menutup. Hanya ada lolong anjing menemani malamnya, di saat bunyi-bunyi langkah di jalan terdengar seperti seretan kayu pemukul kalau bukan mayat. Hanifah membenarkan pikirannya. Ke mana suamiku? Ke mana Dusman?
Sore itu, sinar matahari seperti siraman butir-butir emas. Udara bertiup memutar dari Gunung Loyo sampai ke ladang ilalang di bawahnya. Kalaupun ada udara kotor, sedikit sekali, dan datangnya dari jalan layang bebas hambatan di atas sungai yang dikenal sebagai Kali Mulihan, artinya tempat orang-orang pulang. Sungai itu dibelah jembatan yang jadi tumpuan ratusan pekerja pabrik yang menyemut puang di saat matahari tinggal sebelah.
Hampir jam lima, Hanifah cekikikan di atas boncengan piet ontel. Tangan kanannya kencang memegang ujung baju Dusman. Meski kedua kakinya menggantung dan terkadang tersambar rumput berduri di jalan dekat hutan itu, ia senang-senang saja. Meski ia rasa pantatnya sudah pegal dan panas di atas tatakan besi boncengan, ia rela, membayangkan sebentar lagi mereka akan terbaring berdua menghadap langit, di antara ladang ilalang yang kering dan menari-nari di bawah angin.
Ini adalah kunjungan ketujuh mereka ke padang ilalang yang Dusman beri nama Rundung. Nama yang aneh, pikir Hanifah saat pertama kali mereka menghabiskan waktu berdua sampai malam di situ. Tapi Dusman baru menjawab rasa gusar istrinya itu di hari ketujuh. Entah karena angin apa, hari itu wajah Dusman berseri-seri. Seperti cinta muda kembali mengencangkan otot-otot di matanya yang berbinar. Suaranya pun lebih lembut.
“Rundung artinya deraan, Nif….” Demikian Dusman tersenyum, entah berbicara kepada langit, atau ilalang. Tapi Hanifah jelas mendengar suaminya menyebut namanya. Begitu jernih seperti langit yang tak diganggu awan.
“Rundung? Kenapa akang tiba-tiba bahas itu?”
“Rundung, Nif… di mata orang sering dikira kata yang jelek, mungkin. Dirundung durjana lah, dirundung duka lah, pokoknya semua yang ada kata rundung-nya pasti dikira sedang menderita.”
Hanifah berdeham saja, “Hmm….” Ia menikmati colekan ibu jari kakinya di betis Dusman yang dihiasi lebat rambut.
“Tapi kau tahu bahwa bahkan yang dikira jelek, menyimpan kebaikan yang mudah dipahami, meski tidak semua orang bisa.”
“Hmm….”
“Makanya, Nif… padang ilalang ini aku namakan rundung. Biar kita selalu merasa dirundung asmara, cinta, kasih sayang, rindu akan datangnya bayi, tapi rendah hati. Seperti ilalang, menari-nari dan digemari, tapi ia berserah pada angin. Biar rundung, bagi kita, artinya sapuan merdu yang membawa kesenangan, ketenangan.”
“Tidak sia-sia akang juara bahasa Indonesianya.”
“Lho, benar kan. Itu sih mungkin tidak ada hubungannya, sayang. Buat aku, hal-hal kecil begini, kalau sama-sama disenangi, bisa jadi besar dan penuh arti. Memang aku dulu jadi penjahat sampai ketemu kau yang mendekapku.” Dusman menggeser badannya agar menyamping menghadap istrinya. Tangannya dirunut turun membelai pipi yang licin dibalut jilbab itu. “Hanifah… Hanifah, mungkin aku masih mencuri uang orang… kalau aku tidak bertemu kau.”
“Akang… setiap orang punya kesempatan kedua.”
“Benar.”
“Seperti kita, belum dikasih anak. Selalu ada kesempatan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Berusaha itu kewajiban kita manusia, bertanya-tanya pada takdir.”
“Tapi Tuhan yang menyimpan jawabannya.”
“Itulah.”
Romantisme itu berakhir, karena Hanifah tiba-tiba mendengar bunyi sepeda motor melenting-lenting mendekat. Saat akhirnya bunyi mesin itu berhenti dan terdengar besi penampang diturunkan memijak batu, Hanifah meminta suaminya berhati-hati.
“Mungkin orang mau pipis. Sudah ah…..” Dusman berusaha menghalau kecurigaan istrinya.
“Tapi ada langkah-langkah mendekat, Kang.”
Memang benar, Dusman akhirnya mendengar bunyi rumput dihalau oleh bidang sepatu yang mungkin terbuat dari kulit, karena bunyinya kentara sekali. Belum lagi biasanya tidak ada seorangpun di pinggir hutan dan di tepi tebing sungai itu. Padang ilalang di situ tak banyak diketahui orang, jadi untuk apa dua orang bersepatu dan bercelana panjang datang ke arah mereka?
Dusman meminta Hanifah memakai sandal dan tetap senyap. Saat mereka akhirnya mendengar bunyi sepeda didorong jatuh, Hanifah mulai ketakutan. Ia meminta Dusman untuk kembali saja dan mereka mungkin masih bisa lari menyusuri pagar tua yang mengarah ke kandang sapi di gerbang desa. Tapi Dusman menolak. Harga diri kelaki-lakian mendorongnya justru untuk maju. Suami itu melepas ikat pinggang kulitnya, melilitkannya ke kepalannya.
Di depan sana, bayang-bayang jaket hitam mulai terlihat berpindah-pindah di antara batang-batang rumput tinggi. Cahaya matahari yang tersisa hanya menyapu pucuk-pucuk berbulu ilalang itu, dan Dusman tak punya pilihan banyak. Sekelebat cahaya berkilau tertangkap matanya, mungkin pisau atau benda tajam lain tengah terhunus. Begitu ia tahu bahwa mungkin mereka di bawah ancaman, ia berpikir cepat. Satu-satunya ide yang terlintas di pikirannya adalah jika ingin menang pertarungan ini, ia harus menyerang lebih dulu.
Di atas lahan sempit yang rumput-rumputnya sudah layu menempel ke tanah lantaran terlalu sering ditempati, Hanifah sudah mengemasi rantang dan barang-barang mereka. Dua detik lalu punggung Dusman suaminya sudah menghilang di antara ilalang di depan sana, entah ke mana. Ia berbisik-bisik memanggil, tapi tak ada jawaban. “Kang, Kang Dus!” bisiknya lagi, tak dijawab.
Maka tatkala satu dua menit kemudian, dalam kegamangan di bawah cahaya redup hari magrib, Hanifah melihat kelebatan hitam berlari. Disusul bunyi besi berdenting-denting, dan suara napas ngos-ngosan. Ia mulai berteriak kencang, memanggil-manggil suaminya. “Kang! Kang Dusman!”
Bayang-bayang itu berlari berkejaran, seperti mengitari Hanifah tapi tak kunjung kelihatan. Pertarungan mereka seperti berubah menjadi perburuang kucing-kucingan yang membingungkan. Hanifah mengangkat sandalnya dan lalu berlari ke setapak. Di sana ia mendapati sepeda motor, sepeda yang terjerembab ke parit, dan sandal suaminya yang ditetesi darah. “Kang! Kang Dusman! Ya Allah….”
Hanifah tidak tenang lagi melihat darah itu. Ketakutannya gugur berganti rasa penasaran yang nekat. Kepatuhannya pada suaminya untuk segera pulang tidak ia laksanakan. Hanifah menaruh rantang, dan berlari menembus ilalang. Ia terus memanggil-manggil suaminya. “Kang! Kang Dusman!”
Tiba-tiba panggilan kesekian itu berbalas. “Nif! Hanifah! Pulang!”
Langkah kaki Hanifah terhenti. Ia gemetaran. Suara suaminya barusan seperti ketakutan, agak tertahan, dan kalah. Menyadari suaminya dalam bahaya, Hanifah malah lanjut berlari, kini lebih kencang. Kakinya tersayat-sayat rerumputan pun ia tak peduli. Jilbabnya ia lepas biar pandangannya luas. Ia berlari membelah padang ilalang itu, semakin mendekati pinggir tebing tempat tanggul alami Kali Mulihan menderu-derukan air jernih yang memecah di bawah sana. Ia ingat-ingat posisi terakhir panggilan suaminya, sampai akhirnya ia tiba di area sempit berumput hijau, persis di depan pagar pembatas tebing dengan jurang. Ia memanggil sekali lagi, tidak ada jawaban. Memanggil kedua kali tidak ada jawaban. Di saat magrib itu, Hanifah melihat kilauan beberapa meter di depannya.
Hanifah mendekati pagar pembatas tebing itu, dan menemukan ikat pinggang suaminya. Noda darah tersapu hampir bersih di sana, maka Hanifah tak bisa berpikir lagi. Hatinya kacau, pandangannya mulai kabur. Ke mana suamiku? Dusman!
Hanifah mulai mengira suaminya jatuh ke Kali Mulihan, tiba-tiba ingat perkataan Dusman soal sungai itu, dan jalan layang besar di seberang. Ia berteriak-teriak… tapi seperti suaranya tidak terdengar sama sekali. Hanifah jatuh terbaring.
Saat akhirnya sadar, Hanifah sudah dikerumuni orang dan tiga anak kecil. Sewaktu hari sudah cerah lagi.
Kejadian di Rundung Ilalang dua tahun lalu itu tak pernah lepas dari ingatannya. Pikirannya dikaluti pandangan terhadap kehidupannya sendiri, masa lalu suaminya yang mungkin menyebabkan ini semua, sampai hidup orang-orang yang menghujatinya macam-macam.
Hanifah melihat tiga anak kecil yang pernah menolongnya, berjalan dengan wajah mencela-cela sejak di pos ronda. Lewat doa-doa malamnya Hanifah mengira-ngira, mungkin ini pertanda dari Tuhan. Ajaran tentang bagaimana ia pemilik segala kehidupan. Meski begitu ia tak kunjung mendapat jawaban Entah bagaimana ia bisa sadar, dan entah bagaimana ia bisa melanjutkan hidup. Entah bagaimana ilalang itu sekarang, dan entah mengapa ia ditakdirkan mencintai Dusman. Yang jelas, bagi Hanifah ia tak merasakan hidupnya jadi rendah. Ia hanya bertanya-tanya, kapan Dusman akan kembali. Dan mungkin, mereka bisa melihat ilalang bersama lagi.
-----------------------------
Ilustrasi: Ilalang Senja di Batas Kota/prakasita15.blogspot.com.
*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI