Mohon tunggu...
Adytia Prayoga NIM 55525110033
Adytia Prayoga NIM 55525110033 Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Mercu Buana

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diskursus Manajemen Pajak PPh Pasal 22 dan Studi Kasus Interprestasi Makna dan Hakekat Menggunakan Pemikiran Martin Heidegger Being And Time

9 Oktober 2025   18:14 Diperbarui: 9 Oktober 2025   18:14 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika otoritas pajak berpegang kokoh pada interpretasi tekstual bahwa pembebasan hanya boleh dalam situasi yang sangat terbatas, mereka mungkin menolak. Namun jika mereka menginterpretasi norma dalam kerangka makna kontributif dan keadilan sosial, mereka mungkin memberi fleksibilitas. Perbedaan interpretasi ini muncul dari horizon budaya birokrasi, filosofi kerja publik, dan tekanan fiskal.

  1. Dimensi Etis

Apabila Direktorat Jendral Pajak menyetujui pembebasan berlebihan tanpa kontrol, mungkin sistem menjadi bocor; jika selalu menolak, keadilan terhadap wajib pajak dengan kondisi sulit bisa terabaikan. Heidegger menyadarkan bahwa agen pajak dan wajib pajak berada dalam situasi tanggung jawab eksistensial — keputusan pajak adalah tindakan menjadi dalam dunia bersama.

Implikasi Praktis

  • Otoritas pajak dapat merumuskan pedoman internal yang mempertimbangkan aspek makna, keadilan, dan konteks — bukan hanya angka kaku.
  • Wajib pajak dalam manajemen pajak bisa memperkuat narasi (argumentasi) dengan pemahaman makna terhadap pemungutan  membantu komunikasi dengan fiskus.
  • Evaluasi kebijakan pajak (regulasi PPh Pasal 22) bisa memasukkan konsep waktu, eksistensi wajib pajak, serta transparansi makna di balik regulasi teknis.

Kesimpulan

Diskursus manajemen pajak PPh Pasal 22, bila hanya didekati dari sudut teknis dan fungsional, berpotensi kehilangan makna terdalamnya. Dengan menggunakan pemikiran Heidegger dalam Being and Time, kita bisa membuka lapisan interpretatif baru:

  • Pemungutan pajak bukan sekadar fakta administratif, melainkan fenomena eksistensial yang mesti dipertanyakan dalam kerangka “ada”.
  • Wajib pajak sebagai Dasein pajak selalu berada dalam dunia, terikat waktu, dan membawa horizon makna yang mempengaruhi keputusan manajerial pajak.
  • Interpretasi norma pajak bersifat hermeneutik; makna regulasi (UU, PMK) dipengaruhi oleh horizon institusional dan pengalaman.
  • Temporalitas menuntun bahwa keputusan pajak bersifat proyeksi masa depan dan refleksi masa lalu, bukan murni saat ini.
  • Diskursus etis menjadi tak terhindarkan: manajemen pajak adalah bentuk keberadaan moral dalam relasi negara–wajib pajak–masyarakat.

Daftar Pustaka

Direktorat Jenderal Pajak. (2020). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak

Direktorat Jenderal Pajak. (2022). Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha lainnya. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.

https://mpsi.uma.ac.id/memahami-pemikiran-filsuf-martin-heidegger-dan-pengaruhnya-pada-psikologi/

https://bibliopedia.id/ada-dalam-kerangka-waktu/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun