Mohon tunggu...
Syahid Al Fatih
Syahid Al Fatih Mohon Tunggu... Freelance

Mengharap ridho Allah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perjalanan Hidup & Pesan Persatuan : Kisah Qus Ajir Ubaidillah dalam podcast bersama Habib Ja'far Al-Jufri

15 September 2025   08:50 Diperbarui: 15 September 2025   08:50 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Dokumentasi Tim Hayfala)

Dalam sebuah wawancara yang mendalam dan penuh hikmah, Habib Ja'far Al Jufri berbincang dengan Gus Ajir Ubaidillah, seorang putra dari almarhum Kyai Ahmad Syamsul Ma'arif. Percakapan mereka bukan hanya menguak kisah personal, tetapi juga membawa pesan universal tentang keteguhan, pengorbanan, dan pentingnya persatuan umat.

Gus Ajir membuka ceritanya dengan kenangan masa kecil yang penuh tantangan. Ia mengisahkan bagaimana ayahnya meninggal saat ia baru berusia 4,5 tahun, meninggalkan keluarganya dalam kondisi ekonomi yang sangat sulit. Sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara, ia merasakan betul bagaimana keterbatasan dapat menempa karakter. Ia bahkan mengenang momen saat keluarga mereka tidak memiliki cukup uang untuk mengambil jenazah ayahnya dari rumah sakit. Namun, kesulitan tersebut, alih-alih membuatnya terpuruk, justru menjadi bekal spiritual yang mendorongnya untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan bersemangat dalam menuntut ilmu.

Kisah itu berlanjut pada pembangunan Pondok Pesantren Nurul Huda, sebuah lembaga yang kini menjadi salah satu pilar pendidikan di komunitasnya. Gus Ajir menceritakan bahwa pondok yang didirikan oleh ayahnya itu bermula dari sebuah musholla kecil. Dari yang awalnya hanya memiliki 11 santri saat ayahnya wafat, kini pondok tersebut telah berkembang pesat dengan sekitar 1.600 santri. Kisah ini menjadi bukti nyata dari pesan yang ditekankan oleh Gus Ajir: bahwa sebuah hal besar selalu dimulai dari yang kecil, dan jika ditekuni dengan keseriusan serta keistiqomahan, ia akan membesar.

Bagian yang tak kalah menarik adalah pengalamannya saat menuntut ilmu di pesantren Habib Taufik bin Abdul Qadir Assegaf. Setelah shalat istikharah, Gus Ajir memutuskan untuk mondok di sana. Ia sangat terkesan dengan akhlak dan bimbingan Habib Taufik, yang tidak hanya mengajarinya dengan kata-kata, tetapi juga dengan perbuatan. Ia berbagi cerita-cerita berkesan, seperti ketika gurunya mengingatkan ia dengan lembut untuk tidak minum menggunakan tangan kiri atau bahkan ketika Habib Taufik tanpa ragu membayarkan biaya pengobatan untuknya. Ini menunjukkan bahwa teladan seorang guru jauh lebih bermakna daripada sekadar teori.

Di bagian akhir, percakapan mereka mengalir pada isu-isu yang lebih besar, yaitu fitnah yang mencoba memecah belah ulama. Gus Ajir menekankan pentingnya persatuan antara kyai dan habaib, sebuah nilai yang sudah ditanamkan oleh ayahnya sejak dulu. Keduanya sepakat bahwa kecantikan sejati seseorang tidak terletak pada kekayaan atau penampilan luar, melainkan pada akal dan adab yang baik. Pesan ini menjadi penutup yang kuat, mengingatkan para pendengar bahwa persatuan umat adalah hal yang harus dijaga dari perpecahan yang diciptakan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun