Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menjejak Masjidil Aqsa di Suatu Senja Ramadan

21 Maret 2025   23:03 Diperbarui: 26 Maret 2025   21:52 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Yasir Grbz (Pexels)

Sambil menunggu waktu menjelang Maghrib, saya sempatkan berkeliling ke sisi timur kompleks, di mana terdapat area terbuka menghadap Bukit Zaitun di kejauhan. Pemandangannya sangat indah dan menentramkan. Beberapa kelompok jamaah tampak duduk melingkar di lantai halaman, mungkin mengikuti kajian atau berbincang santai sambil menunggu waktu berbuka puasa. Saya pun bergabung duduk di dekat situ, bersandar pada pilar batu sambil memejamkan mata sejenak. Terlintas dalam doa saya: semoga kedamaian selalu menyelimuti tempat ini, dan semoga saya diberi kesempatan kembali lagi di lain waktu. Di sela lantunan dzikir, saya masih dapat merasakan mata saya basah, rupanya air mata kebahagiaan belum benar-benar kering sejak pertama kali masuk tadi. Sulit dipercaya bahwa impian spiritual bertahun-tahun lamanya untuk berziarah ke Baitul Maqdis akhirnya terwujud hari ini.

Meninggalkan Area Saat Matahari Terbenam

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Langit barat mulai berubah warna keemasan dan oranye, menandakan senja telah tiba di kota Yerusalem. Matahari hendak terbenam, cahayanya memancar lembut di ufuk dan perlahan membayang di balik kubah-kubah masjid. Pelataran Masjidil Aqsa pun bermandikan sinar jingga yang syahdu, menghadirkan siluet indah Kubah Emas bersanding dengan kubah abu-abu Masjid Qibli di kejauhan. Suasana menjelang Maghrib di kompleks ini terasa semakin khidmat. Angin sore bertiup membawa aroma khas Ramadan, saya dapat mencium wangi teh dan roti dari arah gerbang, barangkali para penjaga dan jamaah lokal tengah bersiap menyambut waktu berbuka puasa.

Beberapa saat menjelang adzan Maghrib, saya memutuskan perlahan melangkah menuju pintu keluar kompleks. Sebenarnya hati ini enggan beranjak; tiap sudut Masjidil Aqsa seolah menahan saya dengan pesonanya. Namun, saya harus kembali ke penginapan untuk ifthar bersama rombongan perjalanan. Sambil berjalan meninggalkan halaman, saya menoleh berulang kali, merekam pemandangan masjid suci ini dalam ingatan sedalam mungkin. Di depan gerbang keluar, saya hentikan langkah sejenak. Matahari telah hampir sepenuhnya tenggelam, hanya meninggalkan semburat ungu di langit barat. Dalam remang senja itu, kompleks Masjidil Aqsa tampak berkilau temaram, memantulkan sisa cahaya terakhir hari itu. Hati saya kembali bergemuruh oleh haru. Saya sadar, setiap detik di tempat ini adalah anugerah yang tak ternilai.

Sebelum melangkah keluar, saya menengadahkan tangan, memanjatkan doa terakhir di pelataran masjid: "Ya Allah, terima kasih Engkau telah mengundang hamba ke sini. Terimalah semua ibadah dan air mata syukur kami di tempat ini. Lindungilah Masjidil Aqsa dan saudara-saudaraku di sini. Izinkan hamba kembali lagi di masa datang..." Doa itu saya akhiri dengan sapuan wajah. Dengan berat hati namun penuh rasa syukur, saya melangkah meninggalkan Masjidil Aqsa. Air mata mengalir deras di pipi, namun kali ini bukan semata karena sedih berpisah, melainkan karena bahagia dan bersyukur telah diberi kesempatan menapaki salah satu tempat tersuci di muka bumi. Di dalam dada saya, ada perasaan hangat yang sulit dijelaskan, perpaduan antara takzim, haru, dan kedamaian yang sangat dalam.

Menuruni anak tangga terakhir gerbang, saya menoleh sekali lagi ke arah Masjidil Aqsa yang kini terselubung cahaya lampu dan remang senja. Pemandangan itu sungguh bagai lukisan hidup yang agung. Kubah emas Masjidil Aqsa masih memantulkan cahaya sisa matahari, seolah melambangkan bahwa harapan dan doa-doa kami dari tempat suci ini akan terus bersinar hingga ke langit. Dalam hati saya berjanji, saya akan mengenang hari ini sepanjang hidup, hari di mana impian spiritual saya terwujud, hari di mana setiap langkah disertai air mata haru, dan hari di mana saya merasakan kedekatan dengan sejarah para nabi sedekat detak jantung saya sendiri. Masjidil Aqsa perlahan menjelma menjadi bayangan di belakang punggung ketika saya meneruskan langkah ke luar kompleks. Namun, ruh spiritual dan kenangan suci dari pengalaman pertama di Masjidil Aqsa ini akan selalu hidup dalam sanubari, menjadi cahaya penerang iman saya selamanya.

________

Catatan: Kisah fiksi ini ditulis setelah membaca berbagai tulisan pengalaman spiritual para ahli dan peziarah serta data sejarah dan arsitektur Masjidil Aqsa. Seluruh fakta mengenai keutamaan, sejarah, dan detail Masjidil Aqsa didukung oleh literatur terpercaya demi memperkaya makna dan konteks narasi. Semoga pembaca dapat turut merasakan secercah suasana sakral dan keagungan Masjidil Aqsa melalui rangkaian kata di atas. Semoga pula, harapan untuk mengunjunginya tumbuh semakin kuat di hati yang membacanya. Allahu Akbar, tiada kata yang pantas terucap selain puji syukur ke hadirat-Nya atas karunia perjalanan penuh makna ini. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun