Mohon tunggu...
A Afgiansyah
A Afgiansyah Mohon Tunggu... Dosen - Digital communication specialist

Praktisi dan Akademisi Komunikasi Media Digital dan Penyiaran. Co-Founder Proxymedia.id // Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Universitas Indonesia, dan Universitas Paramadina

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Produksi TV Vs Produksi Youtube

15 Juni 2022   21:56 Diperbarui: 15 Juni 2022   22:20 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi nonton Youtube di TV. Sumber: Shutterstock/A. Aleksandravicius

Kita bisa lihat ada narator dan penulis naskah. Keduanya orang-orang berbakat dengan keahlian profesional sehingga diperlukan biaya bagi stasiun TV membayar mereka. Selanjutnya untuk menyatukan gambar-gambar dengan naskah yang dinarasikan menjadi satu tayangan, diperlukan ahli penyuntingan gambar atau dikenal sebagai video editor. Tugasnya merangkai gambar-gambar hasil produksi amatir agar layak ditayangkan di televisi.

Maka di sini perlu kerja ekstra seperti menambahkan unsur grafis, pemilihan lagu, hingga gambar-gambar tambahan yang relevan. Ini satu lagi tambahan biaya profesional untuk tayangan "On The Spot". Selebihnya masih diperlukan juga biaya lisensi atau hak cipta dari lagu yang digunakan atau gambar-gambar tambahan. Kita mengenal beberapa penyedia lisensi gambar, video, dan musik seperti Shutterstock, Anvato, dan beragam penyedia lainnya.

Jadi, untuk produksi tayangan TV seperti "On The Spot" yang tampak sederhana dan berisi cuplikan gambar-gambar amatir, perlu biaya setidaknya untuk membayar penulis naskah, narator, dan editor profesional. Lalu diperlukan biaya lisensi buat musik, gambar, dan video tambahan. Belum lagi bicara peralatan seperti komputer editing, media penyimpanan, hingga perangkat audio pengisi suara profesional.

Bandingkan dengan produksi konten serupa "On The Spot" buatan amatir. Kemungkinan semuanya dilakukan sendiri oleh pembuat konten dengan peralatan seadanya dan musik-musik gratis yang tersedia di Youtube. Biayanya bisa jadi hampir mendekati nol.

Sekarang coba kita lihat produksi konten Youtube yang lebih profesional. Misalnya konten milik Deddy Corbuzier, "Close The Door, Corbuzier Podcast". Konten ini tampak diproduksi hampir setiap hari. Program talk show ini sukses meraih jutaan pemirsa pada tiap episodenya. Apakah Deddy Corbuzier bisa produksi konten ini tanpa biaya dengan mengandalkan koneksi ke para public figure sebagai narasumber? Tentu tidak.

Acara podcast Deddy Corbuzier di Youtube perlu diproduksi oleh profesional. Dimulai dari penentuan siapa saja narasumber yang perlu diundang. Jika diperhatikan, acara ini kerap kali mengundang orang-orang yang sedang dibicarakan atau terkait dengan topik pembicaraan di masyarakat. Bahkan dalam beberapa kesempatan, acara ini membuat bintang tamunya terpapar kepada khalayak lebih besar.

Misalnya Dea, mahasiswi di Semarang yang melakukan aksi pornografi di platform konten dewasa "OnlyFans". Setelah menjadi narasumber di acara Deddy, aksinya menjadi perhatian polisi hingga akhirnya Dea berurusan dengan hukum.

Nah, untuk mengundang orang-orang seperti ini diperlukan tim khusus yang melakukan riset. Topik apa saja yang sedang dibicarakan, siapa saja yang menjadi pembicaraan, hingga bagaimana para narasumber diundang tentunya tidak bisa dilakukan oleh Deddy sendirian.

Selain tim riset, podcast Corbuzier juga perlu tim produksi seperti penata artistik, kamera, lampu, hingga editor video. Belum lagi admin pengelola kanal Youtube dan media sosial lainnya. Diperlukan profesional untuk menghasilkan acara untuk menarik banyak pemirsa. Apalagi acara ini diproduksi hampir setiap hari.

Lalu, sekarang coba kita bandingkan dengan acara "Hitam Putih" di Trans 7 yang juga dibintangi Deddy Corbuzier. Sama-sama berbentuk talk show, produksi acara ini pasti lebih mahal dibandingkan podcast produksi Deddy sendiri. Di samping skala produksi yang lebih besar, terlihat dari set dan tata artistik lebih megah, salah satu biaya termahal di tayangan "Hitam Putih" adalah honor Deddy Corbuzier sendiri. Dalam produksi televisi, biaya selebriti pengisi acara bisa menghabiskan 50 hingga 70 persen dari total biaya produksi. Ini kenapa banyak selebriti memproduksi konten sendiri di Youtube karena mereka memiliki nilai tinggi untuk meraih pemirsa. Para selebriti ini cukup membayar para profesional untuk menjadi tim produksi konten yang mereka buat. Biaya tentu jadi lebih murah daripada produksi program TV.

Tanpa menyebut berapa biayanya, kita bisa lihat produksi konten televisi lebih mahal daripada konten Youtube. Jika kita lihat konten-konten TV tersebar di Youtube, buat stasiun televisi jadi media promosi sekaligus pendapatan tambahan. Tapi sebenarnya pendapatan dari Youtube buat stasiun TV tidak terlalu besar dibandingkan pendapatan mereka dari pengiklan. Bagi penyelenggara Youtube, kemauan stasiun TV untuk menyebarkan kontennya di platform berbagi video itu sangat menguntungkan. Youtube memperoleh konten-konten profesional berbiaya produksi mahal sehingga menarik banyak pemirsa untuk menjaring pengiklan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun