Bapak itu berteriak menyapa temannya yang kebetulan berdiri di depan toko. Nampak senyuman sumringah menghiasi wajahnya yang lelah. Senyuman lebar, seakan tanpa beban hidup terlihat di wajahnya.
Aku ikut tersenyum melihatnya. Benar kata orang-orang, senyuman bisa menular. Seandainya aku bisa melihat penampilan seperti ini setiap harinya. Pasti aku akan menjadi orang yang penuh syukur.
Tak sadar, kubandingkan apa yang kulihat secara berurutan. Sebuah mobil mewah. Rupanya pemiliknya orang kaya, dengan pekerjaan yang sudah mapan. Tampak dari luar bahwa kehidupan orang itu membahagiakan. Tapi kita tidak tahu kebenarannya, bisa jadi sangat melenceng.
Disisi lain, sebuah sepeda onthel usang. Tampak dari luar bahwa kehidupan pemiliknya penuh dengan perjuangan. Bisa jadi kehidupan seperti itu sangat melelahkan. Lagi-lagi kita tidak tahu kebenarannya, bisa jadi kehidupannya membahagiakan.
Akhirnya, manusia tidak bisa dinilai dari tampilan luarnya saja. Melihat senyuman bapak separuh baya tadi, aku yakin uang bukan satu-satunya sumber kebahagiaan. Apapun pekerjannya, yang terpenting adalah halal.Â
Disaat seperti ini aku teringat wejangan kyai ku dalam sebuah ceramah. Makan dan hiduplah melalui uang halal. Barang syubhat (sesuatu yang tidak jelas antara halal atau haramnya) saja harus dihindari, apalagi uang haram. Tentu dalam prakteknya sangatlah susah, tapi sebisa mungkin kita harus menghindarinya.
"Mbak, siomay nya sudah siap."
Panggilan bapak penjual siomay membuyarkan imajinasiku. Aku berdiri dan mengeluarkan dua lembar uang lima ribuan.
Malang, 26 September 2020