Para serdadu tertawa mengejek. "Dengar anak ini! Dia pikir laut ini miliknya!" kata salah satu dari mereka. Sersan itu memberi isyarat, dan anak buahnya melanjutkan pekerjaan kotor mereka, bahkan dengan sengaja menumpahkan lebih banyak limbah ke air.
Tangan Tirta terkepal erat. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun, yang ia rasakan justru sebaliknya. Kekuatan aneh yang selama ini terpendam dalam dirinya, kekuatan yang membuatnya selamat dari badai, kini mendesak keluar. Ia bisa merasakan setiap denyut ombak, setiap arus bawah laut, seolah semua itu adalah bagian dari dirinya. Laut bukan hanya di depannya, tapi juga di dalam dirinya.
Ketika ia membuka mata, tatapannya bukan lagi tatapan seorang pemuda nelayan biasa. Ada sesuatu yang purba dan dahsyat terpancar dari sana. Ia mengangkat tangannya ke arah laut, ke arah kapal VOC yang masih membuang limbah.
"Cukup..." bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri dan kepada laut.
Dan laut seolah menjawab panggilannya. Permukaan air yang tadinya relatif tenang, tiba-tiba bergolak hebat. Angin bertiup kencang entah dari mana, membawa aroma garam yang pekat. Dari kejauhan, sebuah ombak besar mulai terbentuk, jauh lebih besar dari ombak-ombak biasa yang dikenal para nelayan Pelabuhan Ratu. Ombak itu tumbuh dengan cepat, dinding air berwarna biru kehijauan yang menjulang tinggi, bergerak dengan kecepatan mengerikan menuju kapal VOC.
Para serdadu di atas kapal dan di dermaga terpaku, mulut mereka ternganga melihat fenomena alam yang mengerikan itu. Para nelayan lokal yang menyaksikan dari kejauhan menjerit ketakutan, beberapa di antara mereka mulai berlutut dan berdoa.
Tirta berdiri tak bergerak, tangannya masih terangkat, wajahnya tanpa ekspresi. Ia seolah menjadi konduktor bagi kemarahan laut.
GUUUURRR!
Ombak raksasa itu menghantam kapal VOC dengan kekuatan tak terbayangkan. Kapal kayu itu terangkat seperti mainan, lalu dihempaskan dan diseret menjauh dari pantai, terbalik dan hancur berkeping-keping. Teriakan panik para serdadu VOC tenggelam oleh deru ombak yang memekakkan telinga. Dalam sekejap, kapal itu lenyap, ditelan oleh lautan yang murka. Sisa-sisa puing dan beberapa serdadu yang beruntung berhasil menggapai sesuatu yang mengapung, terombang-ambing tak berdaya.
Setelah ombak itu mereda, menyisakan buih putih yang bergolak, keheningan mencekam menyelimuti pantai. Semua mata kini tertuju pada Tirta. Wajah para nelayan yang tadinya hanya curiga, kini dipenuhi ketakutan dan tuduhan.
"Dia... dia yang melakukannya!" teriak salah seorang dari mereka, menunjuk Tirta dengan jari gemetar.