Kantukku mendekapku dengan pelukan hangat dan nikmat pejam yang sangat. Mimpi melambai-lambaikan tangannya lagi, menawarkan banyak hal yang syahdu dan menyenangkan.
“Nur?”
“Yaaa...?"
“Ayo,”
Aku bangkit dengan kantuk yang masih menggayut dan mimpi yang membayangi. Dingin pagi seketika menyergap dari semua pori kulitku yang terbuka. Rasanya ingin menarik selimutku lagi.
“Sudah hampir Iqamah,” kata nenek lagi, “itu, suara theklek Mbah Kaji Sono sudah terdengar,”
“Ya, nek.”
Dingin udara nyaris tak tertahankan, masih harus ditambah dinginnya air yang mengucur dari selang kecil ke gentong di kiwan untuk wudhu. Hal yang membuatku menahan diri lagi di depan gentong berisi air itu. Kericik yang jatuh dari selang kecil yang mengacung di atas gentong seperti memperdengarkan ancaman menggigitnya dingin bila air itu menyiram kulitku, biar itu kulit jari telunjuk.
“Nur?”
Apa boleh buat. Semakin ditahan, nenek akan terus memanggilku. Air benar-benar seperti tusukan seribu jarum tajam di permukaan kulit yang wajib dibasuh dalam wudhu. Hampir tak tertahankan. Lalu setelah dingin itu benar-benar meresap ke dalam pori-pori, aliran darahku barangkali normal kembali. Kesadaranku memenuhi tempatnya lagi dan melenyapkan kantuk yang merajuk sejak tadi.
“Asshadualla ilaaha illallaahu wahdahula syarikalahu, waashaduanna Muhammadan ‘abduhu warrasuuluhu, Allahummaj’alni minattawwabiinawaj’alni minalmutathohhiriina waj’alni min ‘ibadikash shaalihiin...”