Dalam batas artikel ini, kita tidak akan menggali seluruh aspek filosofis Heidegger, tetapi cukup menggunakan gagasan di atas sebagai lensa interpretatif dalam menganalisis manajemen PPh Pasal 22.
Konsep PPh Pasal 22 dan Praktik Manajemen Pajak
Apa itu PPh Pasal 22?
PPh Pasal 22 adalah salah satu mekanisme pemungutan pajak penghasilan yang dilaksanakan melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak tertentu atas transaksi barang tertentu.
Dasar hukum termasuk Undang-Undang Pajak Penghasilan (sebagaimana diubah) dan berbagai peraturan menteri keuangan (PMK) terkait.
Objek dan tarif PPh Pasal 22 tergantung jenis transaksi:
- Impor: tarif 2,5 % (jika menggunakan API) atau 7,5 % (non-API) dari nilai impor.
- Pembelian barang oleh bendahara pemerintah / BUMN / BUMD: 1,5 % dari harga pembelian (tidak termasuk PPN, tidak bersifat final)
- Penjualan hasil produksi: tarif sesuai keputusan Dirjen Pajak (misal semen 0,25 %, kertas 0,1 %, baja 0,3 %, otomotif 0,45 %)
- Beberapa jenis penjualan tertentu (BBM, gas, pelumas) dikenakan sifat final atau non-final tergantung status pembeli / penyalur.
Pemungut PPh Pasal 22 meliputi: Bank devisa / DJBC (untuk impor), bendahara pemerintah / KPA / pejabat pembayaran (untuk pembelian), BUMN tertentu, badan usaha yang ditunjuk, dll.
Penyetoran dan pelaporan dilakukan melalui surat setoran pajak (SSP) ke kas negara melalui bank atau badan yang ditunjuk.
Manajemen Pajak atas PPh Pasal 22
“Manajemen pajak” di sini berarti strategi dan keputusan yang dilakukan wajib pajak atau pihak terkait untuk meminimalkan beban pajak secara sah (tax planning), mengajukan pembebasan atau fasilitas, atau mengelola arus kas yang berkaitan dengan PPh Pasal 22. Beberapa strategi yang umumnya dilakukan:
- Pengajuan pembebasan atau fasilitas
Perusahaan yang sedang mengalami kerugian atau berada dalam kriteria tertentu dapat mengajukan pembebasan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 22 (jika memenuhi persyaratan)
- Memperoleh API (Angka Pengenal Importir)