Mohon tunggu...
afri meldam
afri meldam Mohon Tunggu... penyuka jengkol, ikan segar, dan rempah

Lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra. Menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai dan bermain lumpur di sawah. Mempunyai ikatan dengan ikan-ikan. Kini tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Integritas Seorang Sopir Taksi

9 November 2017   17:32 Diperbarui: 9 November 2017   18:10 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini tentang seorang sopir taksi. Namanya Pak Salim. Bukan Salim Kancil yang dibunuh gara-gara kasus tambang pasir itu. Tapi ini adalah sopir taksi yang mengantar saya ke Karawaci.

Saya memesan taksi melalui aplikasi daring. Pak Salim menjemput saya ke stasiun Tangerang. Malam itu lalu lintas di kawasan stasiun agak padat. Tapi toh dia tetap menjemput saya.

Dia menyapa saya dengan sopan. Lalu menanyakan apakah saya bersedia lewat tol dengan tarif dua ribu rupiah. Saya setuju. Dan kami pun meluncur menuju Karawaci.

"Kalau mau ke Karawaci bagusnya tadi turun di stasiun Tanah Tinggi aja Pak. Lebih deket dan gak macet kaya ke Stasiun Tangerang" ia membuka percakapan.

Tujuan saya adalah salah satu apartemen di Karawaci. Jujur saya baru sekali ke sana. Dan ini adalah kunjungan kedua saya. Saya pun belum terlalu hapal jalan ke sana. Tapi saya ingat lokasinya tak jauh dari Super Mall Karawaci.

Pak Salim menawarkan untuk mengambil jalan pintas melewati kawasan perumahan A. Saya ingat kawasan perumahan tsb dan mengiyakan "rencana" si sopir - meski saya masih sedikit ragu apa dia benar-benar tahu lokasi yang saya tuju.

Dan ternyata benar. Kami nyasar di belakang sebuah perumahan. Memang ada kompleks apartemen di sana, dan itu bukan apartemen yang saya tuju.

Saya panik. Pak Salim pun tak kalah panik. Dia minta maaf berkali-kali karena telah salah jalan. "Saya pikir ini Mas apartemennya."

Saya merutuk dalam hati. Kesal. "Tadi katanya Bapak tahu jalannya..." terlontar juga kata-kata itu. Tentu dengan nada yang agak sedikit keras.

Mau memakai GPS, hape saya sudah mau tewas. Baterainya tinggal 3 persen, dan paket data sudah saya matikan sama sekali. Saya lalu menghubungi teman, menyuruhnya menjemput saya ke sebuah waserba tak jauh dari sana. Sekalian saya ke ATM, ngambil duit buat bayar ongkos taksi.

Pak Salim berkali-kali meminta maaf. Pas saya mau membayar ongkos, dia bilang begini "Mas, saya kasih diskon aja. Jangan bayar semuanya. Tadi kan ada diskon dari aplikasi juga."

"Ga usah Pak. Gak apa-apa kok. Lagian temen saya udah mau ke sini kok."

Ia menampik. "Jangan, Mas. Atau gini aja. Kita cari apartemen itu sampai dapet. Argonya saya matiin aja. Ga usah bayar. Ini serius, Mas" ia bersikeras.

"Temen saya udah di jalan ke sini,Pak. Serius, ga papa. Ini bukan salah Bapak juga" saya merasa tak enak hati.

"Atau saya antar Mas ke Mall tadi biar mas nunggu temennya di sana aja?"

Saya menggeleng. "Terima kasih Pak. Ga usah." Jawab saya sopan.

"Saya ga mau aja Mas penumpang saya berpikir kalau saya menipu mereka. Saya gau mau anak istri saya makan dari uang yang didapat dari hasil menipu. Kalau penumpang ga ikhlas bayar kan uangnya ga berkah,Mas." Ia menjelaskan.

Saya kagum mendengar kata-kata itu. Jelas ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Jelas itu bukan kata-kata bohong penutup kesalahan yang biasa dilontarkan sopir taksi kebanyakan.

"Iya gak apa-apa,Pak. Saya ikhlas kok." Untuk ke sekian kalinya saya berusaha meyakinkan Pak Salim untuk menerima uang pembayaran taksinya.

"Jadi Mas mau nunggu di sini aja temennya? Ya udah. Kita parkir di depan situ aja Mas. Mas nunggu di dalam aja sampai temen Mas dateng." Katanya,lalu menuju tempat parkir di depan waserba tadi.

Sampai akhirnya temen saya datang, Pak Salim terus saja keukeh ingin mengembalikan ongkos taksi yang tadi saya bayar. Dan berkali-kali ia minta maaf dan kerelaan hati saya atas kesalahannya. Kata-kata "saya gak mau ngasih makan anak bini saya dari uang hasil nipu orang," yang diucapkan pak Salim terus terngiang-ngiang di kepala saya sampai sekarang.

Andai saja para koruptor di negeri ini bisa ketemu sopir taksi ini. Tapi mana mungkin koruptor mau naiks taksi? Kalaupun iya, mungkin bukan taksi tarif bawah yang dibawa Pak Salim.

Pak Salim, hormat saya untuk Bapak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun