Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Nur] #5 Kecanduan Jajan

4 Januari 2016   09:56 Diperbarui: 4 Januari 2016   10:18 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  ilustrasi

“Pak, jajan, pak?”

Anak itu sekali lagi memastikan permintaannya. Ia tak berpikir apa-apa kecuali pasti sebentar lagi ayahnya akan memberinya uang untuk jajan, maka ia tampak meringis dan berseri. Terbayang dalam pikirannya jajanan yang bisa diraupnya di warung Mbak Ikah di ujung jalan dusun. Sekian detik menunggu, ternyata sang ayah hanya melihatnya saja dengan dingin. Tak menjawab, tak pula segera memberinya uang jajan.

“Makan saja di dalam,” Tarjo menyahut pelan. Dalam hatinya ia berharap anak bungsunya menghentikan permintaannya.

Tapi yang diharapkannya mendapat reaksi dalam wujud lain. Mandon seketika merajuk dengan melemparkan tas sekolahnya ke halaman. Mengambil kerikil atau pecahan genting untuk melempari ayahnya.

“Jajan!” teriak si bungsu dengan muka sedemikian kecut dan marah. Matanya mulai merah dan tak sampai hitungan sekian detik, tangisnya pun pecah dan diikuti dengan lemparan-lemparan membabi buta.

“Jajan!” teriaknya sambil terus melempari ayahnya sejadi-jadinya. Bilamana kerikil atau pecahan genting di tangannya habis, ia memungut lagi untuk langsung dilemparkan pada ayahnya. Ia selalu berhasil dengan mendapatkan uang jajan cara itu. Tapi sepertinya kali ini tidak. Ayahnya tak tampak ingin segera memberikan apa yang dimintanya. Ia berpikir harus merajuk lebih keras.

Nang, nang..,” Tarjo berusaha menghindari lemparan demi lemparan anak bungsunya sekaligus berusaha membujuk. Ia benar-benar sadar bahwa Mandon terlanjur sulit direm. Kebiasaannya menuruti semua keinginan anak-anaknya justru telah membuatnya tak mendapat pengertian dari anak-anak itu sendiri. Ia sadar kalau dirinya tak didengar mereka. Ya, mereka tak mendengarnya kecuali ia yang harus mendengar permintaan-permintaan mereka. Tarjo merasa ngeri membayangkan apa yang akan dilakukan anak-anaknya lima atau enam tahun lagi jika permintaannya tak dituruti. Tentu mereka akan lebih berani.

“Pokoknya jajan!” Mandon terus mengamuk.

Merasa lemparan-lemparannya tetap tak menghasilkan uang jajan, Mandon meningkatkan protesnya. Ia memunguti batu-batu yang lebih besar dan melemparkannya ke pintu rumah, jendela. Tarjo tak bisa menahan diri, dengan segera ia menghambur kepada anaknya yang tengah mengamuk. Anak itu ditangkapnya kemudian diangkat dan dibanting  ke tanah. Bukan tangis anak bungsunya saja yang kian menjadi, melainkan semakin besar amarahnya. Ia tak terlihat takut atau ciut karena dibanting ayahnya. Ia justru berdiri dan memaki-maki ayahnya di sela tangis hebatnya.

“Asu!” makinya kepada ayahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun