Meskipun umumnya berbagai macam kegiatan manusia berpusat di daratan, laut memiliki hakikat khususnya  dala berkontribusi bagi kehidupan manusia, mulai dari penyediaan sumber daya alam, jalur pelayaran, sarana pertahanan dan keamanan, hingga sebagai pemisah antara satu negara dan negara lainnya. Keunggulan-keunggulan strategis inilah yang  dapat menjadikan suatu negara akan adanya laut menjadi sangat terikat. Kepentingan tersebut tergambarkan dalam konsep sea power yang menyatakan bahwa negara yang berhasil menguasai laut akan memaksimalkan kekuatan yang dimilikinya untuk dapat bersaing secara global. Pemahaman  akan Sea Power Theory yang dicetuskan oleh Alfred Thayer Mahan seorang ahli Maritim Amerika Serikat, Istilah Sea Power pertama kali muncul di akhir abad 19 oleh Raer Admiral Alfred Thayer Mahan. Ia mengatakan bahwa "Barangsiapa menguasai lautan, akan menguasai dunia" (Mahan, 1890)
Laut China Selatan terletak di kawasan Pasifik Barat, dengan sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh negara-negara Asia Tenggara. Dengan luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi, dianggap sebagai laut yang "setengah tertutup" karena dikelilingi oleh daratan di hampir seluruh sisinya. Di bagian barat hingga selatan, berbatasan dengan Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia bagian barat, sedangkan di bagian timur berbatasan dengan Filipina. Di sebelah selatan, perbatasannya melibatkan Indonesia dan Malaysia bagian timur. Di luar negara-negara Asia Tenggara, hanya ada dua negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, yaitu Republik Rakyat China (RRC) dan Taiwan di bagian utara. Terdapat empat kepulauan utama di Laut China Selatan, Paracel, Spratly, Pratas, dan Macclesfield. Dari keempatnya, Paracel dan Spratly dua kepulauan yang paling sering menjadi sumber sengketa, dengan konflik terbesar berpusat di Kepulauan Spratly. Hal ini disebabkan oleh klaim yang diajukan oleh enam negara, yaitu RRC, Taiwan, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia (Amer, 2002).
 Sengketa di Laut Cina Selatan bermula ketika China mengklaim sekitar 95% wilayah laut serta pulau-pulau kecil di kawasan tersebut sebagai bagian dari teritorialnya. Ketegangan semakin memuncak ketika China memperkuat kekuatan militernya melalui pembangunan infrastruktur seluas 1.300 hektare, yang bertujuan untuk memperkuat pertahanan di kawasan tersebut (Cobus, 2019). Klaim China ini didasarkan pada argumen sejarah yang mereka ajukan, di mana mereka menolak aturan hukum internasional yang diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Sejak diadopsi pada tahun 1982, sekitar 100 negara telah meratifikasi UNCLOS, yang mengatur batas maritim negara-negara berdasarkan garis pantai mereka, termasuk perbatasan Indonesia dengan Laut China Selatan (BBC Indonesia, 2023). Beberapa insiden bersenjata telah terjadi di Laut China Selatan, seperti konflik antara China dan Vietnam di Johnson South Reef pada tahun 1988, pendudukan China di Mischief Reef pada tahun 1995, serta baku tembak antara kapal perang Cina dan Filipina di dekat Pulau Campones pada tahun 1996. Insiden-insiden ini mengindikasikan bahwa perselisihan di Laut China Selatan dapat dengan mudah berubah menjadi konflik terbuka kapan saja.
Dinamika Laut China Selatan
Sejarah peradaban Laut China Selatan memiliki nilai geopolitik dan historis  yang sangat penting karena menjadi "jembatan" antara China dan negara lain, khususnya negara anggota ASEAN sekarang. Kawasan perairan ini tidak hanya menjadi arena sejarah bersama, tetapi juga menjadi sumber berbagai isu seperti sengketa teritorial, keamanan regional, serta pemanfaatan sumber daya alam dalam upaya menjaga ketahanan energi. Terdapat 6 negara yang terlibat langsung sengketa Laut China Selatan yaitu Brunei Darussalam, China, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam. Menilik secara politik, kawasan Laut China Selatan dikelilingi oleh negara-negara yang memiliki sejarah panjang konflik dan pergolakan. Kondisi ini sering kali menjadi peluang bagi kekuatan dan pengaruh luar kawasan untuk terlibat, yang pada akhirnya dapat memengaruhi perdamaian dan stabilitas regional, seperti layaknya yang terjadi dalam kasus Indocina (James N. Rosenau, 1969). Dari sudut pandang strategis, pada saat semasa  Perang Dingin, negara-negara di sekitar Laut China Selatan pernah berperan sebagai pangkalan militer dan menjalin aliansi dengan Amerika. Dalam ranah aspek yuridis kawasan Laut China Selatan menghadirkan berbagai permasalahan yang berpotensi memicu konflik regional. Masalah tersebut  meliputi klaim tumpang tindih atas pulau-pulau dan karang, perbatasan laut teritorial, landas kontinen, serta Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Sebagai jalur penyokong hubungan internasional, kawasan ini semakin rentan terhadap peningkatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, termasuk minyak bumi. Program industrialisasi yang dijalankan negara-negara pesisir juga memunculkan isu-isu kelautan seperti perdagangan narkotika, pencurian, pembajakan, dan pencemaran lingkungan.
Sengketa teritorial di Laut China Selatan tidak hanya terbatas pada persoalan kedaulatan atas pulau-pulau, tetapi juga menyangkut hak berdaulat atas landas kontinen dan  Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Hal ini terutama berkaitan dengan penggunaan teknologi dalam penambangan dasar laut, yang dapat secara tidak sengaja melanggar kedaulatan negara antarnergara. Negara pesisir seperti China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam, mengajukan klaim atas wilayah di Laut China Selatan berdasarkan sejumlah dasar hukum, termasuk antara lain  penemuan (discovery), pendudukan (occupation), yurisdiksi administratif (administrative jurisdiction), pencantuman resmi ke dalam wilayah nasional (official incorporation into the territory), perjanjian internasional (international agreements), pengakuan internasional (foreign recognition), serta pelaksanaan wewenang secara damai dan berkelanjutan.
Diplomasi sebagai Pilihan Utama, Tetapi Tantangan Tetap Ada
Meskipun konfrontasi tampaknya semakin dekat dengan meningkatnya aktivitas militer di Laut China Selatan, diplomasi tetap menjadi jalan yang paling realistis untuk mencapai penyelesaian yang berkelanjutan. Upaya-upaya seperti dialog bilateral, negosiasi multilateral, serta pendekatan hukum internasional harus terus didorong. Organisasi seperti ASEAN, PBB dan NGO lainnya, memainkan peran penting dalam menciptakan ruang dialog di mana negara-negara dapat berkomunikasi tanpa harus mengorbankan integritas wilayah mereka.
Namun, diplomasi juga harus disertai dengan penguatan mekanisme keamanan regional. Â ASEAN Â sebagai organisasi terbesar di Asia Tenggara, dengan memainkan perannya perlu bersatu dalam menghadapi kekuatan besar seperti Tiongkok, sekaligus menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat untuk menyeimbangkan dinamika kekuasaan di kawasan. Tiongkok juga harus lebih terbuka terhadap dialog dan menghormati hukum internasional agar penyelesaian damai dapat tercapai. Â Di lain sisi Negara-negara tersebut sepakat dan berpendapat untuk menahan diri dari melakukan aktivitas yang dapat memperburuk perselisihan dan mengancam perdamaian serta stabilitas di kawasan Laut China Selatan. Kesepakatan ini mencakup larangan untuk menghuni pulau-pulau, karang, pulau buatan, atau fitur lainnya yang berada di wilayah perairan tersebut. Namun, pernyataan tersebut tidak menyinggung putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) pada 12 Juli 2016 di Den Haag, Belanda, yang menyatakan bahwa klaim Beijing atas perairan yang kaya akan sumber daya alam di Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum.
REFRENSI
Rosenau, James N, 1969. International Politcs and Foreign Policy, New York: the Free Press.
Asnani Usman dan Rizal Sukma, 1997. Konflik Laut Cina Selatan dan Tantangan bagi ASEAN, Jakarta: CSIS
Mahan, A. T. (1890). The influence of sea power upon history, 1660-1783.