Mohon tunggu...
afri meldam
afri meldam Mohon Tunggu... Freelancer - penyuka jengkol, ikan segar, dan rempah

Lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra. Menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai dan bermain lumpur di sawah. Mempunyai ikatan dengan ikan-ikan. Kini tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Isi Ulang Daya ke Banda Neira

10 September 2019   16:06 Diperbarui: 10 September 2019   18:15 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BANDA NAIRA, rangkaian pulau mungil di sebelah tenggara Maluku, menjadi tujuan berlibur saya untuk menghabiskan jatah cuti tahunan pada 2015. Setelah setahun bekerja, mengasingkan diri sejenak dari hiruk-pikuk kota besar dan menikmati hari-hari tanpa ritme kerja yang monoton adalah sebuah nikmat Tuhan yang tak bisa kamu dustakan.

Adalah penulis buku Merobek Sumatra Fatriz MF yang memberikan  rekomendasi tempat liburan ini pada saya, sekaligus memperkenalkan saya dengan Lukman Ang, orang asli Banda yang juga mengelola sebuah penginapan di sana. Fatriz dan rekannya Muhammad Faiz pada waktu itu sedang merampungkan proyek Banda Journal dan beberapa kali bolak-balik ke Banda Naira. Singkat cerita, setelah mendiskusikan beberapa hal dengan Lukman, saya pun berangkat menuju Banda Naira melalui Ambon. Saya sengaja memilih terbang malam dari Jakarta, transit di Makassar, lalu mendarat di Bandara Pattimura pada pagi keesokan harinya. Dari bandara saya segera mencari taksi yang akan membawa saya ke pelabuhan Tulehu. Di pelabuhan inilah saya bertemu untuk pertama kalinya dengan Lukman.

Selain kapal ekspres di Tulehu, perjalanan ke pulau yang pernah menjadi tempat pengasingan para pejuang republik ini bisa dilakukan dengan menumpang kapal Pelni dari pelabuhan Ambon atau pesawat berbadan kecil dengan jadwal yang kadang tak menentu. Dengan Pelni, Banda bisa dicapai dalam waktu sekitar 8-12 jam, sementara dengan pesawat udara -- seperti seharusnya -- waktu perjalanan bisa dipangkas hingga menjadi 45 menit saja! 

Kapal cepat ke Banda berangkat setiap pukul 08.00 WIT dari Tulehu. Keramaian khas pelabuhan sudah mulai terlihat begitu saya turun dari taksi. Karena waktu keberangkatan masih setengah jam lagi, saya menyempatkan sarapan nasi kuning di salah satu warung semi permanen yang berjejer di area pelabuhan. Mengetahui saya akan berangkat ke Banda, ibu penjual nasi kuning beranggapan bahwa saya adalah seorang pemandu wisata. Anggapan yang sangat wajar, mengingat kunjungan ke Banda memang didominasi oleh turis asing.

Tak berapa lama setelah menghabiskan sepiring nasi kuning, Lukman akhirnya datang. Begitu tiket sudah di tangan, kami segera menuju KM Bahari Express, yang akan segera menarik sauh menuju Banda.

Meninggalkan pelabuhan Tulehu, saya merasakan adrenalin mulai terpacu. Maklum, saya adalah anak gunung yang sudah lama sekali tidak naik kapal laut. Perjalanan laut terakhir yang saya lakukan adalah dari Batam menuju Tanjung Balai Karimun, yang kemudian dilanjutkan ke Buton, Riau. Namun, tentu perjalanan kali ini jauh lebih menantang, karena yang akan kami arungi adalah Laut Banda, yang kedalamannya berkali-kali lipat dibanding laut di Kepulauan Riau sana.

Pada satu jam pertama perjalanan, pulau-pulau di Maluku masih terlihat dengan jelas. Sinyal ponsel pun masih sangat kuat. Bahkan saya masih sempat mengambil foto lalu 'memamerkannya' langsung di media sosial (anak zaman now banget he-he). Penumpang lain juga terlihat sibuk dengan gawai masing-masing.

Begitu kapal meninggalkan perairan Seram menuju Banda, sinyal pun hilang. Pemandangan di sekeliling hanyalah laut dan laut. Seolah tak bertepi. Saya mencoba membunuh rasa bosan dengan membaca buku, namun tak sampai 5 halaman, kantuk pun menyerang. Alhasil saya pun tertidur.

Ketika terbangun, pemandangan masih terlihat monoton: laut yang terhampar begitu luas (padahal kalau di peta Indonesia di ruang kelas SMP dulu perairan ini kelihatannya kecil banget he-he). Namun, tak beberapa lama kemudian dari riak air muncul satu dua ekor ikan terbang. Lalu disusul oleh segerombolan yang lain. Mereka ternyata benar-benar terbang. Tak hanya meloncat beberapa meter, namun mengepakkan sayap (sirip) hingga puluhan meter. Seru sekali menyaksikan ikan-ikan terbang itu dengan mata kepala sendiri.

Para penumpang bule tampak antusias menyaksikan pemandangan tersebut. Beberapa bahkan telah siap 'mengintai' dengan posisi kamera menghadap ke laut.

Keseruan menyaksikan ikan terbang kemudian disusul dengan sekawanan lumba-lumba yang berenang beberapa meter dari kapal. Saya langsung teringat adegan di film besutan sutradara Ang Lee, Life of Pi, ketika Pi Patel terkatung-katung di samudara luas bersama Richard Parker si harimau bengala.

Perjalanan yang cukup lama membuat para penumpang membuka obrolan dengan penumpang lain. Saya kebetulan duduk di depan seorang bule dari Inggris yang ternyata adalah anggota sebuah komunitas menyelam (diving).

Edward, si bule ini, adalah seorang guru Kimia di Hongkong. Ia bercerita, sudah 17 tahun ia memimpikan untuk bisa berkunjung ke Banda Naira. Di bagian 'Banda Naira' di buku Lonely Planet yang dihadiahkan oleh istrinya pada Natal 2003, ia telah menandai beberapa bagian di kepulauan Banda Naira yang ingin ia kunjungi.

Obrolan terus berlanjut ke berbagai hal, mulai dari topik remeh-temeh hingga perbincangan serius tentang agama. Hingga di ujung garis laut mulai terlihat gunung Banda Api yang menjulang dengan gagah.

***

Duduk di beranda Bintang Laut, tempat penginapan yang dikelola Lukman, yang dari pinggirannya Anda bisa mencelupkan kaki ke laut yang penuh ikan sambil memandang Gunung Banda Api atau sekadar menyaksikan kapal yang berlalu-lalang merupakan salah satu aktivitas favorit saya selama di Banda. Baik pagi maupun sore hari, suasana yang tercipta sungguh mendamaikan hati. Apalagi ditemani secangkir teh kayu manis dan sepiring pisang goreng hangat.

Di pagi hari, dari arah pasar yang mengular hingga dermaga kecil yang hanya berjarak sepelemparan batu dari Bintang Laut, akan terdengar riuh-rendah orang-orang yang berebutan membeli ikan langsung dari nelayan yang pulang melaut. Tak hanya satu, tapi bisa dua atau tiga kapal sekaligus. Para pembeli yang sudah siap dengan kantong masing-masing berdesakkan, menunggu di semua sisi dermaga.

Lalu jual-beli pun berlangsung. Hiruk-pikuk khas kampung nelayan. Ikan-ikan segar satu persatu masuk ke dalam kantong plastik atau tas belanjaan, lalu berpindah tangan. Seorang yang ditunjuk khusus dari para pelaut di masing-masing kapal bertugas mengumpulkan uang. Kantong kresek yang ia pegang tampak penuh oleh lembar-lembar rupiah.

Tak butuh waktu lama sampai ikan-ikan ludes terjual. Terlambat sedikit saja sudah bisa dipastikan Anda tidak akan kebagian.

Saya yang tak terbiasa dengan pemandangan "khas" seperti itu pun tergoda untuk ikut mencoba merasakan secara pengalaman membeli ikan langsung dari nelayan yang pulang melaut. Lumayan buat dibakar nanti malam.

Dan Anda tahu harganya berapa? Lima ekor ikan yang menyerupai tuna kecil (saya lupa namanya) dijual hanya dengan harga Rp. 10.000 ( sepuluh ribu rupiah). Saya memang tak pernah membeli ikan di pasar-pasar di Jakarta ataupun di Padang, tapi saya yakin dengan uang Rp.10.000 Anda tidak akan bisa mendapatkan bahkan satu ekor ikan dengan jenis dan ukuran yang sama. Apalagi dengan tingkat kesegaran yang sangat terjamin.

Laut Banda memang surganya ikan segar. Seperti yang diungkapkan Lukman, "ikan di Banda cuma mati sekali. Ikan di Jakarta mati berkali-kali..."

***

"Besok kita berangkat ke puncak," ujar Lukman sebelum malam itu kami berpisah setelah seharian berkeliling kota Naira. Lukman telah menyiapkan segala sesuatunya, termasuk gula merah sebagai penambah stamina instan selama peralanan nanti.

Besoknya, pagi-pagi kami memulai perjalanan menuju puncak Banda Api. Dari Naira, kami diantar ke seberang dengan sebuah perahu motor yang memang biasa mengantar-jemput di jalur penyebrangan tersebut. Rupanya di depan kami sudah ada seorang bule entah dari mana, yang hanya seorang diri menunggu di pos awal menuju puncak Banda Api.

Si bule menyapa kami. Mungkin ia memang menunggu teman untuk mendaki. Ia tampak sumringah melihat kedatangan kami. Begitu kami berangkat, ia pun ikut membuka langkah.

Ada tiga orang teman yang akan bergabung bersama kami dalam pendakian kali ini. Saya dan Lukman memutuskan untuk menunggu mereka di pos kedua, tak berapa jauh dari titik keberangkatan. Sementara si bule melanjutkan perjalanan seorang diri ke atas. "Berani juga dia," ujar saya dalam hati.

Gunung Api Banda merupakan satu dari gugusan kepulauan Banda Naira, yang juga termasuk dalam rangkaian Cincin Api (Ring of Fire). Pada kaki Banda Api yang menghadap Pulau Naira masih terdapat rumah-rumah penduduk. Namun pada sisi yang lain, sepenuhnya adalah hutan.

Banda Api tercatat meletus terakhir kali pada tahun 1988. Akibat letusan ini, ketinggian gunung yang semula menjulang hingga 823 m di atas permukaan laut ambles menjadi 645 m. Lava Flow atau aliran lava erupsi Banda Api yang muntah ke laut kini menjadi spot menyelam favorit, dikarenakan suksesi karang yang sangat fantastis di zona tersebut.

Bagi yang hobi mendaki, Banda Api merupakan spot wajib yang harus dijajal. Jalur pendakian menuju puncak gunung berapi aktif ini tidaklah terlalu sulit. Namun pada beberapa titik tingkat kemiringannya bisa mencapai 45 derajat. Selain itu, para pendaki juga harus berhati-hati dan selalu waspada, pasalnya di sepanjang jalur pendakian terdapat kerikil dan bebatuan gunung yang bisa menggelinding kapan saja.

Dibutuhkan waktu sekitar 2 jam bagi pemula untuk sampai di puncak Banda Api. Sementara untuk turun, waktu tempuh kurang lebih setengahnya. Lukman yang sudah berkali-kali mendaki Banda Api konon dulu bisa mencapai puncak hanya dalam waktu 45 menit saja. Namun tidak kali itu. Mungkin ia menyesuaikan ritme pendakian dengan saya dan rekan lain yang masih sangat amatir.

Beberapa kali kami terpaksa berhenti, sekadar untuk melepas penat sambil minum air dan mengunyah potongan gula merah atau mengabadikan beberapa momen di hutan yang menyelimuti pinggang Banda Api.

Semakin ke atas, kerapatan pohon semakin berkurang hingga hilang sama sekali. Digantikan semak belukar dan beberapa jenis tumbuhan yang mengingatkan saya pada spesies anggrek liar.

Pemandangan dari puncak Banda Api sangat panoramik. Anda bisa melihat pulau-pulau di Banda Naira dengan jelas. Banda Besar, Naira, Pulau Pisang (Syahrir), Karaka dan Rozengain (Hatta) di sebelah timur, sementara di sebelah barat terdapat Pulau Ai, Run dan Nailaka.

Matahari hari itu bersinar garang, seolah menyambut kami dengan berkah kesehatan yang tak terhingga. Terik matahari timur yang berkolaborasi dengan kawah-kawah api mini yang menganga di puncak Banda Api, membuat tubuh kami basah oleh keringat. Tubuh terasa segar dan sehat - meski tentu saja kami dapat bonus kulit gosong dan bau matahari yang aduhai.

Saya membayangkan, ratusan tahun silam para penduduk yang diusir secara paksa oleh para penjajah menyusun taktik di puncak Banda Api. Lalu saat para kompeni tertidur, mereka dengan pedang terhunus bergerak ke bawah, lalu menyeberang ke Naira: merebut pulau tempat mereka lahir dan dibesarkan. Perang berkecamuk. Darah berceceran. Bunyi letusan bedil di mana-mana.

Namun tentu saja hal itu hanya dalam imajinasi saya saja. Memang terjadi penyerangan dari penduduk Banda yang mengungsi ke pulau-pulau di sekitar Naira dan Banda Besar semasa pendudukan Belanda, namun dengan skenario yang berbeda - tentu saja. Tapi satu hal yang pasti: pala yang menjadi primadona rempah yang pernah membubungkan nama Banda Naira ke langit Eropa telah membawa petaka bagi penduduknya sendiri kala itu.

Para ilmuwan, pelaut, bangsawan dan saudagar dari Eropa berlomba-lomba mencari sumber rempah-rempah yang semula hanya bisa mereka dapatkan dari para pedagang Cina dan Arab. Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk membiayai ekspedisi penemuan pulau rempah-rempah. Tak sedikit korban jiwa yang tercatat dalam upaya penemuan "harta karun" ini.

Orang-orang Banda yang semula mengganggap pala sebagai sumber kehidupan pun mau tak mau mulai menerima kenyataan bahwa kutukan telah beranak-pinak di setiap butir buah pala. Ketamakan bangsa berkulit pucat dari benua jauh yang dengan cara apapun ingin menguasai sumber daya di bumi mereka. Mereka terusir dari tanah mereka sendiri. Semua demi pala.

Begitu zaman bergulir, dan pala tak lagi menjadi primadona, Banda Naira pun 'ditinggalkan', menjadi halaman belakang negeri ini. Bahkan, Banda pernah dijadikan sebagai tempat pembuangan tokoh-tokoh bangsa yang dianggap 'berbahaya' bagi Belanda, seperti Hatta, Syahrir, dan Iwa Kusuma Sumantri. Rumah-rumah yang pernah mereka tempati kini dialihfungsikan menjadi museum.

Ke mana orang-orang asli Banda itu pergi? Konon mereka dibawa ke Jawa, dijadikan pekerja paksa. Banyak yang mati -- tentu saja.

Lukman bercerita bahwa penduduk Banda hari ini adalah campuran dari berbagai etnis yang datang dari berbagai pelosok Tanah Air. Setelah genosida yang dilakukan Belanda di Banda, mereka mendatangkan para pekerja dari Jawa. Orang-orang inilah yang kemudian beranak pinak dan menghuni pulau-pulau di Banda Naira.

Kami turun dengan semangat dan perspektif baru tentang hidup. Belum habis perahu yang mengantar kami pulang bersandar di pinggiran dermaga kecil, hujan turun dengan tergesa. Titik-titik air yang kemudian mengepung seantero pulau dengan hentakan kaki-kaki raksasa yang begitu perkasa.

***

Meninggalkan Banda Naira untuk kembali ke Jakarta, saya merasakan sebagian diri saya tertinggal di pulau kecil nan molek itu. Apalagi demi mengingat rutinitas yang sudah menunggu di Ibukota. Ingin rasanya menghabiskan waktu sedikit lebih lama di sana, namun jatah cuti sudah tidak bisa diperpanjang lagi.

Ketika pesawat mungil jenis twin-otter milik maskapai Aviastar yang akan membawa kami ke Pattimura Ambon lepas landas dari bandara Banda Naira, saya mulai mengingat-ingat rencana perjalanan yang tidak sempat saya realisasikan selama di Banda. Kunjungan ke Run, menginap di Hatta, menyelam dan menemukan koloni ikan mandarin, hingga rencana bersampan bersama bocah-bocah di dermaga Banda Naira.

Bahkan, detik ketika Banda Naira hilang bersama gumpalan awan yang menebal, rindu sudah mulai membiru. Ah, beta janji, suatu hari kelak, beta akan kembali...

(Tulisan ini terhimpun dalam buku catatan perjalanan saya "Take Off: Cerita-cerita dari Udara" (2019)) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun