Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - Student of Master Degree - Diponegoro University

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Efek Domino Ketidaktuntasan

10 Juli 2020   06:30 Diperbarui: 10 Juli 2020   06:30 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dokumentasi Pribadi)

"Lalu, dia datang. Kawanmu ini datang dan mengambil peran sebagai penenang. Bisa dibilang penyembuh lukamu dari Sutan, kan?"

Mengangguk lagi, Puan membenarkan. Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan bicara.

"Sebenarnya, kawanmu dan Sutan sama. Keduanya adalah efek domino dari ketidaktuntasanmu dengan Fian. Dan, inilah yang dari dulu aku takutkan saat awal-awal kau jalan dengan Sutan, Dik!"

"Maksud Kakak?"

"Sutan datang di waktu yang tepat. Waktu di mana kau sendiri belum bisa berdamai dengan permasalahamu dengan Fian. Lalu, kau gegabah mengiyakan Sutan hingga akhirnya, kau pun masuk dalam lingkaran yang jelas-jelas berisiko besar terhadap kehidupanmu. Sekarang? Terulang. Kau belum benar-benar tuntas dengan Sutan sekalipun kalian sudah putus. Kemudian, kawanmu ini datang dengan segala kenyamanan dan perhatian yang lagi-lagi kau telan mentah, terus..." belum selesai aku bicara, Puan pun menyela.

"Terus apa, Kak? Kakak mau bilang aku bodoh? Memang! Bodoh kali memang aku ini, nggak ada otakku dan memang terlalu goblok aku ini, Kak! Aku mudah diperdaya nyaman dan memang, semua yang Kakak omongkan itu benar. Fian memang masih ada di otakku, bahkan aku tidak akan menyangkal kalau aku masih sayang Fian. Perihal efek domino yang Kakak singgung pun persis dengan apa yang temanku bilang, dia sempat berkata kalau dia takut antara khilaf dalam memperlakukanku atau terseret dalam efek domino bayang-bayang Fian dalam hidupku," dengan setengah membentak, Puan bicara.

"Terus? Kenapa kau nangis saat kawanmu ini masih belum tuntas juga dengan masa lalunya? Bukankah posisinya sama?" bentakku balik.

"Maksudnya?"

"Kau! Kau sendiri belum benar-benar menuntaskan perdamaianmu dengan masa lalu. Dia, kawanmu itu pun belum tuntas dengan masa lalunya. Kalian sama saja! Bedebah!"

Puan terkejut melihatku mengumpat.

"Aku paham, kau mulai sayang dengan kawanmu itu dan wajar. Bahkan, dari gerak-gerik kalian berdua yang beberapa kali terlihat olehku pun nampak kali kalau memang kalian ini ada ketertarikan. Meski aku tidak berani memastikan, apakah tindak-tanduk kalian berdua ini memang dilandasi oleh kasih, atau hanya nafsu. Namun, terlepas dari apa yang melatarbelakangi kedekatan kalian dan perasaan kalian berdua, aku cuma mau bilang satu hal, yakni, tuntaskanlah!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun