Pendahuluan
Di Indonesia, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 merupakan salah satu instrumen pemungutan yang cukup vital dalam sistem perpajakan. Penerapan dan pengelolaan PPh Pasal 22 termasuk strategi manajemen pajak bagi wajib pajak menjadi persoalan teknis dan konseptual yang kompleks. Untuk memperkaya perspektif analisis, artikel ini mencoba memadukan studi pajak dengan pendekatan ontologis dan eksistensial dari Martin Heidegger dalam Being and Time (Sein und Zeit). Tujuannya adalah membuka wacana baru: bagaimana “ada” (being) dalam praktik manajemen pajak terungkap, dan bagaimana interpretasi makna serta hakikat “pemungutan/pemotongan PPh Pasal 22” dapat dilihat dari kerangka waktu, pemahaman eksistensial, dan relasi pemungut‑dengan wajib pajak.
Kerangka Teoretis Heidegger: Being and Time secara Ringkas
Agar pembaca non-filsafat tidak tersesat, berikut ringkasan poin inti yang relevan untuk analisis:
- Pertanyaan tentang “Ada” (Sein)
Heidegger mengajak kita untuk mempertanyakan: apa arti “ada” (Sein)? Tidak cukup hanya mempelajari yang sudah ada (Seiendes), melainkan menyelidiki bagaimana “ada” itu sendiri memungkinkan munculnya segala yang ada. Heidegger menyebut bahwa tradisi filsafat Barat sering terlena dan lupa akan pertanyaan mendasar tersebut (the question of being).
- Dasein dan Keberadaan Dalam Dunia (Being‑in‑the‑World / In-der-Weltsein)
Manusia, menurut Heidegger, bukan sekadar subjekt “pengamat”, melainkan Dasein, yaitu “ada-kehadiran” yang selalu sudah berada dalam dunia, terkait dengan lingkungan, konteks, relasi, dan makna. Dasein tidak berdiri sendiri tanpa dunia, melainkan berada “di-dalam” dunia.
- Waktu (Zeitlichkeit) sebagai Horizon Pemahaman Being
Bagi Heidegger, pemahaman tentang “ada” tidak dapat dipisahkan dari temporalitas (keberadaan dalam waktu). Dasein memiliki struktur waktu: masa depan (anticipation / possibility), masa lalu (faktis yang sudah terjadi) dan masa kini (aktual). Waktu memungkinkan makna terbuka dan pemahaman terhadap “ada”.
- Ontologis vs. Ontik, dan Diferensiasi Ontologis
Heidegger membedakan antara aspek ontik (yang konkret, fakta, hal-hal yang ada) dan aspek ontologis (struktur keberadaan, makna “ada”). Dalam arti ini, ia memperkenalkan “ontological difference” yakni bahwa “ada” (Sein) berbeda dari entitas‑entitas (Seiendes).
- Keluhan Lupa akan Sein (Seinsvergessenheit)
Heidegger menganggap bahwa manusia modern sering lupa akan pertanyaan tentang “ada” dan terjebak hanya dalam hal-hal teknis dan utilitarian. Konsep “terlupakan akan ada” (Seinsvergessenheit) menggambarkan bagaimana makna mendalam sering terabaikan.
- Interpretasi dan Pemahaman
Pemahaman bukan sekadar pengumpulan fakta; ia melibatkan horizon (cakrawala) interpretatif yang sudah disyaratkan sejak awal. Dengan kata lain, kita memahami sesuatu melalui latar (pra-pemahaman) yang ada dalam keberadaan kita.