Mohon tunggu...
Ahmad Fadhil Imran
Ahmad Fadhil Imran Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

"Dilarang Mencintai Bunga"

25 Januari 2017   14:36 Diperbarui: 25 Januari 2017   15:39 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cerpen Karangan Ahmad Fadhil Imran tentang Wiji Tukul 

Kita yang hidup selalu mengharap jawaban atas semua pertanyaan dari diri kita selaku saksi kehidupan, kehadiran pertanyaan dalam diri ini pun tak jauh dari apa yang dipertontonkan oleh kehidupan fana’ ini, tapi sebagai makhluk sosial hasrat untuk mententramkan jiwa dan pikiran adalah mutlak adanya. Tergantung siapa yang memenangkan pertengkaran bisikan ialah sang jawaranya, yang akan mempertontonkan kebenaran entah palsu maupun asli, ketegaran mencumbui yang kalah sekalipun benar maupun salah, inilah kehidupan fana’, sandiwara, drama, fatamorgana. 

Sebelumnya sebagai penegasan, aku hanyalah penonton setia cerita kehidupan duniawi ini, bukan berarti kepasrahan mendatangiku. Ceritaku tak layak diamati dengan pikiran sementara, membutuhkan adrenalin kuat bertubi-tubi pahami kisah dramatis ini, walaupun aku hanya ingin menceritrakan sekuntum bunga yang harum mewangi, yang tak sedikit pun orang ingin menciumnya. Namun, ada juga orang-orang dikala itu yang tak mau mengecap kecintaannya kepada bunga yang kumaksudkan ini, dengan berbagai tetek bengeknya ia sebarkan propaganda palsu, mengejar bunga yang sudah terlanjur dicintai keindahannya, bunga kita diremuk, dicabut dari tangkainya, karya bunga tak lagi menjadi karya dinyata, sekuntum bunga dengan banyak duri ini panggilannya WIJI TUKUL.

Ia kusebut sebagai bunga ditandai dengan indah katanya warnai kehidupan ini, elok tulisannya tinggalkan kesan keharuman dalam niatannya, banyaknya duri dalam karyanya menusuk tulang punggung semua yang tersingung seketika membacanya. Inilah bunga kita, bunga Indonesia yang dimatikan, dan semua pecintanya hari ini dilarang mencintai karya-karyanya.

Malam itu, tepatnya dirumah paman yang mengoleksi banyak karya-karya dan buku-buku yang intinya tentang oleh, dari, dan untuk Indonesia. Aku mencari salah satu karya yang sejak menyandang status sebagai pemuda, karya penggugah hati para kaulah muda, karya Wiji Tukul dalam kata-katanya. Setiap sela loker bahkan ruangan pun semuanya sudah kugeledah demi menemukan kata-kata itu. Aku lantas bertanya kepada pamanku, “Paman, semua jenis buku ada disini, tapi kenapa tak satupun paman koleksi buku karya dari Wiji Tukul?”. Akalnya hilang sekejap, dia kelihatan menegangkan wajahnya lalu menjawab, “Buat apa kau mencari buku hasil karya si Wiji Tukul nak? Toh, tak ada yang bisa ia berikan kepada bangsa dan Negara ini, Tulisannya hanya membuat segelintir orang kini tak mencintai negaranya sendiri. Aku tak pernah punya buku itu nak”. Dengan hati-hati, aku tak menantangnya dan langsung pergi membawa raut wajah kecewa dengan orang-orang yang tak mampu membedakan arti mencintai Negara atau mencintai penguasa Negara. Kenapa banyak pikiran-pikiran dangkal dengan mudahnya membuat kesimpulan, setiap tokoh pengkritik pemerintah di era kapanpun, ia dianggap sebagai orang yang tak mencintai Negara. Aku pikir kita sepakat, dimana ada cinta disitupula ada perjuangan dan pengorbanan, tapi sudahlah.

Beberapa tahun kemudian. Tulisannya merasuki banyak kaulah muda, ada bumbu berontak dalam muatannya, mengembalikan semangat para anak muda dalam mempertahankan karya-karyanya walaupun kudengar bunga itu tangisnya sengau. Kuamati lagi, dan benar bunga menangis diluar sana, melihat karya-karyanya bukan lagi teristirahatkan namun tidur dengan pulasnya tak bangun-bangun. Aku pun dirasukinya, kusempatkan diri ini pergi menyaksikan adegan skenario Wiji Tukul dalam sebuah layar lebar di waktu itu, capaian agar insan semangat ini kembali berteriak, namun hasilnya berbeda dengan prasangka semua orang yang jiwanya mengharapkan jiwa berontak dibawa pulang. Film yang ditayangkan tak sesuai ekspektasi kemurnian jiwa ini, tercengang semua pikiran para penonton, kita diajari untuk dimatikan, kita di nasehati untuk dibungkam, kita dididik namun terbidik. 

Pada saat inilah, saya pribadi menyimpulkan dengan seteguh-teguhnya, kalau adegan Wiji Tukul yang diperankan entah siapa, berjudul istirahatlah kata-kata, adalah sebuah pelarangan untuk mencintai kisahnya secara lebih terbuka. Trade rekornya di sembunyikan, kisah juang penuh darahnya di buang, jeritan dalam tulisannya di kuyak-kuyak, dan semoga tidak para pecintanya ditilang. 

Aku pun tertegun melihat semua ini, bunga-bunga lain pun mengikut, jadinya aku takut jadi bunga, aku takut beri keharuman kepada orang banyak, aku takut nampak indah mewangi dihadapan orang banyak, aku takut menjadi duri dan menusuk terhadap semua kesewenangan dan ketidakadilan. Karena, adegan film-film selanjutnya akan lebih tidak sehat lagi, mempertontonkan pembiaran pembodohan, sedangkan hak publik untuk menonton perdebatan yang bermakna di awasi dengan istilah tak lolos sensor. Kita dilarang mencintai bunga, bunga yang ku maksudkan selain Wiji Tukul adalah ketika rakyat tambah kritis, makin cerdas makin baik. 

Ahmad Fadhil Imran, 

Mamuju, 25-01-2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun