Setelah semua penjaga di dalam dilumpuhkan, Tirta memberi isyarat pada Angin. Angin segera menciptakan angin puyuh kecil di sisi lain desa, menerbangkan atap beberapa kandang ternak dan menciptakan keributan yang cukup untuk menarik perhatian sebagian besar patroli VOC di luar balai desa.
Di tengah kekacauan itu, Tirta muncul di hadapan anak-anak yang ketakutan. "Jangan takut," bisiknya. "Aku datang untuk membawa kalian pergi."
Dengan bantuan beberapa anak yang lebih besar, Tirta berhasil membawa seluruh sandera keluar dari balai desa tanpa terdeteksi, menyusuri jalur aman yang telah ia persiapkan melalui hutan di belakang desa, di mana Api dan Tanah telah menunggu untuk membantu mengawal mereka lebih jauh.
Misi penyelamatan itu berhasil. Anak-anak Desa Ciharasas selamat. Namun, ketika fajar menyingsing dan mereka telah mencapai tempat yang cukup aman, Tirta memandang tangannya sendiri. Tangan yang sama yang dulu hanya ia gunakan untuk menebar jala dan mengayuh dayung, kini telah merenggut nyawa. Ia telah menyelamatkan banyak jiwa, namun ia juga telah melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan.
"Diplomasi" Willem van der Kraan telah gagal total malam itu, digagalkan oleh tindakan nekat seorang pemuda yang dipenuhi duka dan amarah. Namun, "darah" dalam diplomasi itu bukan hanya milik para serdadu Kompeni yang tewas, tapi juga secuil dari jiwa Tirta yang kini telah ternoda. Pertarungan untuk menyelamatkan tanah Pasundan ternyata menuntut harga yang lebih mahal dari yang pernah ia bayangkan.
-- BERSAMBUNG Bab 14 --
_______
Buku novel ini adalah bagian dari proyek "Lab Histori"Â
https://medium.com/@labhistori
https://www.wattpad.com/user/labhistori
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI