Banyak sekali kuliner lezat dan legendaris di Genteng, Banyuwangi. Salah satunya adalah warung soto Madura Pak Rapik yang terletak di jalan Gadjah Mada 225. Jaraknya kira-kira 40 km-an dari Banyuwangi kota, dengan waktu tempuh kurang lebih 1,5 jam dengan mobil atau motor.
Warung ini mudah dicari. Orang dengan mudah mengenali karena di depan warungnya terdapat stand banner bertuliskan Warung Soto Madura Pak Rapik. Jika Anda takut kelewatan, jadikan SEM (Sun East Mall) atau Indomart sebagai ancar-ancar. Karena letaknya tak jauh dari sana. Kurang lebih 50 meter sebelum SEM atau Indomart.
Mbak Devi, perempuan yang saya temui di balik kasir Warung Soto Madura Pak Rapik siang itu berkata bila pengelolanya kini adalah sang cucu. Nah, suami Mbak Devi inilah cucu dari pemilik warung soto Pak Rapik pertama.
Kediaman saya berubah jadi ketakjuban ketika mendengar bahwa pelanggannya pun turun-temurun sebagaimana pengelola warung soto Pak Rapik. Berawal dari Kakek dan Neneknya, kegemaran makan soto pun diteruskan hingga anak cucunya. Cerita ini tak urung mengingatkan saya pada beberapa teman saya yang merantau di luar kota. Sewaktu mereka pulang kampung tempat ini acap jadi tujuan wisata kuliner.Â
Mereka ajak serta keluarganya serta untuk mencicipi kelezatan soto yang sudah dikenal sejak jaman muda. Tak pelak jika kemudian keluarganya ikut menggemari juga. Tidak heran bila berlibur di sini, istri, suami atau anaknyalah yang antusias minta datang ke warung soto legenda ini.
Ketika disinggung soal tempat, Mbak Devi bilang sudah berpindah sebanyak tiga kali. Awalnya memang di sini, di tempat yang kini dihuni. Setelah itu pindah ke depan toko Moro Seneng.Â
Namun, karena kontraknya tidak bisa diperpanjang lagi warung soto Madura Pak Rapik beralih tempat lagi, yaitu di Jalan Gajah Mada 225, Genteng, Banyuwangi. Tempat awal menjajakan soto ini.
Lalu berapa porsi ya yang dihabiskan warung legendaris ini dalam sehari? Berdasarkan informasi dari Mbak Devi, Warung Soto Pak Rapik ini bisa menghabiskan dua ratus porsi pada hari-hari libur. Sebaliknya pada hari-hari biasa kurang lebih seratus porsi atau kurang.
Nah, bicara soal pilihan di tempat ini ada tiga macam soto yang bisa kita pesan, yaitu soto ayam, daging, dan jerohan. Biasanya pemilik warung akan menanyakan sewaktu kita tiba. Seperti hari itu ketika saya datang ke warung Soto Pak Rapik.Â
Begitu saya tiba, Mbak Devi dengan ramah bertanya soto apa yang saya inginkan. Karena lebih suka soto ayam ketimbang dua lainnya, saya pun menjawab pilih soto ayam saja.
Tak menunggu lama, Mbak Devi segera bergerak menyajikan soto yang saya pesan. Selama ia menyiapkan saya sibuk memotret rombong khas soto Madura, dengan jejeran telur dan tomat yang dipajang rapi di salah satu sisinya.Â
Sementara di sisi lain terdapat dandang besar berisi kuah soto yang bergejolak. Tak lama kemudian soto pun diantarkan, dengan kepulan asap yang menandakan bahwa kuahnya masih panas.
Tanpa pikir panjang saya segera mencicipinya. Â Rasanya lezat, gurih, dengan taburan koya yang banyak. Koya inilah yang membuat rasa soto semakin nikmat.Â
Isiannya sendiri tak jauh beda dengan soto-soto pada umumnya. Ada soun, irisan tomat dan kubis, suwiran ayam yang cukup melimpah, dan tak lupa potongan telur asin.
Saya menyantapnya begini saja, ditambah dengan irisan jeruk yang diperas, plus krupuk udang dan sambal. Kecap? Tidak saya tambahkan. Entah kenapa, bagi saya cita rasa kecap jika ditambahkan pada soto kurang pas di lidah saya.
Lalu apa rahasia kelezatan soto hingga digemari dari generasi jaman old hingga generasi jaman now? Ternyata rahasianya terletak pada resep asli yang dipertahankan dari jaman kakek mereka hingga kini sang cucu yang menjalankan usaha. Tidak pernah berubah, begitu ujar Mbak Devi menegaskan ceritanya.
Harganya sendiri masuk akal. Seporsi soto ayam di sini dihargai Rp16.000,00, sedangkan krupuk udangnya Rp1.000,00 per biji. Jika ditambah minuman teh tawar tinggal menambahkan Rp3.000,00 saja. Saya sendiri merogok kocek Rp 21.000,00 untuk seporsi soto, dua kerupuk udang, dan segelas teh tawar hangat.
Jika Anda kurang suka soto, tersedia rawon juga di tempat ini. Maaf, karena belum mencicipi, saya tak bisa berkomentar seberapa lezat rasa rawonnya. Apakah bisa menandingi si soto atau malah kebalikan dari itu. Lain kali, jika ada kesempatan menikmati rawon di warung ini, insyaallah saya akan cerita.
Nah, satu hal yang membuat saya terkesan adalah cerita Mbak Devi bahwa dari usaha soto ini mertuanya bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang yang tinggi.
Suami Mbak Devi sendiri adalah lulusan Brawijaya, sementara sang adik menjadi pramugari. Yang lebih menyenangkan lagi, adalah cerita bahwa suami Mbak Devi usai kuliah justru memilih pulang, untuk meneruskan usaha ini.Â
Jadi warung yang sudah melegenda ini tetap lestari, bahkan sampai nanti. Orang-orang bisa pulang dan bernostalgia di sini. Mencicipi rasa soto yang sudah teramat dikenal meski tahun-tahun telah berganti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI