Kepedulian kepada sesama kurang terpupuk. Salah satu esensi Ramadan adalah melatih empati dan kepekaan sosial. Dengan merasakan lapar dahaga, seharusnya saya semakin ingat saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Namun, evaluasi diri ini menunjukkan bahwa perhatian saya kepada orang lain masih minim. Sedekah saya ala kadarnya, itupun lebih banyak di penghujung Ramadan saat membayar zakat fitrah. Saya jarang meluangkan waktu atau dana untuk berbagi iftar dengan fakir miskin, padahal memberi makanan berbuka bagi orang berpuasa mendatangkan pahala yang besar. Keteladanan Rasulullah SAW dalam berbagi di Ramadan (beliau yang paling dermawan terutama di bulan puasa) seakan belum mampu saya ikuti. Hati kecil ini menyesal, mengapa di tengah limpahan rezeki dan nikmat Ramadan, saya masih kurang peduli terhadap sesama?
Terlalu sibuk dengan urusan dunia. Ramadan kali ini saya masih disibukkan oleh rutinitas pekerjaan dan urusan duniawi hampir sepanjang hari. Pekerjaan dan hal-hal duniawi lain menyita banyak energi dan waktu. Akibatnya, saya sering kelelahan dan kurang fokus dalam beribadah. Terkadang saya beralasan, "yang penting tidak bolong puasa, urusan ibadah tambahan bisa nanti jika sempat." Pola pikir seperti ini sekarang saya sesali. Kesibukan dunia memang tak bisa dihindari, tetapi sebenarnya bisa disiasati. Seharusnya saya dapat mengatur jadwal lebih baik: misalnya, tidur lebih awal agar tidak kesiangan sahur dan Subuh, atau menunda pekerjaan kurang penting demi mengejar shalat berjamaah dan tadarus.Â
Imam Ahmad pernah memperingatkan, "Seburuk-buruk kaum adalah mereka yang hanya mengenal Allah di bulan Ramadhan saja". Kalimat itu menampar saya. Ironisnya, saya justru mengalami sebaliknya: di bulan Ramadan pun saya masih saja tenggelam dalam urusan dunia, sehingga sedikit sekali waktu yang benar-benar saya curahkan untuk Allah.
Menyadari tiga poin di atas, saya merasa tak ingin Ramadan tahun ini terulang dengan kondisi yang sama. Saya tidak ingin mengulangi kelalaian dan kekurangan yang sama pada Ramadan tahun depan. Satu bulan yang penuh rahmat ini terlalu berharga jika dilewatkan tanpa pencapaian ruhani yang berarti. Ramadan seharusnya menjadi cermin peningkatan iman, tetapi saya takut jangan-jangan Ramadan 1446 H kemarin malah berlalu tanpa membawa banyak perubahan pada diri saya. Na'udzubillah, jangan sampai saya termasuk orang yang merugi, yang disebut dalam hadits: "Celakalah seseorang yang mendapati Ramadhan, lalu Ramadhan berlalu sebelum dia diampuni" (HR Imam Ahmad dan Tirmidzi). Renungan ini menyesakkan dada, namun juga membangkitkan tekad untuk bangkit.
Muhasabah Diri dan Semangat Memperbaiki Diri
Kondisi iman yang pasang surut selama Ramadan ini membuat saya tergerak untuk melakukan muhasabah diri, evaluasi dan introspeksi spiritual. Islam memang mengajarkan kita untuk selalu mengevaluasi amal perbuatan. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)". Ayat dari Surat Al-Hasyr tersebut menyentak kesadaran saya, seolah mengajak untuk bercermin: apa yang sudah saya siapkan untuk "hari esok" ketika menghadap Illahi? Apakah sebulan Ramadan kemarin menambah bekal pahala atau justru berlalu sia-sia?
Muhasabah ini penting agar saya tidak terjebak dalam zona nyaman beribadah ala kadarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: "Orang yang cerdas ialah orang yang mampu mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk kehidupannya setelah mati. Sedangkan orang lemah ialah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan (hanya) berangan-angan kosong terhadap Allah". Nasihat Nabi ini menyadarkan saya bahwa mengevaluasi diri sendiri adalah ciri orang beriman yang berakal. Alih-alih larut dalam penyesalan tanpa aksi, muhasabah harus melahirkan semangat baru untuk memperbaiki diri. Saya tidak ingin menjadi "orang lemah" yang pasrah pada hawa nafsu dan hanya berharap tanpa usaha. Justru, penyesalan di akhir Ramadan ini harus dijadikan cambuk motivasi untuk berubah.
Saya mulai memahami hikmah di balik rasa kurang puas terhadap ibadah sendiri: itulah tanda Allah masih sayang dan ingin saya meningkatkan kualitas iman. Jika setelah Ramadan kita langsung puas dan bangga dengan amal yang ada, mungkin justru itu pertanda kesombongan spiritual. Rasa khawatir bahwa ibadah kita belum tentu diterima Allah itu sehat, selama diiringi harapan (raja') akan rahmat-Nya.Â
Seorang ulama pernah berpesan, "Berimanlah bagaikan berada di antara khauf (takut) dan raja' (harap)". Takut jika amal tidak cukup, namun tetap berharap Allah menerima taubat dan usaha kita. Maka saya pun berdoa, semoga Allah menerima sedikit amal saya di Ramadan lalu dan memaafkan kekurangan-kekurangannya. Selanjutnya, tibalah saatnya menyiapkan strategi agar Ramadan berikutnya lebih bermakna.
Tekad Menyambut Ramadan Mendatang
Dengan sisa umur yang entah sampai kapan, saya memohon kepada Allah agar diperkenankan bertemu Ramadan 1447 H nanti dalam kondisi yang lebih baik. Sejak sekarang, saya berniat melakukan persiapan agar kesibukan dunia tidak lagi menjadi alasan untuk lalai. Jika Allah mengaruniakan usia hingga Ramadan tahun depan, aku berjanji pada diri sendiri untuk meningkatkan kualitas ibadahku. Beberapa tekad dan resolusi yang ingin saya wujudkan menjelang dan saat Ramadan datang kelak antara lain:
Memperbaiki manajemen waktu dan stamina. Saya akan belajar mengatur jadwal harian supaya rutinitas pekerjaan dan ibadah bisa seimbang. Prioritas akan saya ubah: waktu shalat dan tilawah harus diutamakan meski pekerjaan sedang banyak. Saya juga akan melatih fisik dengan menjaga pola tidur dan rutin puasa sunnah di bulan-bulan sebelumnya, sehingga ketika Ramadan tiba, tubuh sudah terbiasa dan tidak mudah lelah.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah rutin. Mulai dari sekarang, saya bertekad memperbanyak tilawah Al-Qur'an tiap hari, memperkuat shalat sunnah seperti tahajud dan dhuha, serta membiasakan dzikir pagi-petang. Tujuannya agar saat Ramadan nanti, melakukan ibadah-ibadah tersebut secara intensif bukan lagi hal yang berat. Saya tak ingin lagi melewatkan malam-malam Ramadan tanpa qiyamul lail. Dengan latihan sejak dini, insyaAllah tarawih dan tahajud sepanjang bulan puasa bisa lebih khusyuk dan konsisten.