Mohon tunggu...
Fahad Adzriel
Fahad Adzriel Mohon Tunggu... Mahasiswa Islamic Studies of International Open University (Indonesia) Gambia, Afrika

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tembok Keramat dan Para Penjaga Kitab Sunyi

12 Oktober 2025   07:10 Diperbarui: 12 Oktober 2025   03:24 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Aethelgard (Sumber: fahadzriel)

Di puncak bukit tertinggi Kerajaan Aethelgard, berdiri sebuah tembok besar yang disebut Tembok Karamat. Tembok itu dipenuhi dengan ukiran rumit dan tulisan dalam bahasa kuno, menceritakan sejarah, hukum, filsafat, dan seni perang kerajaan. Tembok itu adalah jiwa Aethelgard, dibangun oleh para Pendiri Agung, Raja Arthurion dan Dewan Sembilan Lelaki Bijak berabad-abad yang lalu.

Suatu ketika, wabah "Kebisuan Hati" melanda Aethelgard. Orang-orang menjadi mudah lupa, mudah terhasut oleh kabar burung, dan bertengkar tentang hal sepele. Semangat persaudaraan memudar. Pasukan dari Kerajaan tetangga, Vorlag, yang ganas, mulai mengintai di perbatasan.

Raja Cedric, seorang pemuda yang enerjik dan sedikit angkuh, mengumpulkan semua penasihatnya.

"Wabah ini dan ancaman Vorlag harus segera diatasi!" serunya. "Aku butuh ide baru! Sesuatu yang segar dan belum pernah dicoba!"

Para penasihat muda, dididik dengan pemikiran modern, mengajukan berbagai usul. Satu menyarankan menghilang akademik yang usang demi menyenangkan hati rakyat. Yang lain mengusulkan untuk segera menyerang Vorlag lebih dulu dengan taktik baru. Namun, setiap solusi mereka hanya bertahan sebentar sebelum masalah baru muncul.

Melihat kebingungan itu, Elara, seorang Arsitek Tua yang bertugas merawat Tembok Karamat, maju dengan langkah tenang. Rambutnya telah memutih dan matanya berisi keteduhan zaman.

"Paduka Raja," ucapnya dengan suara berwibawa, "izininkan hamba dan para Penjaga Kitab Sunyi untuk berbicara."

Raja Cedric mengerutkan kening. "Siapa mereka? Aku tidak butuh dongeng nenek-nenek."

"Mereka adalah para ahli waris dari Dewan Sembilan Lelaki Bijak," jawab Elara. "Mereka tidak berbicara di istana, tetapi mereka hidup dan bernafas dengan kebijaksanaan yang terukir di Tembok Karamat."

Dengan setengah hati, Raja Cedric mengizinkannya. Elara dan para Penjaga tukang kayu tua, ahli tanaman, dan veteran perang pun mulai berbicara. Mereka tidak menawarkan hal "baru". Mereka merujuk pada prinsip-prinsip di Tembok.

Sang veteran, merujuk pada bagian "Seni Perang", berkata, "Arthurion tidak pernah menyerang lebih dulu. Ia memperkuat benteng dan memancing musuh ke medan yang kita kuasai. Vorlag ganas tetapi ceroboh. Mari kita perbaiki benteng di Lembah Angin, seperti yang tertulis di sini."

Sang ahli tanaman, membaca bagian "Pengobatan Bumi", berkata, "Wabah Kebisuan Hati ini mirip dengan yang tercatat terjadi di masa Ratu Elara Pertama. Penyebabnya adalah kekurangan tanaman Sage of Clarity yang tumbuh di lereng utara. Kita telah melupakan untuk menanaminya."

Satu persatu masalah mulai dikulik berdasarkan sumber yang terukir pada Tembok Keramat, dan solusipun mulai terlihat.

Raja Cedric dan penasihat mudanya terkesima. Mereka menganggap Tembok Karamat hanya monumen mati. Ternyata, ia adalah buku pedoman hidup.

Raja Cedric akhirnya memerintahkan untuk mengikuti saran para Penjaga. Benteng di Lembah Angin diperkuat, dan pasukan Vorlang yang menyerang terjebak dan dapat dikalahkan. Ladang Sage of Clarity ditanam kembali, dan wabah Kebisuan Hati berangsur-angsur sirna. Kedamaian kembali ke Aethelgard.

Di puncak kemenangan, Raja Cedric berdiri di depan Tembok Karamat bersama Elara.

"Aku mengerti sekarang, Nenek Elara," ujarnya. "Kita hampir menjadi seperti buih di sungai banyak dan ramai, tetapi hanyut tanpa arah. Kita mencari solusi baru di permukaan, padahal jawabannya ada di dalam, di kedalaman pondasi yang telah dibangun oleh para Pendiri kita."

Elara tersenyum. "Benar, Paduka. Tembok ini bukan untuk dikagumi saja. Ia adalah fondasi. Tugas kami, para Penjaga, adalah memastikan fondasi itu tetap kokoh dan membacanya untuk kalian. Tugas Paduka dan generasi baru adalah membangun menara yang lebih tinggi di atas fondasi ini, menara yang dapat melihat lebih jauh untuk menghadapi tantangan yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh para Pendiri kita."

Kesimpulan:

Kekuatan dan keberlangsungan sebuah peradaban tidak terletak pada terus-menerus menciptakan hal baru dari nol, melainkan pada kemampuan untuk berdialog dengan kebijaksanaan masa lalu. Dengan memahami fondasi yang kokoh (prinsip-prinsip dasar dari para pendahulu), sebuah generasi tidak akan menjadi "buih" yang lemah, tetapi akan menjadi "bangunan" yang tegak, mampu beradaptasi, dan bahkan memimpin perubahan di zamannya. Kebijaksanaan klasik adalah peta, sedangkan generasi sekarang adalah nahkodanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun