Sore itu, kuputuskan untuk menghirup udara segar. Menikmati senja yang selalu membuat ku kagum. Keindahan alam memang selalu bisa memanjakan mata, membuatku lebih tenang. Sejenak berpaling dari tugas-tugas yang memusingkan kepala.
Aku duduk terpaku di bangku panjang depan gerobak siomay. Sambil menunggu bapak penjual menyiapkan pesananku. Seharusnya disaat-saat seperti ini aku lebih menghemat dan mengurangi jatah jajanku. Ah tak apalah, sekali-kali. Akhirnya sekali-kali yang berubah menjadi berulang kali dan menjadi kebiasaan.
Namun, kalau dipikir-pikir tidak terlalu buruk juga, apalagi kalau jajannya diniati sedekah seperti kata pak ustadz yang kudengar di TV. Toh bapak penjual siomay juga merupakan tulang punggung keluarga. Bisa jadi penghasilannya berasal dari siomay. Aku berspekulasi.
Bosan menunggu, ku palingkan pandanganku ke jalan raya. Kubiarkan pikiranku berimajinasi. Terlihat lalu lalang kendaraan bermotor. Sebuah mobil Toyota Alphard keluaran terbaru lewat di depanku.
"Wih. Orang itu pasti kaya. Kapan ya aku bisa punya mobil seperti itu." Batinku.
"Jarang-jarang loh dikampung ini ada yang punya mobil semewah itu. Apa ya pekerjaannya?"sosok diriku yang lainnya menyahut.
Tanpa kusadari, aku mengucapkan sholawat dalam hati. Rupanya kebiasaan temanku menular kepadaku, yaitu mengucapkan sholawat ketika melihat sesuatu yang diinginkan.
Tak berselang lama. Seorang bapak mengayuh sepeda onthel butut, dengan sekarung rumput diikat di bagian belakang. Perkiraanku umur bapak itu sudah lebih dari separuh baya. Kulitnya berwarna hitam legam mengkilat terkena keringat. Pasti rumput itu buat pakan ternaknya.
Bapak itu mengayuh sepedanya perlahan demi perlahan.
"Kok umur segitu masih kerja yang berat ya. Seharusnya beliau duduk santai dirumah menikmati masa senja."
Aku mengkritisi apa yang kulihat. Ah, mudah sekali manusia mengkritisi sesuatu.
Bapak itu berteriak menyapa temannya yang kebetulan berdiri di depan toko. Nampak senyuman sumringah menghiasi wajahnya yang lelah. Senyuman lebar, seakan tanpa beban hidup terlihat di wajahnya.
Aku ikut tersenyum melihatnya. Benar kata orang-orang, senyuman bisa menular. Seandainya aku bisa melihat penampilan seperti ini setiap harinya. Pasti aku akan menjadi orang yang penuh syukur.
Tak sadar, kubandingkan apa yang kulihat secara berurutan. Sebuah mobil mewah. Rupanya pemiliknya orang kaya, dengan pekerjaan yang sudah mapan. Tampak dari luar bahwa kehidupan orang itu membahagiakan. Tapi kita tidak tahu kebenarannya, bisa jadi sangat melenceng.
Disisi lain, sebuah sepeda onthel usang. Tampak dari luar bahwa kehidupan pemiliknya penuh dengan perjuangan. Bisa jadi kehidupan seperti itu sangat melelahkan. Lagi-lagi kita tidak tahu kebenarannya, bisa jadi kehidupannya membahagiakan.
Akhirnya, manusia tidak bisa dinilai dari tampilan luarnya saja. Melihat senyuman bapak separuh baya tadi, aku yakin uang bukan satu-satunya sumber kebahagiaan. Apapun pekerjannya, yang terpenting adalah halal.Â
Disaat seperti ini aku teringat wejangan kyai ku dalam sebuah ceramah. Makan dan hiduplah melalui uang halal. Barang syubhat (sesuatu yang tidak jelas antara halal atau haramnya) saja harus dihindari, apalagi uang haram. Tentu dalam prakteknya sangatlah susah, tapi sebisa mungkin kita harus menghindarinya.
"Mbak, siomay nya sudah siap."
Panggilan bapak penjual siomay membuyarkan imajinasiku. Aku berdiri dan mengeluarkan dua lembar uang lima ribuan.
Malang, 26 September 2020