Perjalanan menuju bekas ibu kota kerajaannya adalah sebuah ziarah yang emosional bagi Angin. Setiap jengkal tanah seolah berbicara padanya, membisikkan cerita tentang kejayaan masa lalu dan tragedi yang menimpa keluarganya. Api, Tanah, dan Tirta berjalan mengiringinya, menjadi pengawal setianya. Para petani yang jumlahnya semakin bertambah di sepanjang jalan, mengikuti dengan penuh harap.
Reruntuhan Istana Sunda Agung menyambut mereka dengan keheningan yang menyakitkan. Dinding-dinding yang dulu megah kini tinggal puing-puing menghitam, ditumbuhi lumut dan ilalang. Namun, di tengah kehancuran itu, Angin merasakan aura kekuatan leluhur yang masih tersisa. Ia berjalan menuju pelataran utama, tempat dulu pendopo agung berdiri. Dan di sana, di antara reruntuhan singgasana ayahnya, tergeletak sebuah benda berkilauan tertimpa bongkahan batu -- sebuah mahkota kecil, mungkin mahkota seorang putri atau ratu muda, sedikit bengkok dan ternoda tanah, namun emasnya masih berkilau menantang waktu.
Dengan tangan gemetar, Angin mengambil mahkota itu. Ia membersihkannya dengan ujung bajunya. Para petani yang mengikutinya menahan napas. Kemudian, dengan gerakan yang mantap, Angin mengangkat mahkota itu dan meletakkannya di atas kepalanya sendiri. Mahkota itu pas. Saat itu juga, seberkas cahaya matahari sore menembus awan, menyinari sosoknya, membuatnya tampak bersinar di tengah reruntuhan. Ia bukan lagi Sari si penjual jamu, bukan hanya Gayatri si Pendharaka. Ia adalah Sang Ratu yang bangkit dari abu.
"Rakyat Pasundan!" seru Angin, suaranya kini lantang dan penuh wibawa, mengejutkan dirinya sendiri. "Kita tidak akan tunduk! Kita tidak akan menyerah! Mulai hari ini, kita akan merebut kembali apa yang menjadi hak kita!"
Sorak sorai membahana dari para petani, air mata haru mengalir di pipi mereka. Harapan telah kembali.
Namun, momen itu tak berlangsung lama. Dari arah hutan, muncul sepasukan VOC yang cukup besar, mungkin patroli yang curiga dengan pergerakan rombongan besar itu. Mereka membawa beberapa meriam kecil, siap untuk membombardir.
"Lindungi rakyat!" perintah Angin kepada Tanah, Api, dan Tirta.
Saat serdadu VOC mulai menyiapkan meriam mereka, suara dentuman yang familiar itu -- suara yang menghantui Angin sejak masa kecilnya -- mengancam untuk melumpuhkannya. Trauma itu mencengkeram dadanya. Ia melihat bayangan ledakan, merasakan getaran ketakutan yang pernah hampir merenggut nyawanya.
Tapi kali ini, sesuatu yang berbeda terjadi. Kekuatan leluhur dalam dirinya, kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai seorang Ratu, dan mungkin juga bisikan semangat Nyai Ratna, memberinya kekuatan untuk melawan. Ia tidak akan lari lagi. Ia tidak akan membiarkan trauma itu mengalahkannya. Ia akan menggunakannya.
Angin memejamkan mata, memusatkan seluruh kekuatannya. Ia memanggil angin, bukan angin sepoi-sepoi atau hembusan biasa. Ia memanggil badai. Langit di atas mereka menghitam. Angin berputar semakin kencang, membentuk tornado raksasa yang berpusat di sekelilingnya. Dan kemudian, ia memasukkan senjatanya yang paling menakutkan ke dalam badai itu: suara. Bukan suara nyanyian atau mantra, melainkan suara ledakan-ledakan meriam dari masa kecilnya, suara teriakan, suara kehancuran -- semua terperangkap dalam ingatannya, kini ia lepaskan dan perkuat berlipat-lipat di dalam tornado itu.
Tornado suara itu bergerak maju, menerjang ke arah pasukan VOC. Para serdadu Kompeni menjerit ngeri. Mereka tak hanya dihantam oleh kekuatan angin yang merusak, tapi juga oleh gelombang suara ledakan yang memekakkan telinga dan menghancurkan mental, seolah mereka berada di tengah medan perang yang tak terlihat. Meriam-meriam mereka terguling, formasi mereka kacau balau. Beberapa serdadu jatuh pingsan, yang lain lari tunggang langgang, tak sanggup menahan teror suara itu.