Dasar perempuan bodoh.
Kenapa ada dua WhatsApp di ponsel suamimu? Kau terkejut. Tapi seperti belum cukup, kau malah menemukan chat suamimu dengan seorang perempuan. Pembicaraan tidak senonoh. Soal ranjang, yang bahkan tidak pernah kalian bicarakan sepanjang usia pernikahan kalian.
Kamu tidak tahu perasaan apa yang kamu rasakan. Terlalu marah untuk dibilang kecewa. Terlalu kecewa untuk dibilang sakit hati. Suami yang kau kira manusia yang dipilihkan Tuhan secara sempurna diperlihatkan padamu cacatnya. Tentu ini bukan sekedar cacat. Tentu ini bukan salah Tuhan.
Lalu salah siapa ini? Salahku kah? Kamu mulai bertanya-tanya. Apa yang kurang dariku? Kenapa tidak membicarakannya? Tubuhmu bergetar. Air matamu tumpah.
Aku harus bagaimana sekarang? Apakah aku sudah gagal? Dan kau sedang mengandung. Bukankah ironis?
Kau bertanya padanya, suami bajinganmu itu. Dia tidak membantah. Dia mengakui bahwa memang ada wanita lain, bahwa bukan kamu satu-satunya. Semuanya tidak seperti yang ia bicarakan padamu setiap hari.
Kamu tidak terima. Tidak tahan lagi. Lalu berniat menggugatnya. Belum perjalanan kamu ke pengadilan, berita itu sudah terdengar oleh keluargamu, dan juga keluarga besarnya.
Saudari-saudarinya mendatangimu, memohon untuk memikirkan bahwa putri di kandunganmu akan lahir tanpa ayah. Apakah peran ayah akan selesai ketika sang ayah bercerai dengan ibunya? Bukannya tidak? Lalu dari mana ucapan ‘tidak ada istilahnya mantan ayah' artinya ayah akan menjadi ayahmu selamanya.
Atau apakah artinya ‘saudaraku tidak akan menjadi ayah lagi kalau kau menceraikannya'? Tentu saja kau takut putrimu tidak punya sesosok ayah.
Lalu orang tuamu mendatangimu. Bukannya mendukung keputusanmu seperti seharusnya orang tua, meskipun tahu kalau perselingkuhan jelas bukan salahmu, karena kau selalu menjadi istri yang baik, mereka tetap menceramahimu soal betapa aibnya status janda di mata masyarakat. Dan bahwa kamu tidak akan menemukan lagi laki-laki dengan status agama dan sosial yang sama seperti dia. Atau hal-hal lain. Intinya kau akan sama terlihat bodoh, salah, atau jahat dengan pilihan apa pun.
Dan dia mendatangimu, si brengsek, dan bilang kalau dia khilaf, ini cuma sebuah kesalahan, dia tidak sengaja, tidak akan mengulangi lagi.
Akhirnya kau membuat sebuah pilihan. Pilihan yang akan dinilai semua orang bodoh. Tapi keluarga besarmu akan lega karena kamu tidak akan menjadi aib, menjadi janda saat sedang mengandung.
Dasar bodoh. Kenapa membuat sebuah pilihan bodoh? Kau merutuki dirimu setiap hari. Tapi pada akhirnya kau mencoba memilih untuk mempercayainya.
Tidak. Belum. Belum berhenti cerita perempuan bodoh ini.
Beberapa bulan kemudian, kau akhirnya tahu bahwa perempuan itu sudah berzina dengan suamimu. Bahkan hamil, dan sekarang sudah melahirkan seorang putri. Sudah terlanjur. Kau sudah jadi bodoh.
Saudari-saudarinya mendatangimu lagi. Mengatakan hal semacam tidak masalah dengan mempunyai madu. Tidak masalah soal saudara tiri. Kami saja terlahir dari ibu yang berbeda, karena ayah kami mengamalkan 'sunnah'.
Dia menikahinya. Seperti yang dibicarakan, “Tidak mungkin ada seorang bayi yang lahir tanpa ayah.”
Kamu ingin bertahan, lagi-lagi karena putrimu. Ia lahir dan jadi pelipur laramu. Harusnya ini sudah cukup dan sampai sini saja.
Tapi tidak. Laki-laki itu mungkin merasa bersalah, mungkin minder, atau memang pada dasarnya memang bajingan, dia mulai mencetus kalau mungkin putri cantik ini bukan anaknya. Menyebut-nyebut kalau perselingkuhannya di masa lalu adalah salahmu juga, atau berkata mungkin kamu selingkuh juga.
Kenapa bodoh? Kenapa tidak pergi saja? Kenapa kau tidak berteriak dan berkata bahwa mengurus tempat usaha dan rumah saja sudah sulit, lalu bagaimana berselingkuh? Kenapa tidak berkata bahwa laki-laki di hidupmu hanya si bajingan dan aktor yang seperti Leonardo D'Caprio? Kenapa diam saja ketika dipukul? Kenapa tetap membantunya mengurus bisnis? Bodoh.
Putrimu sudah menjelma jadi gadis lucu, tapi si selingkuhan, ah maaf, istri muda hilang entah ke mana. Seolah-olah hidupnya sudah cukup menderita, sudah dan selalu jadi yang kedua. Kau diam-diam memujinya, karena dia berhasil pergi sedangkan kau tidak.
Lalu bukankah si istri muda punya seorang putri? Tidak, dia tidak membawa putrinya pergi bersamanya. Iya, kau yang merawatnya, Bodoh.
Kau pikir semua akan baik-baik saja. Putrinya pasti akan seperti putrimu. Akan indah merawat dua putri yang manis.
Tapi tidak. Tentu saja ada persaingan. Apalagi mereka beda ibu. Ada hari di mana kau mendapati anakmu dikurung di kamar mandi dengan baju basah kuyup. Atau barangnya disembunyikan saudarinya.
Di samping itu bisnis keluarga suamimu tambah maju. Kamu tambah sibuk. Suamimu lelah, dan anak tirimu bertingkah seperti tuan putri.
Kamu merutuki dirimu berkali-kali, merasa bersalah saat putrimu dalam keadaan sulit. Saat ia dijahili saudarinya, saat ia dihukum ayahnya. Ya, ayahnya mendidik dengan menghukum setiap apa yang tidak sesuai, termasuk menyabet anakmu dengan ikat pinggang.
Lalu kalian tidak pernah menjadi pasangan normal. Tidak ada liburan bersama, makan di restoran ayam goreng, atau menghadiri acara sekolah putrimu.
Suamimu tidak puas. Menikah lagi beberapa kali dimulai dengan sebuah pengkhianatan. Kau mulai mati rasa. Marahmu bertumpuk sudah jadi getir. Kecewamu sudah jadi pasrah.
Putrimu harus tumbuh dengan hal-hal yang sulit. Sesuatu yang abnormal... Ah, tentu saja ia menyayangimu.
Dasar bodoh. Kenapa buat sebuah pilihan yang bodoh? Kenapa tidak bercerai saja? Kenapa harus jalani hidup yang sulit? Kenapa semuanya terlihat dan terdengar salah? Kenapa kamu yang salah?
Kamu setiap hari berjuang untuk hatimu sendiri, berjuang agar semua tidak terasa salah. Berusaha memperbaiki apa yang dirusak orang lain. Kenapa jadi kamu yang jadi perempuan bodoh? Kenapa jika kamu ceritakan ceritamu ke seluruh dunia, kau akan dicap sebagai perempuan dungu yang memilih pilihan yang tidak masuk akal. Karena dalam logika mereka kalau laki-laki tukang selingkuh akan selingkuh lagi. Dan sialnya, dalam ceritamu mereka benar. Walaupun ada yang benar-benar tidak berselingkuh lagi. Walaupun ada yang berhasil memperbaikinya. Toh mereka akan tetap dicap sebagai perempuan bodoh.
...
Tentu saja aku tidak mungkin mengutuk orang yang paling berjasa di hidupku dengan sebutan bodoh.
Ibuku adalah termasuk orang terpintar yang aku kenal di hidupku. Gelarnya Ph.D. Bekerja dengan orang penting di negeri matahari terbit. Tapi ada satu hal yang membuatnya dikutuk dengan titel ‘perempuan bodoh', ayah.
Aku menyaksikan sesuatu yang terlalu sulit kusaksikan, aku memahami sesuatu yang harus dengan cepat aku pahami. Keluargaku bukan seperti keluarga yang ada di buku pelajaran, bukan seperti yang ada di buku atau di film. Aku lahir dengan dua ibu.
Aku lahir dengan kenyataan bahwa ibuku punya wanita yang menjadi saingan di hidupnya. Bahwa ayahku bukan ayah yang diimpikan seorang anak perempuan. Bahwa aku punya saudari seperti di film Cinderella.
Puncaknya adalah saat aku tidak mematuhi keputusannya hingga diancam tidak akan dapat warisan, aku jadi pembangkang. Ibuku bahkan tidak dinafkahi.
Sial. Bodoh. Kau lupa lahir di keluarga seperti apa? Rutukku.
Lalu ayahku marah besar. Berkata semacam kita harus mematuhi orang tua selama hidup di dunia.
Cih. Ke mana saja? Ke mana kau saat anak gadis lain diantar ayahnya ke sekolah? Ke mana kau saat seharusnya ayah menasihati anak gadisnya alih-alih memukulnya? Ke mana kamu saat harusnya aku melihatmu menyayangi ibuku, seperti yang dikatakan psikolog anak di seminar parenting?
Tapi tidak berlangsung lama, seperti dimusuhi takdir ibu tercintaku jatuh sakit. Kami butuh uang. Dan ayahku sangat kaya. Ah bagaimana ini, aku sangat mencintai ibuku. Aku hanya punya ibuku di dunia ini. Gajiku sebagai guru honorer tidak cukup untuk pengobatan ibu. Aku harus meminta bantuan ayahku untuk ibu. Apakah satu-satunya jalan adalah mengikuti permintaannya?
Ah bodoh!
Bukan, bukan ibuku yang bodoh. Walaupun aku bertanya-tanya mengapa ibu harus bertahan sejauh ini. Walaupun aku berandai-andai kalau saja ibu memilih pergi dan jalan yang mudah ketimbang benjolan yang muncul di payudaranya beberapa puluh tahun kemudian. Aku tidak lagi menyalahkannya. Lagi pula bukan ibuku yang bodoh kan?
Kenapa semua pemaaf itu bodoh? Kenapa orang yang tidak bisa memaafkan itu jahat? Kenapa orang yang tidak memilih keduanya adalah pengecut?
Bukankan Sang Nabi adalah orang paling pemaaf? Mengapa sekarang film tentang pembalasan dendam terdengar seru?
Dalam sebuah pengkhianatan bukankah sang pengkhianat yang jahat? Lantas kenapa menyalahkan sang korban dan mengatainya bodoh? Memang kenapa kalau ia memilih memaafkan?
Kenapa selalu ada perempuan bodoh pada setiap laki-laki jahat. Korban perselingkuhan, kekerasan, pelecehan. Hidup mereka sudah berat, memaafkan pun, asal dia hidup dengan baik tak masalah. Kalianlah yang harus menghukumnya. Kenapa masih mengatainya bodoh?
Sial. Kenapa selalu ada perempuan bodoh pada setiap laki-laki jahat?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
