Mohon tunggu...
Adytia Prayoga NIM 55525110033
Adytia Prayoga NIM 55525110033 Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Mercu Buana

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diskursus Manajemen Pajak PPh Pasal 22 dan Studi Kasus Interprestasi Makna dan Hakekat Menggunakan Pemikiran Martin Heidegger Being And Time

9 Oktober 2025   18:14 Diperbarui: 9 Oktober 2025   18:14 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

5. Diskursus Etis dan Eksistensial dalam Manajemen Pajak

Karena praktik pajak menyangkut manusia, institusi, waktu, dan makna, maka diskursus tentang etika menjadi tak terhindarkan. Heidegger tidak secara eksplisit membahas etika normatif dalam Being and Time, tetapi membuka ruang bagi refleksi eksistensial: bagaimana kita harus “ada” dalam dunia yang dibentuk oleh aturan dan makna.

Dalam konteks manajemen PPh Pasal 22, pertanyaan etis muncul: kapan strategi manajemen pajak menjadi manipulatif (law bypassing), kapan ia menjadi kerjasama konstruktif antara pajak dan wajib pajak, dan bagaimana aspek keadilan distributif dipertimbangkan. Perspektif Heidegger membantu kita memahami bahwa tindakan pajak bukan hanya “apa boleh dan tidak boleh”, tetapi bagaimana “ada” sebagai agen ekonomi dalam relasi moral terhadap negara dan masyarakat.

Studi Kasus Ilustratif: Interpretasi Heidegger terhadap Keputusan Pembebasan PPh Pasal 22

Berikut ilustrasi hipotetis yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana analisis Heidegger dapat berdampak praktis.

Kasus

PT X adalah perusahaan manufaktur impor yang memiliki API. Dalam satu periode, nilai impor bahan baku adalah Rp 100 miliar. Sesuai regulasi, tarif PPh Pasal 22 adalah 2,5 %. Namun, perusahaan mengalami kerugian dan arus kas terbatas. Maka manajemen pajak memutuskan mengajukan pembebasan pemungutan PPh Pasal 22. Otoritas pajak harus memutuskan persetujuan atau penolakan berdasarkan regulasi dan kebijakan fiskal.

Analisis Heidegger

  1. Pertanyaan Ada terhadap Pemungutan vs Pembebasan

Alih-alih hanya melihat angka (2,5 % × Rp 100 miliar = Rp 2,5 miliar), kita dapat menanyakan hakikat: mengapa pemungutan itu ada? Apakah pemungutan itu penting sebagai bentuk kontribusi negara di sektor impor? Apakah pembebasan ini merusak integritas sistem pajak? Pertanyaan semacam ini mendorong pemahaman yang lebih mendalam daripada sekadar teknis.

  1. Wajib Pajak sebagai Dasein Pajak

PT X sebagai Dasein pajak mempunyai pengalaman historis (riwayat audit, reputasi), horizon masa depan (kemungkinan audit, penalti), dan eksistensial kecemasan (bagaimana jika permohonan ditolak). Keputusan untuk mengajukan pembebasan bukanlah tindakan spontan, melainkan keputusan yang muncul dari eksistensi dalam dunia pajak.

  1. Temporalitas dan Keputusan Pajak

Manajemen pajak PT X mengambil keputusan berdasarkan peramalan masa depan (bagaimana kondisi keuangan, bagaimana kebijakan fiskal ke depan) serta riwayat masa lalu (catatan pajak sebelumnya). Otoritas pajak juga melihat data historis dan proyeksi fiskal. Keputusan pembebasan atau penolakan tak lepas dari horizon waktu.

  1. Interpretasi Norma dan Makna

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun