Mungkin, banyak dari kita mengira ketidaktahuan–untuk tidak menyebut kebodohan–adalah aib mutlak. Padahal faktanya tidak demikian. Jika kita memahami hakikat diri kita–sebagai makhluk–maka kebodohan merupakan keniscayaan yang inheren.
Lawan kata dari 'alim (mengetahui), dalam bahasa Arab, adalah jahl (bodoh/tidak tahu). Meskipun terasa kurang sopan, memang demikian faktanya: manusia tidak akan pernah lepas dari dualisme ini–mirip dengan dualisme ada dan tidak ada dalam kajian ontologis. Tidak ada satu pun hal yang terlepas atau memiliki dua kondisi ini sekaligus, mirip dengan manusia yang terjebak dalam dualisme antara tahu dan bodoh.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bodoh diartikan sebagai kondisi tidak memiliki pengetahuan. Ini paralel dengan arti jahl dalam bahasa Arab.
Manusia memang diberkati oleh alam dengan aparatus intelektual yang memungkinkan mereka memiliki pengetahuan ekspansif. Namun, sepertinya pengetahuan holistik atas segala hal hanya sekadar utopia bagi makhluk ini. Kita hanya mampu menyusun potongan-potongan pengetahuan, lalu merangkainya menjadi bangunan yang kita sebut "ilmu", padahal bangunan itu tidak pernah selesai.
Sehingga, seperti dikatakan Karl Popper, kita harus senantiasa memiliki kesadaran dan kerendahan hati untuk mengakui kebodohan dan keterbatasan kita agar tidak terjebak dalam solipsisme yang arogansi. Dalam teori falsifikasinya, Popper juga menjelaskan bahwa dalam sains tidak ada yang namanya kebenaran mutlak. Ia menyatakan:Â
"kita (para ilmuwan dan filsuf) tidak benar-benar mengetahui apa yang sudah, dan sedang, kita jelaskan lewat teori yang kita buat. Kita hanya menerka. Tidak lebih."Â
Pernyataan  Popper di atas menegaskan bahwa sains justru berkembang karena mengakui keterbatasan diri, bukan karena mengklaim kepastian mutlak.
Kerendahan hati semacam ini bukanlah sikap pesimis, melainkan bentuk kesadaran tertinggi yang dimiliki manusia: berani mengakui keterbatasan sebagai bagian dari alam (makhluk). Orang yang berani berkata "saya tidak tahu" sejatinya bukan orang yang lemah, tetapi orang yang matang secara intelektual.
Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab mengatakan bahwa seorang ulama yang berani jujur untuk bilang "saya tidak tahu" tidak akan menurunkan martabatnya sebagai seorang ulama. Justru sebaliknya, itu adalah tanda bahwa dia memang seorang yang memiliki kedudukan tinggi, bertakwa, dan memiliki pengetahuan yang sempurna. Contoh ini menunjukkan bahwa dalam tradisi Islam sendiri, ketidaktahuan merupakan bagian penting dari etika ilmiah.
Selain itu, kesadaran akan ketidaktahuan memunculkan sikap rendah hati dan membuka ruang bagi dialog, diskusi, dan kritik. Orang yang merasa tahu segalanya akan menutup diri dari pandangan orang lain. Sebaliknya, orang yang menyadari keterbatasannya akan cenderung mendengar, mempelajari, dan memperbaiki diri. Dalam konteks masyarakat modern yang penuh informasi, kesadaran ini semakin penting agar kita tidak mudah terjebak dalam bias konfirmasi atau informasi yang keliru.
Menariknya, dalam psikologi modern ada istilah Dunning-Kruger effect, yaitu fenomena ketika orang yang minim pengetahuan justru paling percaya diri terhadap pengetahuannya, sedangkan orang yang benar-benar ahli lebih banyak meragukan diri sendiri. Fenomena ini sekali lagi menegaskan pentingnya sikap sadar bahwa kita tidak tahu banyak hal.
Pada titik inilah kita memahami bahwa ketidaktahuan bukan akhir dari pencarian, melainkan pintu masuknya. Orang yang merasa tahu segalanya akan malas untuk terus belajar; orang yang sadar akan ketidaktahuannya akan terus menggali. Dengan kesadaran inilah ilmu tumbuh dan berkembang. Ketidaktahuan adalah bahan bakar bagi rasa ingin tahu, dan rasa ingin tahu adalah inti dari setiap perkembangan ilmu pengetahuan.