Mohon tunggu...
Afen Sena
Afen Sena Mohon Tunggu... Dr, IAP, FRAeS

Anak muda dari kampung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Psiko-Sosiologi Memperlakukan Hutang

31 Agustus 2025   00:49 Diperbarui: 31 Agustus 2025   00:49 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keempat, kecenderungan menghindar. Secara psikologis, manusia cenderung menjauh dari masalah yang menekan. Peminjam memilih untuk diam, bersembunyi, atau memutus komunikasi. Padahal, semakin lama dihindari, hutang semakin membelit.

Jika kita ingin keluar dari polemik hutang, jalan keluarnya bukan dengan menghapus hutang dari kehidupan, karena itu mustahil. Jalan keluarnya adalah dengan membumikan cara memperlakukan hutang agar lebih masuk akal, adil, dan manusiawi. Di sinilah pentingnya memikirkan "way forward": apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat kebanyakan, komunitas, dan negara untuk memastikan hutang tidak lagi menjadi jerat, melainkan tetap berfungsi sebagai jembatan.

Pertama-tama, perlu ada perubahan cara pandang. Hutang tidak boleh diperlakukan sebagai aib. Ia harus dipandang sebagai amanah. Seorang peminjam tidak boleh merasa terhina hanya karena berhutang, tetapi ia juga tidak boleh lari dari tanggung jawab. Dengan melihat hutang sebagai amanah, peminjam terdorong untuk beritikad baik melunasi, sementara pemberi pinjaman terdorong untuk bersikap adil. Narasi sosial ini harus dibumikan, baik lewat pendidikan, media, maupun percakapan sehari-hari.

Kedua, komunikasi harus dibuka. Banyak konflik hutang sebenarnya berawal dari hilangnya komunikasi. Peminjam malu berbicara, pemberi pinjaman merasa dikhianati, lalu keduanya terjebak dalam prasangka. Padahal, dengan komunikasi terbuka, jalan tengah sering bisa ditemukan. Cicilan bisa diperpanjang, jumlah pembayaran bisa diperkecil, atau jadwal bisa diatur ulang. Komunikasi yang jujur dan manusiawi lebih sehat secara psikologis daripada saling diam dalam ketegangan.

Ketiga, masyarakat perlu menghidupkan kembali mekanisme solidaritas berbasis komunitas. Koperasi simpan pinjam, arisan, dan kelompok gotong royong terbukti lebih sesuai dengan kultur kita. Dalam mekanisme ini, hutang bukan sekadar angka, tetapi juga bagian dari jaringan sosial. Orang meminjam bukan pada lembaga asing yang dingin, tetapi pada tetangga atau anggota kelompok yang punya kepedulian. Dalam konteks ini, rasa malu tetap ada, tetapi malu yang konstruktif: malu jika tidak menepati janji kepada sesama.

Keempat, negara harus hadir lebih tegas dalam melindungi masyarakat dari praktik hutang yang mencekik. Pinjaman online ilegal, rentenir dengan bunga selangit, dan cara penagihan yang melanggar martabat manusia tidak boleh dibiarkan. Regulasi harus dipertegas, penegakan hukum harus konsisten, dan literasi keuangan harus diperluas. Hutang harus diletakkan dalam kerangka hukum yang tidak hanya menguntungkan lembaga keuangan, tetapi juga melindungi masyarakat kecil.

Kelima, perlu ada pemulihan psikologis. Orang yang terjerat hutang tidak hanya butuh uang untuk melunasi, tetapi juga butuh dukungan mental untuk bangkit. Mereka harus dibantu untuk membangun kembali rasa percaya diri, berhenti menyalahkan diri sendiri, dan belajar dari pengalaman. Dalam perspektif humaniora, martabat manusia tidak boleh diukur dari jumlah hutangnya, melainkan dari keberanian dan kejujurannya dalam menghadapi masalah.

Way forward dari polemik hutang adalah membangun budaya baru yang memandang hutang sebagai ruang kemanusiaan, bukan sekadar transaksi finansial. Budaya baru ini menekankan pada transparansi, komunikasi, solidaritas, regulasi yang adil, dan pemulihan psikologis. Dengan begitu, hutang bisa tetap ada dalam kehidupan masyarakat, tetapi tidak lagi membelit hingga mematikan.

Bayangkan jika seorang ibu rumah tangga seperti dalam kisah di awal tulisan bisa duduk bersama pemilik warung dan berbicara jujur tentang kesulitannya, lalu diberi kelonggaran. Bayangkan jika pinjaman online tidak lagi menagih dengan ancaman, tetapi memberi opsi restrukturisasi yang manusiawi. Bayangkan jika koperasi dan arisan kembali menjadi pusat solidaritas ekonomi warga, bukan hanya tempat berkumpul formalitas. Bayangkan jika anak-anak diajari sejak dini untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan, sehingga tidak mudah terjebak hutang karena gengsi.

Semua itu mungkin terjadi, asalkan kita mau menata ulang narasi sosial tentang hutang. Hutang bukan lubang hitam yang menelan hidup manusia. Ia bisa menjadi jembatan, jika dikelola dengan nilai kejujuran, musyawarah, dan solidaritas.

Pada akhirnya, hutang memang bisa lunas, tetapi luka sosial akibat cara kita memperlakukan hutang sering kali lebih lama bertahan. Karena itu, jalan ke depan haruslah meletakkan manusia di pusat persoalan hutang. Hutang boleh mengikat secara hukum, tetapi martabat manusia harus selalu lebih tinggi dari angka. Dengan membumikan perlakuan yang adil, manusiawi, dan masuk akal, masyarakat kebanyakan bisa keluar dari polemik hutang---bukan dengan menghapus hutang itu sendiri, melainkan dengan mengubah cara kita memperlakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun