Mohon tunggu...
Afifatul Khoirunnisak
Afifatul Khoirunnisak Mohon Tunggu... Petani - Sarjana Pertanian

Menikmati perjalanan hidup dengan belajar dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Atas Senyum Sepeda Butut

26 September 2020   09:39 Diperbarui: 26 September 2020   09:41 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber. Pixabay.com

Sore itu, kuputuskan untuk menghirup udara segar. Menikmati senja yang selalu membuat ku kagum. Keindahan alam memang selalu bisa memanjakan mata, membuatku lebih tenang. Sejenak berpaling dari tugas-tugas yang memusingkan kepala.

Aku duduk terpaku di bangku panjang depan gerobak siomay. Sambil menunggu bapak penjual menyiapkan pesananku. Seharusnya disaat-saat seperti ini aku lebih menghemat dan mengurangi jatah jajanku. Ah tak apalah, sekali-kali. Akhirnya sekali-kali yang berubah menjadi berulang kali dan menjadi kebiasaan.

Namun, kalau dipikir-pikir tidak terlalu buruk juga, apalagi kalau jajannya diniati sedekah seperti kata pak ustadz yang kudengar di TV. Toh bapak penjual siomay juga merupakan tulang punggung keluarga. Bisa jadi penghasilannya berasal dari siomay. Aku berspekulasi.

Bosan menunggu, ku palingkan pandanganku ke jalan raya. Kubiarkan pikiranku berimajinasi. Terlihat lalu lalang kendaraan bermotor. Sebuah mobil Toyota Alphard keluaran terbaru lewat di depanku.

"Wih. Orang itu pasti kaya. Kapan ya aku bisa punya mobil seperti itu." Batinku.

"Jarang-jarang loh dikampung ini ada yang punya mobil semewah itu. Apa ya pekerjaannya?"sosok diriku yang lainnya menyahut.

Tanpa kusadari, aku mengucapkan sholawat dalam hati. Rupanya kebiasaan temanku menular kepadaku, yaitu mengucapkan sholawat ketika melihat sesuatu yang diinginkan.

Tak berselang lama. Seorang bapak mengayuh sepeda onthel butut, dengan sekarung rumput diikat di bagian belakang. Perkiraanku umur bapak itu sudah lebih dari separuh baya. Kulitnya berwarna hitam legam mengkilat terkena keringat. Pasti rumput itu buat pakan ternaknya.

Bapak itu mengayuh sepedanya perlahan demi perlahan.

"Kok umur segitu masih kerja yang berat ya. Seharusnya beliau duduk santai dirumah menikmati masa senja."

Aku mengkritisi apa yang kulihat. Ah, mudah sekali manusia mengkritisi sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun