Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Consolas

16 Oktober 2013   07:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:29 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bisa, tapi maaf, Tuan. Saya sudah memeriksa semua, dan tidak ada hal yang mencurigakan di sana. Banyak bungkus makanan dan selebihnya barang-barang rumah. Kami terbiasa langsung membereskan ruangan begitu sebuah acara selesai, dan tidak ada kami temukan benda-benda yang mencurigakan."

"Begitu ya...." Richard menggosok-gosok dagunya. Beberapa saat, kemudian bertanya lagi. "Kalau begitu, bisakah Anda tunjukkan di mana James biasa membeli rokok? Pasti suatu tempat di sekitar sini kan?"

"Kalau itu, mungkin...." Jake mengambil jeda. Baru saja ingin menebak, akan tetapi jawaban sudah diluncurkan oleh Joyce. Perempuan itu tiba-tiba ada di dekat ranjang rawat dengan seember air dingin dan handuk.

"Toko kelontong Morris, persis di bawah tikungan ketiga," ujarnya memberi jawaban.

"Tidak jauh dari sini," kata Jake menambahkan.

"Kalau begitu ayolah. Saya butuh bertemu dengan seseorang."


Kuda coklat tua berambut panjang itu berlari pelan menuruni jalanan yang berlumpur di beberapa bagiannya. Di belakangnya, kuda yang ukurannya lebih kecil ditunggangi oleh Jake, membawa seorang anak laki-laki yang nampak bersemangat karena pertama kali dibawa untuk "kerja lapangan". Pemandangan danau Eldrich membentang seluas pangangan jalan menurun itu, melewati beberapa kebun anggur dan rumah-rumah berpondasi batu tempat orang-orang bercanda dan menertawakan kegagalan Kerajaan Inggris menangani demokrasi jalanan yang melahirkan banyak gelandangan. Mereka melewati dua bar sebelum akhirnya tiba di depan toko kecil.

"Toko ini sudah buka turun temurun oleh keluarga Perancis yang menjadi migran pasca Perang Perebutan Afrika." Jake coba menjelaskan kepada Richard saat mereka menuju pintu toko itu. "Pemiliknya sekarang, Alexander Morris adalah generasi ketiga yang menjalankan toko ini. Orangnya sedikit temperamental, jadi ada baiknya kita berhati-hati."

Richard menghentikan langkahnya sejenak, memerhatikan bangunan toko yang nampak lebih besar dari kapasitasnya itu. Seperti dipadu dengan sebuah rumah tinggal yang lebih besar dan mewah --mungkin saja buah kesuksesan wirausaha yang terbukti berhasil beberapa generasi. Ia meraba sesuatu di balik jaketnya sebelum akhirnya masuk. Di dalam, ia sempat melihat ada banyak koleksi anggur tua, aneka kacang dari mete Afrika sampai zaitun Timur Tengah. Jendela-jendela kecil tidak meloloskan banyak cahaya matahari masuk ke toko itu, jadi ada satu-dua lampu minyak yang menyala, menggantung di dua sisi dinding paling belakang. Alex, pemilik toko itu, menyambut dengan tangan terbuka dan senyuman yang ramah. Akan tetapi Richard melihat juga perut yang tambun dan jenggot yang luas terawat sampai ke rambut. Mungkin ini yang menyebabkan orang-orang kerap memiliki persepsi kejam terhadap pengusaha ini.

"Saya mencari Consolas," ujar Richard.

"Apa?" kata Jake heran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun