Tak menunggu lama, Mbak Devi segera bergerak menyajikan soto yang saya pesan. Selama ia menyiapkan saya sibuk memotret rombong khas soto Madura, dengan jejeran telur dan tomat yang dipajang rapi di salah satu sisinya.Â
Sementara di sisi lain terdapat dandang besar berisi kuah soto yang bergejolak. Tak lama kemudian soto pun diantarkan, dengan kepulan asap yang menandakan bahwa kuahnya masih panas.
Tanpa pikir panjang saya segera mencicipinya. Â Rasanya lezat, gurih, dengan taburan koya yang banyak. Koya inilah yang membuat rasa soto semakin nikmat.Â
Isiannya sendiri tak jauh beda dengan soto-soto pada umumnya. Ada soun, irisan tomat dan kubis, suwiran ayam yang cukup melimpah, dan tak lupa potongan telur asin.
Saya menyantapnya begini saja, ditambah dengan irisan jeruk yang diperas, plus krupuk udang dan sambal. Kecap? Tidak saya tambahkan. Entah kenapa, bagi saya cita rasa kecap jika ditambahkan pada soto kurang pas di lidah saya.
Lalu apa rahasia kelezatan soto hingga digemari dari generasi jaman old hingga generasi jaman now? Ternyata rahasianya terletak pada resep asli yang dipertahankan dari jaman kakek mereka hingga kini sang cucu yang menjalankan usaha. Tidak pernah berubah, begitu ujar Mbak Devi menegaskan ceritanya.
Harganya sendiri masuk akal. Seporsi soto ayam di sini dihargai Rp16.000,00, sedangkan krupuk udangnya Rp1.000,00 per biji. Jika ditambah minuman teh tawar tinggal menambahkan Rp3.000,00 saja. Saya sendiri merogok kocek Rp 21.000,00 untuk seporsi soto, dua kerupuk udang, dan segelas teh tawar hangat.
Jika Anda kurang suka soto, tersedia rawon juga di tempat ini. Maaf, karena belum mencicipi, saya tak bisa berkomentar seberapa lezat rasa rawonnya. Apakah bisa menandingi si soto atau malah kebalikan dari itu. Lain kali, jika ada kesempatan menikmati rawon di warung ini, insyaallah saya akan cerita.
Nah, satu hal yang membuat saya terkesan adalah cerita Mbak Devi bahwa dari usaha soto ini mertuanya bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang yang tinggi.
Suami Mbak Devi sendiri adalah lulusan Brawijaya, sementara sang adik menjadi pramugari. Yang lebih menyenangkan lagi, adalah cerita bahwa suami Mbak Devi usai kuliah justru memilih pulang, untuk meneruskan usaha ini.Â