Pelaku UMKM semakin merebak di tengah ketidakpastian ekonomi. Tetapi, tidak sedikit pula ada UMKM yang runtuh dan cepat bangkrut bahkan kurang dari setahun. Masalah utama UMKM adalah pengelolaan keuangan, baik untuk menggaji karyawan atau operasional. Minimnya pemahaman Akuntansi yang sesuai standar mengancam UMKM untuk gulung tikar lebih cepat.
Kita semua tahu, UMKM sudah berkontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,07% dan menyerap 97% tenaga kerja. Saat krisis moneter 1997 dan Covid-19 merebak UMKM terbukti bisa membuat perkembangan ekonomi lebih stabil dan dinamis. Tapi, dengan ancaman resesi global dan geopolitik dan daya beli masyarakat yang rendah memberikan ancaman baru bagi UMKM.
Itu sebabnya, UMKM harus mulai paham tentang standar Akuntansi yang baik demi kelangsungan bisnis. Sebab, akar dari keuangan bukan pendapatan, melainkan manajemen pengeluaran yang lebih teratur dan bijak.
Kendala Dalam Pemahaman dan Praktik Akuntansi UMKM
Masih banyak pelaku UMKM yang menganggap bahwa Akuntansi adalah hal yang rumit dan ribet secara teknis. Mulai dari keakuratan data, kesesuaian waktu, dan biaya yang diperlukan menjadi pertimbangan serius bagi UMKM. Misalnya, pemilik kerajinan anyaman bambu merasa ribet karena perlu teliti untuk membayar karyawan yang bisa akuntansi atau membutuhkan waktu yang banyak bagi pemilik UMKM untuk belajar akuntansi.
Tidak bisa dipungkiri, masih banyak pelaku UMKM yang memilih mengandalkan ingatan dalam menghitung keuangan mereka karena dianggap simpel dan tidak rumit. Dengan mengandalkan ingatan, mereka tidak memerlukan kecermatan dan tak perlu keluarkan biaya lagi. Bahkan, tidak sedikit pelaku UMKM yang malah merasa tenang hanya dengan mengingat dan langsung memasukkan uang ke bank setelah dibayar.
Kurangnya kemampuan dalam pengelolaan laporan keuangan membuat UMKM tidak dapat membedakan antara keuangan pribadi dan usaha. Akibatnya, mereka kebingungan saat membutuhkan dana untuk keperluan usaha karena uang usaha sering tercampur atau digunakan untuk keperluan pribadi.
Tingkat pendidikan juga ikut andil bagi kelangsungan UMKM. Tingkat pendidikan dan pengetahuan akuntansi yang rendah menjadi hambatan signifikan. Ada pemilik UMKM yang cuma lulusan SMP atau SMA yang tentu saja tidak paham tentang akuntansi. Bahkan, yang lulusan S1 sekali pun mungkin tidak punya ilmu akuntansi yang cukup sehingga melemahkan pertumbuhan UMKM.
Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang paham Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan Menengah (SAK EMKM) juga jadi hambatan. SAK EMKM dibuat oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) agar menyempurnakan pencatatan akuntansi bagi UMKM. Tapi, masih banyak yang belum paham bahkan belum tahu soal standar ini sama sekali.Â
Ketidakpastian laba yang diperoleh UMKM juga jadi pemicu masalah. Pelaku UMKM biasanya cuma memperkirakan pemasukan dan pengeluaran tanpa pencatatan detail, terutama jika laba yang didapatkan tidak konsisten atau musiman.
Terakhir, pelatihan bagi UMKM belum menyentuh ranah Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Hal ini menyebabkan mereka beranggapan bahwa akuntansi tidak penting karena minimnya informasi. Pelaku UMKM pasti mau melakukan pencatatan keuangan kalau pelatihannya ada dan memadai.