Di sebuah gang kecil di pinggiran kota, seorang ibu rumah tangga duduk termenung di depan rumahnya. Tatapannya kosong, bukan karena ia tidak punya pekerjaan, melainkan karena pikirannya penuh dengan beban tagihan yang menumpuk. Besok anaknya harus membayar biaya sekolah, tetapi di dompetnya hanya tersisa uang pas untuk membeli beras. Di warung tetangga ia sudah berhutang beberapa kali, dan di aplikasi pinjaman daring ada pesan peringatan yang masuk setiap hari. Bukan ia tidak ingin membayar, tetapi keadaan membuatnya hanya bisa menunda. Setiap kali mendengar ketukan di pintu rumah, jantungnya berdegup kencang, khawatir itu adalah penagih. Dalam benaknya, hutang bukan lagi sekadar angka, melainkan bayangan gelap yang selalu mengikutinya.
Kisah seperti ini bukan hanya milik seorang ibu rumah tangga di pinggiran kota. Ia adalah potret ribuan, bahkan jutaan orang Indonesia dari berbagai lapisan. Hutang telah menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat kebanyakan. Ia ada di pasar tradisional, di kios warung kelontong, di kontrakan buruh harian, bahkan di ruang digital melalui pinjaman online. Hutang menjadi penghubung antara kebutuhan yang tak bisa ditunda dengan kemampuan yang terbatas. Tetapi pada saat yang sama, hutang juga bisa menjelma menjadi jerat yang membelit, membuat orang kehilangan rasa tenang, kehilangan harga diri, bahkan kehilangan harapan.
Dalam perspektif sosiologi, hutang adalah kontrak sosial. Ia tidak berhenti pada relasi antara peminjam dan pemberi pinjaman, melainkan menjadi bagian dari struktur masyarakat yang melibatkan nilai, norma, dan stigma. Orang yang tidak mampu membayar hutang bukan hanya ditagih secara hukum, tetapi juga dihakimi secara sosial. Mereka kehilangan muka, dianggap tidak bertanggung jawab, bahkan dipandang sebagai beban. Dari perspektif psikologi, hutang adalah sumber tekanan batin. Ia melahirkan kecemasan, rasa bersalah, dan depresi. Kombinasi antara stigma sosial dan tekanan psikologis inilah yang membuat hutang tidak sekadar masalah ekonomi, melainkan juga masalah kemanusiaan.
Hutang sebenarnya bukan hal baru. Dalam sejarah peradaban, hutang selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Di banyak komunitas tradisional, hutang bahkan dilihat sebagai ikatan sosial yang memperkuat solidaritas. Seorang petani meminjam benih dari tetangganya, lalu mengembalikan setelah panen. Seorang nelayan berhutang garam atau peralatan, lalu mengembalikan dengan hasil tangkapan. Hutang bukan sekadar transaksi, melainkan kepercayaan. Tetapi dalam masyarakat modern, terutama dengan berkembangnya sistem keuangan kapitalistik, hutang berubah wujud. Ia menjadi angka yang dingin, perjanjian hukum yang kaku, dan instrumen bisnis yang kadang tidak lagi peduli pada sisi kemanusiaan.
Di titik inilah polemik muncul. Hutang dipandang dengan curiga, peminjam dianggap lemah, pemberi pinjaman dianggap menindas. Hubungan sosial yang semula bisa dikelola dengan rasa saling percaya berubah menjadi hubungan kuasa yang timpang. Seorang peminjam yang kesulitan membayar tidak jarang dipermalukan di ruang publik. Aplikasi pinjaman daring bahkan mengirim pesan ke seluruh kontak telepon peminjam untuk memberi tahu bahwa orang tersebut menunggak hutang. Rasa malu itu lebih menyakitkan daripada jumlah hutang itu sendiri.
Namun, bagi masyarakat kebanyakan, hutang tetaplah bagian dari realitas hidup. Tidak ada yang benar-benar bisa sepenuhnya bebas dari hutang. Orang dengan gaji pas-pasan sering bergantung pada hutang untuk menutup kebutuhan dasar. Pedagang kecil bergantung pada pinjaman modal untuk bertahan di pasar. Bahkan kelas menengah pun hidup dalam bayang-bayang cicilan rumah, cicilan kendaraan, dan tagihan kartu kredit. Hutang seakan menjadi benang yang mengikat semua lapisan, hanya dengan kadar dan bentuk yang berbeda.
Yang membedakan hanyalah bagaimana masyarakat memperlakukan hutang itu. Ada yang melihat hutang sebagai jembatan untuk keluar dari kesulitan, ada yang memandangnya sebagai lubang yang membuat hidup makin dalam terperosok. Ada yang mengelola hutang dengan disiplin sehingga tetap bisa bernapas, ada pula yang terjebak hingga tidak bisa lagi membedakan mana jalan keluar dan mana jalan buntu.
Dari sudut pandang sosio-psikologis, ada beberapa hal yang membuat hutang mudah membelit. Pertama, budaya gengsi dan konsumtif yang tumbuh subur. Banyak orang berhutang bukan karena benar-benar butuh, tetapi karena dorongan untuk terlihat tidak kalah dari orang lain. Membeli gawai terbaru, pakaian bermerek, atau mengikuti gaya hidup yang sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuan. Hutang dalam hal ini lahir bukan dari kebutuhan, melainkan dari tekanan sosial untuk diakui.
Kedua, rendahnya literasi finansial. Banyak masyarakat kebanyakan tidak benar-benar menghitung kemampuan bayar sebelum mengambil hutang. Pinjaman dianggap jalan keluar cepat, padahal tanpa perencanaan, ia justru membuka jalan buntu. Hutang lima ratus ribu rupiah bisa membengkak menjadi jutaan hanya karena keterlambatan membayar bunga.
Ketiga, cara penagihan yang menekan. Dalam masyarakat tradisional, menagih hutang sering dilakukan dengan cara halus, penuh basa-basi, bahkan dengan humor. Tetapi dalam konteks modern, terutama pinjaman digital, penagihan dilakukan dengan ancaman, teror, bahkan pelecehan. Akibatnya, hutang bukan lagi beban finansial semata, melainkan juga luka psikologis.
Keempat, kecenderungan menghindar. Secara psikologis, manusia cenderung menjauh dari masalah yang menekan. Peminjam memilih untuk diam, bersembunyi, atau memutus komunikasi. Padahal, semakin lama dihindari, hutang semakin membelit.
Jika kita ingin keluar dari polemik hutang, jalan keluarnya bukan dengan menghapus hutang dari kehidupan, karena itu mustahil. Jalan keluarnya adalah dengan membumikan cara memperlakukan hutang agar lebih masuk akal, adil, dan manusiawi. Di sinilah pentingnya memikirkan "way forward": apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat kebanyakan, komunitas, dan negara untuk memastikan hutang tidak lagi menjadi jerat, melainkan tetap berfungsi sebagai jembatan.
Pertama-tama, perlu ada perubahan cara pandang. Hutang tidak boleh diperlakukan sebagai aib. Ia harus dipandang sebagai amanah. Seorang peminjam tidak boleh merasa terhina hanya karena berhutang, tetapi ia juga tidak boleh lari dari tanggung jawab. Dengan melihat hutang sebagai amanah, peminjam terdorong untuk beritikad baik melunasi, sementara pemberi pinjaman terdorong untuk bersikap adil. Narasi sosial ini harus dibumikan, baik lewat pendidikan, media, maupun percakapan sehari-hari.
Kedua, komunikasi harus dibuka. Banyak konflik hutang sebenarnya berawal dari hilangnya komunikasi. Peminjam malu berbicara, pemberi pinjaman merasa dikhianati, lalu keduanya terjebak dalam prasangka. Padahal, dengan komunikasi terbuka, jalan tengah sering bisa ditemukan. Cicilan bisa diperpanjang, jumlah pembayaran bisa diperkecil, atau jadwal bisa diatur ulang. Komunikasi yang jujur dan manusiawi lebih sehat secara psikologis daripada saling diam dalam ketegangan.
Ketiga, masyarakat perlu menghidupkan kembali mekanisme solidaritas berbasis komunitas. Koperasi simpan pinjam, arisan, dan kelompok gotong royong terbukti lebih sesuai dengan kultur kita. Dalam mekanisme ini, hutang bukan sekadar angka, tetapi juga bagian dari jaringan sosial. Orang meminjam bukan pada lembaga asing yang dingin, tetapi pada tetangga atau anggota kelompok yang punya kepedulian. Dalam konteks ini, rasa malu tetap ada, tetapi malu yang konstruktif: malu jika tidak menepati janji kepada sesama.
Keempat, negara harus hadir lebih tegas dalam melindungi masyarakat dari praktik hutang yang mencekik. Pinjaman online ilegal, rentenir dengan bunga selangit, dan cara penagihan yang melanggar martabat manusia tidak boleh dibiarkan. Regulasi harus dipertegas, penegakan hukum harus konsisten, dan literasi keuangan harus diperluas. Hutang harus diletakkan dalam kerangka hukum yang tidak hanya menguntungkan lembaga keuangan, tetapi juga melindungi masyarakat kecil.
Kelima, perlu ada pemulihan psikologis. Orang yang terjerat hutang tidak hanya butuh uang untuk melunasi, tetapi juga butuh dukungan mental untuk bangkit. Mereka harus dibantu untuk membangun kembali rasa percaya diri, berhenti menyalahkan diri sendiri, dan belajar dari pengalaman. Dalam perspektif humaniora, martabat manusia tidak boleh diukur dari jumlah hutangnya, melainkan dari keberanian dan kejujurannya dalam menghadapi masalah.
Way forward dari polemik hutang adalah membangun budaya baru yang memandang hutang sebagai ruang kemanusiaan, bukan sekadar transaksi finansial. Budaya baru ini menekankan pada transparansi, komunikasi, solidaritas, regulasi yang adil, dan pemulihan psikologis. Dengan begitu, hutang bisa tetap ada dalam kehidupan masyarakat, tetapi tidak lagi membelit hingga mematikan.
Bayangkan jika seorang ibu rumah tangga seperti dalam kisah di awal tulisan bisa duduk bersama pemilik warung dan berbicara jujur tentang kesulitannya, lalu diberi kelonggaran. Bayangkan jika pinjaman online tidak lagi menagih dengan ancaman, tetapi memberi opsi restrukturisasi yang manusiawi. Bayangkan jika koperasi dan arisan kembali menjadi pusat solidaritas ekonomi warga, bukan hanya tempat berkumpul formalitas. Bayangkan jika anak-anak diajari sejak dini untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan, sehingga tidak mudah terjebak hutang karena gengsi.
Semua itu mungkin terjadi, asalkan kita mau menata ulang narasi sosial tentang hutang. Hutang bukan lubang hitam yang menelan hidup manusia. Ia bisa menjadi jembatan, jika dikelola dengan nilai kejujuran, musyawarah, dan solidaritas.
Pada akhirnya, hutang memang bisa lunas, tetapi luka sosial akibat cara kita memperlakukan hutang sering kali lebih lama bertahan. Karena itu, jalan ke depan haruslah meletakkan manusia di pusat persoalan hutang. Hutang boleh mengikat secara hukum, tetapi martabat manusia harus selalu lebih tinggi dari angka. Dengan membumikan perlakuan yang adil, manusiawi, dan masuk akal, masyarakat kebanyakan bisa keluar dari polemik hutang---bukan dengan menghapus hutang itu sendiri, melainkan dengan mengubah cara kita memperlakukannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI