Kau pikir semua akan baik-baik saja. Putrinya pasti akan seperti putrimu. Akan indah merawat dua putri yang manis.
Tapi tidak. Tentu saja ada persaingan. Apalagi mereka beda ibu. Ada hari di mana kau mendapati anakmu dikurung di kamar mandi dengan baju basah kuyup. Atau barangnya disembunyikan saudarinya.
Di samping itu bisnis keluarga suamimu tambah maju. Kamu tambah sibuk. Suamimu lelah, dan anak tirimu bertingkah seperti tuan putri.
Kamu merutuki dirimu berkali-kali, merasa bersalah saat putrimu dalam keadaan sulit. Saat ia dijahili saudarinya, saat ia dihukum ayahnya. Ya, ayahnya mendidik dengan menghukum setiap apa yang tidak sesuai, termasuk menyabet anakmu dengan ikat pinggang.
Lalu kalian tidak pernah menjadi pasangan normal. Tidak ada liburan bersama, makan di restoran ayam goreng, atau menghadiri acara sekolah putrimu.
Suamimu tidak puas. Menikah lagi beberapa kali dimulai dengan sebuah pengkhianatan. Kau mulai mati rasa. Marahmu bertumpuk sudah jadi getir. Kecewamu sudah jadi pasrah.
Putrimu harus tumbuh dengan hal-hal yang sulit. Sesuatu yang abnormal... Ah, tentu saja ia menyayangimu.
Dasar bodoh. Kenapa buat sebuah pilihan yang bodoh? Kenapa tidak bercerai saja? Kenapa harus jalani hidup yang sulit? Kenapa semuanya terlihat dan terdengar salah? Kenapa kamu yang salah?
Kamu setiap hari berjuang untuk hatimu sendiri, berjuang agar semua tidak terasa salah. Berusaha memperbaiki apa yang dirusak orang lain. Kenapa jadi kamu yang jadi perempuan bodoh? Kenapa jika kamu ceritakan ceritamu ke seluruh dunia, kau akan dicap sebagai perempuan dungu yang memilih pilihan yang tidak masuk akal. Karena dalam logika mereka kalau laki-laki tukang selingkuh akan selingkuh lagi. Dan sialnya, dalam ceritamu mereka benar. Walaupun ada yang benar-benar tidak berselingkuh lagi. Walaupun ada yang berhasil memperbaikinya. Toh mereka akan tetap dicap sebagai perempuan bodoh.
...
Tentu saja aku tidak mungkin mengutuk orang yang paling berjasa di hidupku dengan sebutan bodoh.