Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir

Praktisi rantai suplai dan pengadaan industri hulu migas Indonesia_______________________________________ One of Best Perwira Ksatriya (Agent of Change) Subholding Gas 2023____________________________________________ Praktisi Mengajar Kemendikbudristek 2022____________________________________________ Juara 3 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Umum Tingkat Nasional SKK Migas 2021___________________________________________ Pembicara pengembangan diri, karier, rantai suplai hulu migas, TKDN, di berbagai forum dan kampus_________________________________________ *semua tulisan adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

KPI yang Kehilangan Taji dan Lupa Koreksi Diri

14 Agustus 2019   11:03 Diperbarui: 14 Agustus 2019   11:09 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang Anda pikirkan ketika melihat tontonan di berbagai stasiun TV di Indonesia? Terlalu banyak konten tidak mendidik dan terkesan "picisan"? Atau terlalu banyak muatan politis terafiliasi kepada si pemegang saham perusahaan?

Fakta semakin banyaknya tayangan TV serta iklan yang bersliweran di stasiun TV yang dibumbui dengan unsur-unsur pornografi, pornoaksi, afiliasi politik, dan unsur-unsur tidak patut lainnya membuat masyarakat mulai jengah. 

Banyak dari masyarakat sekarang yang mulai beralih ke tontonan yang lebih berbobot dan memiliki kualitas yang mumpuni dengan cari berlangganan TV kabel dengan siaran TV luar, menonton Youtube ataupun berlangganan Netflix misalnya.

Kejengahan ini semakin menjadi-jadi ketika Agung Suprio, salah satu Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang notabene lembaga yang berhak untuk menjadi "polisi" bagi stasiun TV di Indonesia melemparkan wacana untuk mengawasi konten media digital seperti Youtube dan Netflix. 

Padahal, seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa KPI seperti tak bertaring dan tak bertaji ketika mengawasi stasiun-stasiun TV di Indonesia. Sampai dengan saat ini kita masih saja kerap menyaksikan tayangan yang tidak berkualitas dan tidak mendidik masih menghiasi layar kaca kita. Belum lagi banyak aduan masyarakat yang masih saja tak jelas tindaklanjutnya oleh KPI.

Melansir Remotivi dari periode September 2013 sampai Juni 2015 KPI tercatat mengeluarkan 408 sanksi bagi sejumlah program dari berbagai stasiun TV. Namun, nampaknya sanksi tersebut hanya menjadi angin lalu bagi stasiun-stasiun TV tersebut. 

Buktinya setelah itu mereka masih menyiarkan konten yang bermuatan politik praktis berpihak, pornoaksi, pornografi, narasi yang menyinggung SARA, bias gender, dan lain sebagainya. 

Di sisi lain banyak aduan dari masyarakat yang tidak ditindaklanjuti khususnya untuk konten yang bermuatan politik praktis, sangat minim kita dengar KPI memberikan teguran dan peringatan keras terhadap stasiun TV yang menghadirkan acara ataupun konten berafiliasi politik praktis dan memihak para pemiliki stasiun TV terkait.

Belum lagi polemik temuan oleh Ombudsman terhadap KPI tentang maladministrasi dalam pemilihan komisioner KPI. Dari tidak adanya petunjuk teknis dan SOP mekanisme seleksi calon komisioner sampai dengan tidak adanya standar penilaian baku terhadap kandidat komisioner KPI. 

Hal ini tentunya sangat berdampak nantinya bagi kualitas dan integritas dari calon komisioner KPI nantinya. Maka tidak heran jika masyarakat menduga KPI banyak diisi oleh orang-orang yang merupakan perpanjangan tangan pihak-pihak tertentu yang memiliki agenda.

Dari sisi aturan hukum pernyataan komisioner KPI untuk mengawasi konten media digital baru ini tentu tidak sesuai. Karena KPI di dalam Undang-undang Penyiaran No.32 tahun 2002 memiliki wewenang hanya mengawasi siaran televisi dan radio. KPI tidak memiliki kewenangan melakukan sensor terhadap sebuah tayangan dan melarangnya. 

Pernyataan iini juga sempat disampaikan oleh misioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono, saat menerima kunjungan mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara di Kantor  KPI Pusat pada 9 Mei 2019. "Bukan tugas dan kewenangan kami melakukan sensor karena kami dibentuk untuk mengawasi televisi dan radio yang bersiaran di frekuensi publik. 

Pengawasan kami pun baru dapat berjalan setelah tayang. Jadi sebelum tayangan tersebut disiarkan di lembaga penyiaran adalah tugas lembaga sensor film dan internal lembaga penyiaran tersebut yang memiliki kewenangan sensor," jelas Mayong. 

Pengawasan konten digital tersebut harusnya dilakukan oleh Kemenkominfo, seperti yang diungkapkan oleh Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Ferdinandus Setu.

Sebenarnya jika kita melihat Youtube dan Netflix, mereka sendiri sudah memiliki aturan tentang batasan konten untuk dewasa dan hal-hal saru lainnya. Bahkan untuk Netflix yang berbayar hal  tersebut membutuhkan password tertentu untuk mengaksesnya. Hal tersebut untuk meminimalisasi kemungkinan anak-anak dibawah umur mengakses Netflix terutama untuk konten-konten dengan rating dewasa.

Harusnya lembaga-lembaga terkait semisal Komisi I DPR RI yang membidangai bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen serta Presiden perlu dengan segera menegur KPI untuk memperbaiki citranya, jika perlu khusus untuk pelantikan komisioner KPI 2019-2022 untuk ditunda sampai laporan Ombudsman ditindaklanjuti. 

Mereka juga perlu untuk mengungkap kinerja KPI secara terang  benderang di tengah publik, agar masyarakat terinformasi bagaimana KPI bekerja dan memperbaiki dirinya.

Selain itu juga dari internal KPI seharusnya dapat lebih fokus terhadap pekerjaan mereka saat ini tanpa perlu melewati batas untuk mengatur hal-hal yang seharusnya tidak perlu mereka kerjakan. 

KPI harusnya perlu membuktikan integritas dan kapasitas mereka sebagai lembaga yang independen yang bebas akan kepentingan dan agenda-agenda politis. Mereka juga harusnya dapat lebih memberdayakan lagi anggotanyya termasuk KPID-KPID yang berdomisili di daerah untuk meningkatkan kinerja mereka. 

Mereka harus lebih mendengar keluhan masyarakat dan menegakkan aturan secara tegas, sehingga jangan ada lagi peringatan terus menerus tanpa perbaikan dengan masalah dan program serta stasiun TV yang sama.

KPI kembalilah untuk menjadi BERTAJI bukan hanya MENGGIRING OPINI apalagi nantinya berujung CACI MAKI, karena masyarakat saat ini sudah pintar dan mendapatkan banyak INFORMASI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun