Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Nur] #2 Perawan Si Pelayan

16 Desember 2015   14:11 Diperbarui: 16 Desember 2015   21:55 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Apalagi anakku, Sih, Danisih. Kaos kaki hilang sebelah, sepatu digondol tikus, pensil jatuh di kolong meja susah diambil, rebutan tempe, rebutan sendok, PR belum selesai, eh, suami bukan membantu, malah plola-plolo sambil merokok, hhheeehhh!” cerita Munifah suatu hari.

“Sama, tadi aku sampai melempar ember karena anak dan suamiku rebutan mandi lebih dulu!” timpal Poniatun.

Ya, berbeda. Membicarakan pagi dengan mereka yang sudah beranak suami dengan seorang yang masih legan seperti Nur Saidah. Nur sendiri barangkali juga akan sama mengeluh jika punya anak dan suami. Jadi, Nur berbicara dengan hati-hati karena kenyataan hidup membuat perasaannya begitu peka. Tapi baiklah, membicarakan hal lain yang tak menyinggung perasaan siapa pun boleh jadi lebih baik.

“Kabarnya, Toko Wina sudah menaikkan gaji, ya?” Danisih mengalihkan pembicaraan. Topik ini tentunya akan lebih mengasyikkan untuk dibicarakan dengan Nur.

“Aku malah belum dengar, Yu,” sahut Nur.

“Sekarang UMR kan naik?”

“Kalau yang ingin menaikkan gaji bukan pemilik toko, selalu menimbulkan ketegangan. Tapi kalau pemerintah tak mengatur, pemilik toko juga sepertinya tak pernah ingin memakmurkan sedikit saja orang-orang yang setiap hari sudah membantu memakmurkannya,” sahut Nur.

“Ya, Nur, benar. Kemarin anak-anak di tempatku sudah bertanya pada Koh Bing Hauw, dan jawabannya hanya, “belsaballah sepelti saya sabal melihat kelja kalian yang menjengkelkan,” begitu katanya.”

Nur tertawa. Kata-kata majikan Danisih adalah jawaban yang sangat mengena. Ada pesan di sana bahwa hidup tak akan bisa lepas dari menuntut dan dituntut. Manusia bisa menuntut hak, tapi ia juga dituntut kewajiban. Dunia tak gratis, hak harus ditukar dengan kewajiban.

Perjalanan mereka sampai di jembatan gantung yang melintang di atas Sungai Progo. Beberapa puluh meter lagi mereka akan sampai di kampung Ngembik di mana jalan aspal berakhir dan ada mobil angkutan kota yang akan membawa mereka ke toko-toko di sepanjang Pecinan tempat mereka bekerja. Sebenarnya dari dusun mereka sudah ada jalan beraspal, tapi arahnya jauh menuju Kota Kecamatan Windusari dan berputar terlalu jauh. Sedangkan jika mereka mengambil jalan kricak ke arah jembatan gantung, maka mereka akan langsung menuju kampung Ngembik yang berada di pinggir kota. Satu jam lebih cepat.

Pada pagi seperti ini, banyak orang membutuhkan angkot untuk semua tempat tujuan kerja di kota, jadi boleh dikatakan angkot laris pada pagi hari dan selalu saja penuh sesak. Nanti sepanjang siang hingga waktu orang kembali dari tempat kerja, angkot sepi dari penumpang. Transportasi di kota kecil seperti Magelang hanya sibuk pada pagi dan sore hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun