Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Aku Cinta Padamu, Tuts (Curhat)

12 Februari 2017   13:42 Diperbarui: 12 Februari 2017   14:02 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan kuceritakan bagaimana efek jatuh hati-ku pada tuts hitam-putih.

Dia adalah cita-cita sejak seragamku masih merah putih. Cita-cita? Fyi, dulu cita-citaku nggak cuma satu dan selalu nambah. Awalnya setiap ditanya cita-cita jawabnya selalu dokter. Lalu seiring berkurangnya usia malah berkembangbiak menjadi dokter anak, dokter yang bedah-bedah (?), guru-apa-saja (entah dulu kenapa bilang begitu), lalu punya boneka poo yang besar (dulu ya, dulu), bisa main piano sambil nyanyi kayak mbak-mbak di tv, hajah mabrur (aamiin), bahkan sekarang nambah jadi istri amanah sholihah huahuahua istajibbb *yha. Dia lah yang membuatku ngotot ke orangtua untuk ikut tim marching band sekolah demi berkenalan dengannya. As I wish, aku terpilih jadi keyboardist, dengan catatan setiap latihan aku mewek karena dia terlalu berat untuk tubuhku yang mini ini. Hihihi.

Sampai ketika rok merahku jadi biru, aku masih menginginkannya. Jadilah aku bertekad untuk menabung dengan keyakinan yang (seakan-akan) penuh. Tapi, yah, begitulah. Terkumpul sedikit, tergoda banyak. Buat beli sepatu lah, tas lah, jajanan lah, daaan sebagainya hingga program menabung itu gagal. Sempat syedih sih. Dan apa yang terjadi? Jengjenggg, aku berpaling pada senar gitar karena dia lebih seksi (apasih). Hiks, maafin aku ya tuts :(

Perselingkuhan itu berlangsung sampai rok-ku meng-abu-abu (bahkan sampai warna-warni sekarang). Sebenarnya itu adalah perselingkuhan yang tak dirindukan. Bagaimanalah, di penghujung kelas 9 Sekolah Menengah Pertama ada ujian praktek akhir seni musik di mana seluruh siswa wajib menampilkan apapun dengan alat musik. Karena di rumah ada seruling, pianika, dan gitar, akhirnya aku memilih kandidat nomor 3 berkat hasil pertapaan di kamar. Nggak deng, karena seruling dan pianika itu membosankan, menurutku.

Oh iya, sebelum mendapat hidayah belajar gitar, dahulu aku justru nggak suka gitar sama sekali. Kenapa? Karena saat itu aku beranggapan bahwa alat musik yang satu ini teh “cowok-banget” dan nggak ada kerennya. Suaranya juga gitu-gitu doang nggak bisa diubah jadi aneka suara kayak keyboard (iya ini pernyataan yang cukup polos dan “apaan”). Kemudian hidayah itu datang melalui Bapake yang sering main gitar sambil nyanyi lagunya Ebiet G. Ade pakai fingerstyle. And that’s very GGWP (gamers pasti tahu istilah ini). Entah kenapa rasanya syahdu sekali ketika melihat jari Bapak memetik senar-senar itu. Lama kelamaan setiap beliau main aku jadi tertegun, mengamati, mengikuti, mengganggu, begitu seterusnya hingga akhirnya muncul keinginan itu.

“Pak, aku pengen bisa main gitar kayak Bapak” kataku suatu sore.


“Nanti jarinya sakit”

“Nggak pa-pa, belajar”

Dan guitar exercise bersama Bapak pun dimulai. Yihaaa. Tapi aku rada numbing gitu, karena di awal latihan cuma disuruh pegang gitar, sambil dengar lagu lewat headset, lalu disuruh “genjreng” sesuka hati sambil mengikuti irama lagu. Latihan yang aneh, aku kan pengennya main gitar kayak Bapak -_-

3 bulan pun berlalu. Ujian praktek tinggal hitungan hari. Hasilnya? Aku cuma bisa moving 3 kunci : D, A, dan G. So sad. Tapi alhamdulillah... pokoknya alhamdulillah mah. Di sisa-sisa hari, aku upgrading pengetahuan tentang kunci-kunci gitar sampai ke minor. Meskipun belum terlalu lancar moving sih.

Na’asnya, ujian praktek itu berubah menjadi bencana because it was the first time I performed with a guitar sambil nyanyi dengan suara yang naudzubillahimindzalik. Hasilnya? Jelas, huancur. Tapi lulus SMP kok, beneran. Ahihihi. Ingat, semua ada hikmahnya kan yak...

Benar-benar, semua ada hikmahnya. Di tahun-tahun berikutnya, aku jadi bisa main gitar dengan agak sehat, maksudnya dari yang mainnya huancur jadi hancur, seperti ituh. Hihihi. Dan beberapa kali aku tergabung dalam band abal-abal di sekolah maupun di kampus. Tapi yang benar-benar has a lot meanning itu ketika di Ma’had Sunan Ampel Al-Aly tercinta (fyi lagi buat yang belum tahu, ma’had itu semacam pesantren atau asrama yang punya kegiatan seperti pesantren). Selain kegiatan fardhu bagi mahasantri seperti ta’lim, jama’ah, dan sebagainya, seringkali Ma’had tersebut mengadakan kegiatan sunnah seperti lomba atau penampilan antar kompleks. Di sanalah aku mendapat pengalaman berharga seperti betapa ngantuknya latihan nge-band tengah malam di lorong kamar-kamar, betapa riwehnya menentukan kostum yang syar’i tapi tetap modis dan ala kadarnya (hasil pinjam-meminjam dari seluruh komplek), betapa “gupuh”nya menciptakan sebuah lagu dalam dua malam, dan betapa-betapa lainnya. Tapi overall, betapa-betapa itulah yang nggak terlupakan, mungkin sampai aku tua nanti. Lumayan bisa diceritakan ke anak, cucu, dan suami... *iyainaja.

Dan singkat cerita, semesta memberiku kesempatan kedua untuk kembali kepada sang cinta lama. Dengan adanya rutinitas band, aku bisa berduaan dengan tuts disela-sela latihan. Terkadang aku berguru pada teman seper-ngeband-ku yang berperan sebagai pianis. Dan saking masih kepinginnya, sampai-sampai ku install app piano virtual di handphone *melas mode* huehue. Hingga akhirnya cita-citaku diijabah Allah ta’ala sebagai wujud implementasi galak gampil beberapa tahun terakhir dan jual gitar *uuuw. Iya, beberapa tahun terakhir aku menabung. Entah buat apa. Pokoknya nabung. Kemudian keinginan untuk memiliki dia tiba-tiba datang lagi. Jadilah aku menginvestasikan tabunganku demi meraih cita-cita. Bukankah harus ada pengorbanan untuk mendapatkan sesuatu? Ciaaa. Alhamdulillah wa ni’matillah. Penghujung tahun kemarin ku-mendapatkannya di toko alat musik sederhana langgananku dengan harga yang alhamdulillah juga. Sempat bimbang sih, karena ketika ku lihat-lihat di toko tersebut ada gitar yang mengalihkan duniaku tanpa permisi. Beruntung saat itu imanku tak jadi tergoyahkeun... apaan sih.

Demikianlah, ternyata mantra itu benar-benar manjur ya : man jadda wajada - man shobaro zafiro - man saaro ‘ala darbi washola (kalau sudah baca novel trilogi “Negeri 5 Menara” pasti mengerti kedahsyatan mantra ini). Sesungguhnya oh sesungguhnya, semua cita-cita bisa terwujud lho. Iya, semua. Asalkan ketiga mantra tersebut nggak cuma dirapal sambil ngayunin tongkat ala-ala Harry Potter. Hehehe nggak, yang penting mah selalu ingat rumus IDK, Ikhtiar + Do’a = Kun. Usaha yang dibarengi do’a pasti akan di acc sama Tuhan. Percayalah. Entah nantinya “Kun” itu seperti yang kita inginkan atau tidak, Tuhan selalu punya siasat yang Maha Keren untuk mewujudkan impian hamba-Nya. Seperti yang kucerucusi di tulisan ini (entah ini artikel, caption, atau curhat?), siapa yang sangka kalau cita-cita yang tadinya hanya ingin “di-ilham-i ilmu ke-piano-an” saja bisa beranak jadi “ke-piano-an dan ke-gitar-an”? Hehe. Kuy saling mendoakan supaya segala cita-cita kita di ijabah oleh-Nya dengan ijabah yang terbaik. Aamiin. Selamat meraih cita-cita! Sekian dan terima jodoh. Wassalam :)

Malang, Februari 2017

Di luar angin masih cukup kencang, jadi ngantuks

 

 

 

 

NB : ini lagu pertama yg masih amburadul hihihi https://www.instagram.com/p/BQZv1GLDYga/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun