Dalam sekejap, Nyai Ratna membuat keputusan. Ia tak bisa membiarkan bayi ini ditemukan oleh VOC. Ia juga tak tahu siapa lagi di antara sisa-sisa pengikut kerajaan yang bisa dipercaya di tengah kekacauan ini. Dengan hati-hati, ia membungkus bayi itu dengan selendangnya yang sobek, menghapus jejak darah dari wajah mungilnya, dan menyelinap keluar dari neraka itu. Ia akan membawa bayi ini pergi jauh, merawatnya sebagai anaknya sendiri, melindunginya hingga tiba saatnya takdir memanggil. Ia menamai bayi itu Sari, sebuah nama sederhana untuk menyembunyikan asal-usulnya yang agung.
Air mata Angin jatuh membasahi kertas surat yang dipegangnya. Jadi... Nyai Ratna, wanita yang selama ini ia anggap ibu, adalah penyelamatnya. Dan ia... ia adalah seorang putri? Putri Ratu Sekar? Putri dari kerajaan yang telah dihancurkan? Kepalanya terasa pening. Semua yang ia ketahui tentang dirinya, tentang hidupnya, tiba-tiba terasa seperti ilusi.
Ia meraba liontin melati di lehernya. Begitu banyak pertanyaan berputar di benaknya. Siapa ayahnya, Pangeran Wirasakti? Apakah ia masih hidup? Apakah Pangeran Wirasakti yang kini ada di Gua Langit ini adalah ayahnya? Jantungnya berdebar lebih kencang memikirkan kemungkinan itu.
Ketakutannya akan kehilangan kebebasan kini bercampur dengan beban tanggung jawab yang tak pernah ia bayangkan. Menjadi seorang putri, seorang pewaris, di tengah perang melawan penjajah yang kejam. Apakah ia sanggup? Ia, si gadis pasar penjual jamu yang sarkastik dan kadang mencuri?
Pangeran Wirasakti, yang sedang berdiskusi dengan Tirta dan Tanah mengenai langkah selanjutnya setelah penemuan simbol kabut hitam, merasakan perubahan suasana hati Angin. Ia melihat gadis itu duduk sendirian di sudut, menangis dalam diam sambil memegang sepucuk surat dan sebuah kalung.
Perlahan, Wirasakti mendekatinya. Ia melihat kalung melati itu, dan matanya seketika terpaku. Ada kilat keterkejutan, kesedihan, dan harapan yang berbaur di sorot matanya yang biasanya dingin.
"Kalung itu..." bisik Wirasakti, suaranya serak. "Dari mana kau mendapatkannya, Nak?"
Angin mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, menatap Pangeran Wirasakti dengan pandangan penuh kebingungan dan harapan yang rapuh. Ia tak sanggup berkata-kata, hanya bisa menyodorkan surat dari Nyai Ratna.
Wirasakti membaca surat itu dengan tangan gemetar. Setiap kata seolah menghujam jantungnya. Ingatan akan istri tercintanya, Ratu Sekar, dan anak-anaknya yang ia kira telah tiada, menyeruak kembali dengan kekuatan penuh. Ketika ia selesai membaca, ia menatap Angin, air mata kini mengalir di pipinya yang keras.
"Gayatri..." desisnya, mengulurkan tangan yang gemetar untuk menyentuh pipi Angin. "Anakku... kau masih hidup."
Angin terisak. Jadi benar. Pria di hadapannya ini, Pangeran yang memimpin perlawanan ini, adalah ayahnya. Kebenaran itu begitu besar, begitu mengguncang, hingga ia merasa dunianya berputar. Rahasia Nyai Ratna telah terungkap, membuka lembaran baru yang penuh ketidakpastian, namun juga secercah harapan akan takdir yang lebih besar bagi Angin, sang putri yang hilang.