Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Homoseksualitas di Media Sosial

5 Agustus 2014   20:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:21 1191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14072188631651402321

[caption id="attachment_336626" align="alignnone" width="580" caption="Laman hasil pencarian komunitas homoseksual di Indonesia/Facebook.com/Soci.us."][/caption]

Sekitar bulan Januari lalu saya mendapat sebuah pesan masuk di Facebook yang berisi nomor ponsel pribadi seseorang. Nomor itu ditawarkan untuk saya simpan dan “pakai jika sewaktu-waktu Mas membutuhkan”. Foto pengirimnya berpose sedemikian rupa menyerupai erotisme perempuan, tetapi diperagakan oleh laki-laki. Semburat senyum ramah dan tanpa embel-embel manipulasi foto menunjukkan keseriusan.

Konfirmasi pun saya lakukan, dan memang benar, bahwa semua data diri, foto, bahkan kontak yang tersemat di profil itu milik si empunya. Belakangan saya mendapatkan nama aslinya, dan menyimak sedikit cerita bagaimana “sistem komunikasinya” bekerja. Risalah pemahaman yang saya dapati waktu itu agaknya mengejutkan.

Perry --begitu saya memanggilnya-- bercerita dengan ramah, bahwa pola pertemanannya untuk mendapatkan “pasangan” tak ubahnya jalinan media sosial biasa. Mungkin karena di Facebook orang-orang cenderung menerima begitu saja permintaan pertemanan, Perry pun mengaku “tidak ada kesulitan sih kalau mau cari pacar. Tapi begitu juga aku pilih-pilih.”

Soal pilih-pilih ini, Perry punya kriterianya sendiri, dan nampaknya kriteria ini cukup lazim di kalangan penyuka sesama jenis. Umumnya, mereka menyasar cowok yang berkarakter, profilnya tegas atau maco, terbuka, tidak neko-neko, dan bisa menjaga rahasia.

Prasyarat yang saya tulis terakhir ini juga agaknya mulai melunak karena di banyak paltform medsos, sangat mudah menemukan Halaman (page) ataupun Grup yang mengakomodasi kepentingan homoseksualitas. Kerahasiaan komunitas gay atau yang dalam istilah mereka namakan shemale ini mulai bervariasi pada tingkat batasan tertentu. Ada yang grupnya tertutup, ada pula yang terbuka tapi filter “keamanan”-nya bekerja bak perkumpulan bawah tanah. Hal-hal lain seperti punya duit atau suka kelabing termasuk ke yang “bisa dinegosiasikan”.

Saat saya tanya Perry mengapa ia mengirimkan nomor ponselnya kepada saya, ia berkata bahwa rasa iseng biasanya mendatangkan peruntungan. Dan karena memang sudah sekitar tujuh bulan ia menjomblo.

“Wah, lucu juga,” batin saya waktu itu. Mereka cuma mengandalkan pola pesan acak. Siapa yang nyantol, itu yang mereka temani. Perry yang penyuka anime mengaku “sejauh ini” dia baru mengencani dua cowok. Itupun, gaya pacarannya tidak berbeda dengan jika dilakoni oleh yang heteroseks. Mereka bertemu, mengobrol, makan malam, kemudian berproses. Lama hubungan semuanya juga bergantung bagaimana chemistry di antara mereka bekerja dan saling berpaut.

Apa yang terjadi pada Perry agaknya berbeda dengan sampel lain yang dengannya saya sempat berkomunikasi via obrolan. Kalau Perry mengaku memang ia punya kecenderungan seksual yang “lemah lembut” karena sudah melibatkan jilbab dan asesori feminin lainnya --Ya, di satu fotonya Perry mengenakan jilbab dan ber-selfie ala hijaber--, sampel lain ini lebih hardcore.

Boleh dikatakan, sampel lain ini berada di sisi seks “cowok”, sementara yang ia sasar akan ia jadikan “pengantin perempuan”. Bisa ditebak, penampilannya lebih macho, berotot, mengaku biasa berdandan ala satpam kelab, dan punya kendaraan mentereng. Namanya hardcore, dia meminta hubungan yang lebih jauh, termasuk melibatkan seksualitas liar yang cenderung diterikan dengan westernis.

Itu baru di Facebook. Untuk Twitter dan landasan media sosial lain, saya belum melakukan riset.

Homoseksualitas di kalangan pengguna media sosial di Indonesia mengubungkan pola komunikasi virtual yang terbangun, sama dengan yang terjadi di banyak negara di belahan bumi. Internet memungkinkan komunitas-komunitas ini terbentuk tanpa batasan geografis, bahkan budaya, sama seperti komunitas sosial lain: kumpulan difabel, penemu, orang-orang dari wilayah geografis yang sama, atau profesi yang sama. Mereka bertemu, mengobrol, dan kebanyakan melempar bola liar untuk orang-orang yang tertarik dengan apa yang mereka diskusikan.

Dalam kaidah psikologi media, hal seperti ini sudah hampir tidak lagi menjadi fenomena, setidak-tidaknya dalam hemat saya. Masifnya penggunaan media sosial orang muda di Indonesia membentangkan tembok yang lebar jika kita ingin membendung, apalagi menghentikan mereka. Dan agaknya pula, kelompok-kelompok dengan kecenderungan ini merasa semakin diterima atau, tidak lagi dianggap sebagai pembuat onar. Ini karena mereka bermain di wilayahnya sendiri, dan tidak bermaksud menebar teror pada fungsi sosial yang sebenarnya berjalan di luar Facebook. Mereka seakan-akan hanya berpose di katalog, sementara pengguna media sosial datang dan menggunakan hak mereka sendiri.

Apa  yang harus kita lakukan?

Menurut saya, tidak perlu panik. Mereka bukan teroris. Meski saya sendiri anti-homoseksualitas dan risih setiap menerima inbox seperti di atas, rasa-rasanya belum waktunya kita menghakimi  bahwa apa yang mereka lakukan, baik itu di media sosial atau di jalanan, belum separah aksi terorisme atau aliran agama sesat.

Kita dituntut untuk menggali ilmu ilmiah seputar mengapa fenomena perubahan kejiwaan semakin mudah terjadi di masyarakat kita. Kita juga dituntut untuk melakukan pendampingan sosial bagi mereka yang ingin kembali normal. Akan tetapi di sisi lain, kita juga dituntut untuk memperbaiki struktur sosial kita, bahkan bagi mereka-mereka yang mengalami disorientasi seksual. Menganggap mereka parasit hanya akan melemahkan cara pandang kita terhadap “apa yang sebenarnya salah” dalam cara kita hidup, menggunakan teknologi, atau mengasuh anak.

Kita juga perlu mempelajari bagaimana cara dunia memandang homoseksualitas secara luas, dari sisi pelaku media ataupun kejiwaan manusia. Jika kita memutuskan tidak menolerir homoseksualitas berkembang, setidak-tidaknya kita tidak perlu memburu mereka untuk dipenjarakan atau diseret ramai-ramai.

Pandangan dunia dan "jenis kelamin ketiga"

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 17 Juni 2011 lalu di Jenewa, Swis, meratifikasi sebuah resolusi yang disebut “Homosexual Equality Rights”. Resolusi bersejarah tersebut ditandatangani oleh setidaknya 23 negara anggota guna menjamin hak sosial bagi semua orang tanpa lagi memandang orientasi seksual. Namun mudah ditebak, ada juga yang kontra. Resolusi yang kemudian diberi judul “Mengakhiri Kekerasan dan Pelanggaran HAM Terkait berdasarkan Orientasi Seksual dan Identitas Gender” itu didebat hebat dan tidak disetujui oleh negara-negara anggota PBB yang berasal dari Afrika, dan Semenanjung Arabia. Alasannya jelas, bertentangan dengan hukum agama Islam (sumber).

Baik itu homoseks, ataupun lesbian, mulai dapat perlindungan undang-undang di banyak negara Eropa dan Amerika. Boston dan Philadelphia termasuk 2 kota di Amerika yang pertama kali menyelenggarakan pernikahan sesama jenis. Bahkan, di Australia yang merupakan negara barat paling dekat dengan Indonesia, pada 3 Februari lalu sudah meluncur aturan pengakuan hukum penuh atas Jenis Kelamin Ketiga.

Keputusan bersejarah ini bermula dari gugatan publik yang dilayangkan seorang New South Wales bernama Norrie May-Welbie, yang mengaku “tidak paham dengan jenis kelaminnya”. Norrie pun menggugat negara untuk mengakui jenis kelamin ketiga, dan setelah melalui perdebatan di masyarakat selama empat tahun, gugatan ini dikabulkan oleh Mahkamah Agung Australia. Saat ini, Australia merupakan negara yang pertama mengakui jenis kelamin ketiga secara administratif penuh, dan telah mengatur orang-orang dengan kecenderungan homoseks, lesbian, ataupun biseksual untuk mendapatkan identitas jenis kelamin mereka di akta kelahiran KTP, paspor, dan identitas kewarganegaraan lainnya, dengan identitas kelamin ditulis sebagai X. Belakangan, negara-negara Jerman, India, Nepal, Pakistan, Selandia Baru, dan Thailand ikut merancang aturan yang sama.

Apakah Indonesia juga berpotensi mengikuti jejak Australia? Masih terlalu jauh.

Laporan VOA pada Juni 2013 lalu mengungkapkan hasil survey Pew Research Center yang memasukkan Indonesia ke dalam negara-negara “paling menolak homoseksualitas”. Survei yang menyasar 40 negara di seluruh dunia ini mencatat, masyarakat negara-negara dengan penduduk muslim besar masih menganggap bahwa orang-orang dengan kecenderungan homoseksual/lesbian menyimpang dan harus ditolak keberadaannya. Hasil riset ini juga mengungkapkan variabel menarik bahwa kebanyakan negara yang menolak homoseksualitas merupakan negara-negara miskin atau berpendapatan rendah.

Dalam hasil riset ini, Indonesia tercatat lebih menolak homoseksualitas ketimbang negara tetangganya Malaysia, dan negara yang populasi muslimnya sama-sama besar seperti Pakistan dan Bangladesh. Hasil survei yang sama pada 2007 menuliskan bahwa hanya 3% orang di Indonesia yang mendukung komunitas gay dan pemenuhan hak-hak orang dengan disorientasi seksual.

Saat ini hukum Indonesia mengakui pernikahan hanya berlainan jenis lewat Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di pasal 1 dan 2 UU tersebut, tersemat jelas bahwa yang diakui sebagai pasangan hanyalah pria dan wanita. Hal-hal terkait hak administratif warga pra- dan pasca-nikah, diatur lewat Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Jadi cukup rumit dan akan menimbulkan debat panjang jika kita ingin mengikuti jejak Australia terkait jenis kelamin X.

Jika kita kembali ke media sosial, nampaknya angka-angka survei ini bisa lebih variatif atau dipecah-pecah. Alasannya, penilaian publik berbeda dengan dukungan dunia maya cenderung sulit ditebak dan distorsif. Orang bisa intoleran di tengah masyarakat, tetapi lebih lunak menerima arus informasi di media sosial. Faktor-faktor seperti filter informasi yang nyaris nol, psikologi media sosial yang mendorong orang mencoba-coba aplikasi tertentu atau situs web tertentu, dan hal lain sifatnya sangat teknis dan perlu dipelajari lebih lanjut.

Di saat Facebook dan Twitter membawa orang Indonesia sebagai pengguna paling banyak dan paling cerewet di media sosial, fenomena sosial seperti homoseksualitas juga akan mengikuti arus informasi dan mungkin berkembang lebih liar. Di sisi lain, pemahaman kita bahwa media sosial sulit dibendung dan kontrol selalu  bertumpu pada diri pengguna sendiri menjadi pertahanan terpenting. Ini juga sekaligus bisa menjawab apakah homoseksualitas bisa kita terima sebagai bagian dari fenomena informasi, atau telah berkembang sebagaimana “penyakit” masyarakat lainnya.

-----

Catatan: Saat ini di laman pendaftaran Facebook (khusus berbahasa Inggris/Amerika) terdapat pilihan jenis kelamin ‘custom’, selain ‘male’, dan ‘female’. Pilihan 'custom' menyediakan setidaknya 50 "jenis kelamin" spesifik, sesuai kecenderungan pengguna. Facebook menjadi jejaring sosial pertama yang mengakui jenis kelamin ketiga.

*

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun