Mohon tunggu...
Fahad Adzriel
Fahad Adzriel Mohon Tunggu... Mahasiswa Islamic Studies of International Open University (Indonesia) Gambia, Afrika

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kambing Pak Kardi

13 Oktober 2025   07:10 Diperbarui: 12 Oktober 2025   21:36 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kambing Pak Kardi (by: Fahadzriel)

Di sebuah desa terpencil di Nusantara, terdapat tradisi kuno bernama "Ritual Pengusiran Dosa". Setiap kali musim paceklik tiba atau wabah menyerang, seluruh warga berkumpul di lapangan. Seekor kambing hitam akan dihias dengan kalung bunga kering, lalu para tetua desa akan berdoa sambil meletakkan tangan mereka di atas kepala kambing itu, mengalihkan semua kesialan desa kepada hewan malang tersebut. Kambing itu kemudian diusir ke hutan belantara, sementara warga pulang dengan perasaan lega, yakin masalah mereka telah ikut pergi.

Tradisi ini berlangsung turun-temurun, tanpa pernah ada yang mempertanyakan: mengapa setelah ratusan kali ritual dilakukan, bencana tetap datang silih berganti?

Generasi demi generasi, pola ini merasuk ke dalam nalar sehari-hari.

Dari para petani miskin, seperti Pak Kardi selalu menjadi sasaran empuk. Saat sumur warga kering, mereka berbisik, "Pasti karena Kardi menebang pohon besar di kebunnya tanpa izin. Alam murka!" Padahal, Kardi menebang pohon itu karena terpaksa menjual kayunya untuk biaya berobat anaknya.

Disisi yang lebih terpelajar, ada Bu Dian, guru sekolah desa yang lulusan S1. Ketika metode mengajarnya dikritik, alih-alih introspeksi, dia menghujat di grup WhatsApp, "Dasar orang-orang kampungan! Tidak mengerti pedagogi modern!" Dia menjadikan "kebodohan warga" sebagai kambing hitam untuk menutupi ketidakmampuannya beradaptasi.

Bahkan tingkat elite desa, Kepala Desa dan para tetua melakukan hal serupa dalam skala lebih besar. Ketika proyek pembangunan dam kecil yang dananya digelapkan jebol dan menghanyutkan puluhan rumah, mereka berpidato, "Ini adalah ujian dari Yang Maha Kuasa! Kita harus bersabar!" Takdir sekali lagi menjadi tameng untuk kelalaian dan korupsi.

Suatu hari, bencana terbesar datang. Sebuah longsor dari bukit yang gundul menimbun separuh desa. Dalam kepanikan, mekanisme lama langsung aktif.

Para korban yang selamat, bukannya mengevaluasi mengapa bukit itu gundul setelah puluhan tahun penebangan liar, justru marah kepada Pak Kardi. "Dia yang memulai! Dialah yang pertama menebang pohon besar!" teriak seorang warga.

Bu Dian, yang rumahnya juga tertimbun, menulis status panjang di media sosial. Isinya bukan solidaritas, tetapi umpatan kepada pemerintah kabupaten yang lamban. Kata-kata kasar dan primitif berhamburan dari akun seorang sarjana.

Sang Kepala Desa, dalam konferensi darurat, dengan wajah memelas menyalahkan "ekspektasi warga yang terlalu tinggi". "Bantuan tidak bisa secepat kilat. Rakyat harus memahami kondisi kami," katanya, mengalihkan fokus dari fakta bahwa dana darurat bencana ternyata sudah dikurangi untuk proyek fiktif.

Dalam kekacauan itu, seekor kambing hitam berdiri di pinggir hutan. Ia melihat desanya porak-poranda. Matanya seakan berkata, "Kalian mengusirku berulang kali, tetapi akar masalahnya tetap kalian pelihara di sini."

Seorang nenek tua, satu-satunya yang masih ingat asal-usul desa, mendatangi kerumunan warga yang sedang gaduh. Suaranya lirih tapi menembus jiwa.

"Kakek moyang kita mulai ritual itu bukan untuk menyelesaikan masalah, tetapi karena mereka takut menghadapi kenyataan bahwa merekalah penyebabnya," ujarnya. "Mereka menebang hutan untuk lahan, mengotori sungai dengan limbah, dan saling mencurigai. Kambing itu hanyalah simbol pengingat agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bukan untuk kita salahkan!"

Dia menunjuk ke bukit yang gundul. "Kita semua yang menebang pohon, demi uang cepat. Kita semua diam ketika dana desa diselewengkan. Kita semua memilih mencaci daripada bertanya. Kita telah mengorbankan akal sehat dan tanggung jawab kita pada seekor kambing, sambil berpura-pura masalah telah selesai."

Diam menyergap. Untuk pertama kalinya, mereka melihat ke dalam diri sendiri.

Keesokan harinya, tanpa komando, warga desa dari Pak Kardi, Bu Dian, hingga Kepala Desa mulai bekerja bersama. Mereka tidak lagi mencari siapa yang pantas disalahkan, tetapi memikul sekop dan peralatan untuk membersihkan puing, merencanakan penghijauan kembali bukit, dan mengaudit keuangan desa secara transparan.

Mereka menyadari bahwa kambing hitam terbesar yang pernah mereka ternakkan adalah mentalitas mereka sendiri. Dan hari itu, akhirnya, mereka memutuskan untuk mengusir sang "kambing" itu untuk terakhir kalinya, keluar dari pikiran dan hati mereka.

Epilog: 

Kambing hitam terbesar

Bukan yang berdiri di pinggir hutan

Tapi yang bersemayam di pikiran

Yang menganggap semua masalah

Bisa diselesaikan dengan menyalahkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun