Mohon tunggu...
Aditya Firman Ihsan
Aditya Firman Ihsan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

deus, homines, veritas

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Just Go(d) - Bagian 5

3 Agustus 2014   22:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:31 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Satu lagi sore yang cerah. Tak ada yang berbeda. Kicau burung berdendang, nyanyian serangga musim kemarau, mesin kendaraan menderu-deru, tawa dan percakapaan masyarakat, dan... bangku di taman yang diduduki seorang wanita.

Aku mendekat.

“Han... Kau datang.“ Ia menoleh ketika menyadari kehadiranku. “Aku menunggumu.”

Aku diam sejenak sebelum kemudian duduk, seperti biasa. “Hm? Biasanya memang aku datang kok. “

“Hm hm, kau memang selalu datang, di saat orang lain menghindariku. “

“Jangan gombal.” Jawabku datar.


“Kau punya selera humor yang rendah ya?”

Aku mengambil buku dari tas, entah akan benar-benar aku baca atau tidak. “Lupakan.”

Hening mengisi kami berdua. Aku pura-pura membalik-balik halaman buku, padahal konsentrasi tak kunjung ku dapatkan. Selalu menunggu untuk memulai pembicaraan.

“Kau tahu han?” Ia akhirnya yang memulai. “Kemarin aku membaca suatu buku cerita china klasik. Ia menceritakan bagaimana seorang pemuda pergi berkelana meninggalkan rumah untuk mencari kebenaran dan mendapatkan pencerahan. “

Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan.

“Ia pergi dari satu kota ke kota lain, belajar dari satu kuil ke kuil lain, tapi ia tak temukan apa pun. Hatinya masih selalu gelisah dan selalu merasa ada yang kurang. Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang biksu.

“Biksu itu berkata, ‘anak muda, hatimu bersih dan masa depanmu cerah, tak usahlah kau habiskan hidupmu dengan sia-sia. Pulang lah, kau akan temukan kebenaran di sana.’

“Walaupun bingung, pemuda itu menurut dan pergi pulang ke rumah, ia masih merasa perjalanannya belum membuahkan hasil, hingga ketika ia tiba di pintu rumah... Ibunya keluar menangis dan langsung memeluknya. Betapa khawatirnya ibu itu akan keadaan anaknya yang pergi tanpa kabar. Seketika pemuda itu mendapat pencerahan, dan ia habiskan sisa hidupnya di rumah untuk merawat ibunya dan berbakti pada lingkungannya.“

Aku membisu. Berusaha mencerna. Bingung menanggapi apa.

Ia melanjutkan “Sedikit mengingatkanku akan sesuatu. Terkadang sebenarnya yang kita cari berada tidak jauh dari kita.”

“Terkadang... “ Aku mencoba menjawab, namun tak ku tahu harus melanjutkan apa.

Ya, terkadang, tak pernah ku sadari akan semua yang aku cari. Toh apa sih yang aku cari? Sekali lagi pikiranku bergejolak.

“Oh ya han... Mungkin ini terakhir aku di sini, orang tuaku mau memindahkanku ke kota asalnya. “ Suara Asa terdengar lagi memutus keheningan.

“...jadi?”

“Yaa, farewell. Payah. “

Aku tertawa kecil. “konyol, emang kau siapa?”

“Hanya manusia yang sedang mencari makna...“ Ia melirikku sambil tersenyum.

“...di ujung perjalanan” kataku melanjutkan.

“Memang biasanya kesimpulan itu di akhir kan?” Matanya melirik kembali.

Aku mengangguk. “Hmm? Memang, pada akhirnya proses tidak butuh apa-apa.“

“Cukup nikmati saja.“

“Tapi tetap butuh pemaknaan.“

“Di usiaku yang singkat ini, makna apa yang bisa ku ambil?”

Aku mengangkat bahu. “Entahlah. Kau yang punya hidup. Sesingkat apapun itu, human’s existence is never without meaning”

“Hei han.” Ia diam sejenak. “kau percaya takdir?”

“Belum ku putuskan, itu hal yang rumit. Apalagi bila kau memahami bagaimana waktu bercabang di dimensi kelima, atau bagaimana sesuatu itu ‘ada’ sebagai efek dari tindakan observasi pada objek kuantum.”

“Dengan pemahaman umum han, pikiranmu yang membuatnya rumit. Lama-lama aku bersyukur aku tidak terlalu mengerti banyak ilmu.”

Aku terkekeh. “Begitulah, tapi aku sempat membaca suatu hal yang menarik mengenai itu.  Hmm...”

Pikiranku mengingat-ingat. Terlintas sejenak suatu hal yang membuatku langsung mengambil tas. “Sebentar, sepertinya aku bawa bukunya.”

“Ah ini dia. Tulisannya Lie Zu. Dalam bukunya mengenai Tao, ia sempat menulis suatu percakapan antara Usaha dengan Takdir.” Aku membolak-balik sebuah buku kecil hingga akhirnya berhenti pada suatu bagian.

“Pada suatu hari Usaha berkata pada Takdir, ‘Pencapaianku lebih besar daripada pencapaianmu.’ Takdir  tidak setuju. Ia segera menantang, “Apa yang telah kau lakukan sehingga pencapaianmu melampaui aku?’

Aku melirik Asa sejenak sebelum lanjut berbicara. Ia sepertinya serius mendengarkan.

“Usaha menyahut, ‘Apakah seseorang berumur panjang atau mati muda, kaya atau miskin, berhasil atau gagal, tergantung padaku.’ Takdir langsung menukas, ‘Kepandaian Si Tua Peng  tidak sebanding dengan kepandaian Kaisar Yao dan Kaisar Shun, tapi ia berumur panjang dan hidup sehat. Di lain pihak, Yen-hui, siswa Konfusius yang terbaik meninggal pada usia 18 tahun. Kebajikan Konfusius jauh melampaui para tuan tanah. Tapi, dibandingkan para tuan tanah itu Konfusius miskin dan papa. Kaisar Shang-t’sou kejam dan biadab tapi hidup makmur dan berumur panjang. Sebaliknya, para menterinya yang penuh kebajikan justru mati mengenaskan. Ada seorang pria yang mengorbankan kekayaan dan keberuntungannya agar adiknya bisa bekerja pada tuan tanah Cheng. Orang ini tetap miskin dan tidak dikenal sepanjang hidupnya. Lalu ada orang lain yang tidak punya kebajikan maupun kemampuan dan menjadi tuan tanah Chi’i.Bagaimana dengan Po-Yi dan Shu-ch;i yang mati kelaparan di gunung karena tidak mau menjual kejujuran dan kehormatan mereka untuk melayani tuan tanah musuh mereka? Apa yang bisa kau katakan tentang pejabat-pejabat korup yang kaya serta orang-orang pekerja keras yang miskin?’”

“...dan bagaimana dengan seorang wanita muda tanpa daya harus segera meninggalkan dunia di saat anak-anak lain masih bisa melihat cerahnya masa depan.”

Aku berhenti. Tak ku sangka ia akan menanggapi seperti itu. Aku menatapnya beberapa detik, hingga akhirnya ku putuskan untuk lanjut membaca.

“Usaha tak menyangka pernyataannya dihujani bukti-bukti bertubi-tubi. Dahinya berkerut. Namun, Takdir melanjutkan, ‘Jika kau seefektif yang kau katakan, mengapa tak kau buat para pekerja keras menjadi kaya? Mengapa tak kau beri orang yang penuh kebajikan dengan hidup makmur dan umur panjang? Mengapa orang pandai dan terampil menganggur serta mengapa orang bodoh mendapat tempat penting di pemerintahan?’

“Dihadapkan tantangan ini Usaha tak bisa berkata apa-apa. Dengan malu-malu ia berkata pada Takdir, ‘Kau benar. Aku tak berdampak terlalu besar. Tapi aku berani berkata bahwa banyak hal terjadi karena kau berniat mengacaukan, memutar balik takdir orang-orang dan menikmatinya.’  Takdir lalu berkata, ‘Aku tidak bisa memaksa arah terjadinya suatu hal. Aku hanya membuka pintu agar mereka bisa lewat. Jika sesuatu berjalan lurus, aku akan membiarkannya mengikuti jalan yang lurus. Jika sesuatu berbelok, aku tidak menghalanginya. Tak sesuatu pun, tidak kau atau aku, bisa mengatur arah jalan suatu hal. Umur panjang atau pendek, kaya atau miskin, berhasil atau gagal, untung atau sial, semua datang dengan sendirinya. Bagaimana aku bisa mengarahkan suatu kejadian atau bahkan tahu di mana suatu hal akan berakhir?”

Aku menutup buku yang ku pegang. Menatap lurus ke depan, sekali lagi membiarkan semua citra gambar itu bertubi-tubi memasuki mataku yang kosong, berusaha menyerap tiap keadaan. Tak ada satu pun dari kami yang berbicara setelah itu. Menyerap tiap makna dalam semesta pikiran masing-masing.

Satu menit. Dua menit. Waktu jadi terasa sangat lambat dengan matahari yang terus tenggelam di horizon, membelah gedung-gedung dalam pancaran hangat yang mengagumkan. Masih saja hening. Aku tak tahu harus bicara apa. Aneh, ribuan suara sedang bercampur di taman saat itu, namun tetap saja terasa hening. Pikiran pada akhirnya memang sebuah batas antara diri dengan dunia luar.

“Hey,” Akhirnya Asa bersuara, dengan intensitas yang hampir tidak tertangkap telingaku.

“Ya?” Spontan aku menjawab.

“Terima kasih.“

“Atas?”

“Entah, atas penyadaran padaku selama ini akan makna hidup.”

“Apa? Aku tak melakukan apa-apa. Itu cuma perasaanmu.”

“Mungkin... mungkin memang cuma perasaanku. Tapi memang hidup adalah persepsi kan?”

Aku tertawa. “Jadi nikmatilah sa, tak usah terlalu serius dalam segala hal. Bisa mati penasaran kamu ntar.”

“Aku takkan penasaran. Bukankah bertemu Tuhan sudah menjadi kepuasan terbesar manusia?”

“Mungkin“

Mata kami menatap hampa ke depan. Melihat apapun yang bisa dilihat apa adanya. Tanpa interpretasi, tanpa persepsi.

“Ni untukmu...“ Tiba-tiba ia mengulurkan sebuah buku bersampul merah padaku. Baru ku sadari bahwa sedari tadi ia memegang sebuah buku kecil di pangkuannya. “Akhir-akhir ini aku jadi sering menulis, mungkin isinya bisa bermanfaat buatmu. Kau senang membaca apapun kan?”

“Wah sa, aku jadi baca curhatan orang ni.“ Aku tersenyum. Menerima buku itu, lalu ku tatap sejenak.

“Tak apalah. Toh siapa lagi yang akan membacanya jika bukan orang seperti dirimu?” Ia menoleh padaku. “Sudah ya Han, aku mau dijemput. Lagipula memang sudah sore.”

“Eh?” Mataku beralih dari menatap buku yang ku pegang ke arah Asa di sebelahku. Mata kami saling menatap. Wajahnya terias cipratan kuning matahari sore. Proporsi yang tak bisa ku jelaskan. Entah kenapa tiba-tiba ia terlihat berbeda.

Mendadak ia memegang tanganku. Erat.

“Kau, yang memiliki banyak kesempatan, merupakan harapan bagi mereka yang hidupnya terbatasi.” Ia tersenyum, lebih lebar dari biasanya. “Jangan khianati mereka. Baik-baik ya. Semoga hidupmu ke depan menyenangkan.”

Entah berapa lama momen itu menjelang. Semuanya benar-benar terasa melambat. Hening mencapai puncaknya. Yang ku tahu hanyalah untuk pertama kalinya seorang wanita selain ibuku menggenggam tanganku. Matahari dari jauh seakan menonton kami dengan lampu sorot raksasa.

Aku tak bisa menghitung waktu. Yang jelas beberapa saat kemudian ia melepas genggamannya, beridiri, dan kemudian berjalan melewatiku. Kalimat terakhir yang ku dengar dengan suara lirih yang intensitasnya seakan mendekati batas infrasonik adalah “Sampai Jumpa...”

Aku masih terpaku selama beberapa saat. Berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Hingga kemudian aku menoleh, Asa sudah tidak ada di manapun. Aku tak tahu berapa lama aku membeku tadi, yang jelas tak ada tanda-tanda Asa di seluruh taman ini.

Sedikit bertanya-tanya. Akhirnya ku putuskan untuk tidak mengambil pusing.

“Jika kau memang hanya akan pergi sa, semoga kau bertemu dengan Yang kau harapkan.” Aku menatap kejauhan. Bayang-bayang mulai memanjang dan beririsan satu sama lain.

Mengangkat bahu, aku beranjak pergi.

***

“Kopinya mas.” Penjaga warung itu menyuguhkan segelas kopi dengan uap masih mengepul di atasnya.

“Oh ya, makasih.” Jawabku sambil tersenyum, berusaha ramah. Aku tarik gelas kopi itu mendekat, walau sebenarnya merasa tidak pantas. Anak SMA minumnya sudah mulai kopi, keburu jantungnya pecah dengan kafein.

Langit sudah gelap total. Bahkan bintang pun tak menunjukkan eksistensinya. Entah karena mendung, atau karena polusi cahaya dari kota yang terang temaram, aku tak bisa memastikan. Suasana warung ‘angkringan’ itu cukup ramai mengingat sekarang adalah malam minggu, waktu di saat para remaja berkesempatan mengekspresikan kebebasan mereka. Berbagai tipe manusia dengan berbagai tipe kegiatan terhampar di kanan kiri. Asap rokok bercampur asap kendaraan memenuhiudara, membuat oksigen tersaingi untuk masuk ke rongga dada.

Sore itu aku tidak langsung pulang. Aku spontan ingin berjalan-jalan sendiri. Mumpung cuma ada kaki, bukan apapun yang beroda. Walau sudah ku beritahu melalui telpon, aku tidak terlalu peduli Ibuku akan mengkhawatirkanku atau tidak. Aku hanya ingin sendiri.

Maghrib menjelang. Setelah sedikit pergolakan batin, akhirnya aku shalat juga di sebuah masjid. Tanpa memikirkan apapun, aku laksanakan semua prosedurnya, mulai dari wudhu hingga tahiyat akhir. Ku perhatikan sekelilingku, berusaha menghayati dengan baik. Walau dalam persepsi awal mereka semua bagaikan hanya melaksanakan ritual, aku seperti melihat ada yang bergetar di hati mereka. Agak aneh sih, setelah shalat malah memperhatikan orang yang berdo’anya cukup lama. Penasaran, apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan.

Setelah merasa cukup, aku keluar dari masjid. Entah kenapa mataku langsung melihat sebuah gereja di seberang jalan. Baru ku sadari mereka bersebelahan. Ku pandang salibnya di atas atap. Aku teringat sebuah ayat dalam kitab Mazmur yang pernah ku baca saat dulu sering beribadah bersama bapak. “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindkan Engkau, ya Allah...” Aku tak ingat lengkapnya, tapi itu sedikit mengusikku akan sesuatu.

Ada dua tipe rindu, saat itu bapakku berkata, yang pertama adalah terhadap hal yang sudah pernah kau temui atau rasakan dan kau ingin menemuinya lagi, yang kedua adalah terhadap hal yang belum pernah kau temui sama sekali dan kau sangat penasaran ingin menemuinya.

Ku rasa aku merindukan Tuhan, tapi...

Ah sudahlah. Aku beranjak pergi, melanjutkan langkah kaki yang entah akan ku tuntun kemana. Aku biarkan pikiranku lepas, liar melayang-layang, mencari apapun yang bisa digenggam untuk dijadikan kebenaran. Membiarkan waktu membawaku kemanapun ia mau, entah atas nama takdir atau kehendak, yang berujung pada warung kecil ini.

Kopi di depanku sudah habis. Malam semakin larut. Sepertinya dimensi waktu pada pikiran berjalan dengan laju yang berbeda. Aku membayar apa yang sudah ku minum dan pergi.

Jalan semakin sepi. Tak ada suara selain roda berputar, tak ada cahaya selain lampu berpendar, tak ada citra selain mural dan coretan bergambar. ‘Menolak Perang Agama’, salah satunya tertulis. Pikiranku semakin bergejolak, aku melangkah terus. Terus dan terus. Pikiranku melarut semakin dalam dan dalam, seiring larutnya malam. Yang ku ingat berikutnya adalah...

“Han, bangun!”

Aku tersentak. Di badanku  masih melekat pakaian kemarin. Entah jam berapa aku pulang semalam, efek gejolak dalam pikiran. Jadi teringat bahwa Socrates pernah berpikir penuh tanpa bergerak selama 24 jam! Larut dalam keraguan dan pemikiran. Para prajurit di kamp di Potidaea bahkan terpukau dengannya saat itu.

“Duh kamu ini Han, tadi gak shalat subuh ya?”

Bahkan sepertinya aku tidak shalat Isya bila ku ingat lagi. Pemakluman agamawan baru. Belum menghayati tiap ajarannya.

“Eh? Iya bu. Ketiduran.” Aku terduduk, mataku mengedip-kedip. Menyesuaikan mata dengan kamar yang sudah mulai terang. Ibu membuka gorden lebar-lebar, membiarkanku sadar bahwa matahari telah melayang cukup tinggi. Aku berusaha merekonstruksi ulang apa yang terjadi semalam. Tak ada spesial yang terjadi, hanya jalan kaki yang terlalu jauh dan membuatku terlalu lelah, sehingga tidur bagaikan orang mati.

“Aduh, besok lagi sepertinya harus Ibu bangunkan tiap hari. Kemana aja juga kamu semalam.”

“Gak papa bu, cuma jalan-jalan. Sekali-sekali, mumpung sepeda lagi gak bisa dipakai.” Aku beranjak, merenggangkan badan.

“Ya sudah, yang penting sudah mengabari ibu. Itu diganti bajunya. Ada yang nyari kamu di depan.” Ujar ibu selagi melangkah keluar kamar.

“Eh?”

Belum sempat bertanya siapa, ibuku sudah pergi ke dapur. Ku lihat dari jendela sebuah motor terparkir di depan. Aku menerka-nerka. Jarang ada orang yang berkunjung ke rumah hanya untk menemuiku, apalagi teman sekolah, tak ada yang tahu dimana aku tinggal. Bergegas, aku merapikan diri dan melangkah keluar.

Seorang anak muda berdiri di depan pagar. Ia melambai. “Han! Ah, dasar pemalas, pasti kau baru bangun tidur.” Ujarnya begitu melihatku keluar.

Yang ku sadari pertama kali adalah rambutku masih cukup jadi indikator bahwa aku dalam keadaan baru bangun tidur, baru berikutnya ku sadari siapa anak itu.

“Ray? Darimana kau tahu rumahku?” Aku mendekatinya sambil merapikan rambut.

“Dari sini.” Ia mengangkat sebuah buku.

Aku memperhatikan apa yang sebenarnya dipegang Rayya. Butuh waktu beberapa detik untuk membuat otakku mengenali benda tersebut. Aku tersentak. “Itu...”

“Ini bukumu kan? Aku temukan di tumpukan barang bekas sepupuku kemarin. Aku cukup kaget melihat namanya, kebetulan alamatmu tertulis di sini.” Ia membuka halaman pertama dan memperlihatkan namaku tertulis jelas dipojok atas halamannya. “Dasar kau han, buku saja ditulisi alamat.”

Aku masih melongo. Berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Itu adalah novel yang ku berikan Asa beberapa waktu  lalu.

“Hei, ini benar bukumu kan?” Rayya bertanya lagi memutus rantai tanda tanya yang sedari tadi mengalir deras dalam lamunan sejak detik pertama melihat buku itu.

“Eh? Eh? Iya, iya, itu bukuku.” Ujarku spontan. “Tapi bagaimana mungkin...”

“Kau lupa telah meminjamkan buku ke orang lain? Kemarin kan aku pulang sekolah main ke rumah bibiku mumpung weekend. Kebetulan beliau lagi beres-beres rumah, jadi aku bantu. Nah ketemu ini deh.”

“Sebentar, siapa sepupumu Ray?”

“Ayolah, masa’ lupa dengan orang yang kau pinjamkan buku. Namanya Asa. Mungkin kau belum tahu, ia meninggal muda setahun yang lalu karena sakit keras. Tapi sepertinya ia belum sempat mengembalikannya padamu. Cukup wajar kau lupa. Aku hanya heran darimana kau mengenalnya. Asa termasuk introvert dan jarang bergaul dengan orang luar, apalagi setelah ia divonis akan berumur singkat.” Rentetan penjelasan Rayya membuatku tak bisa berpikir lagi.

Pikiranku mendadak sunyi. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.

“Helloo, Han? Kau baik-baik saja? Apa kau masih ngantuk?” Rayya mengibas-ngibaskan tangannya di depan mataku.

“Hm? Oh, eh, tidak kok... Iya kali jam segini masih ngantuk.”

“Nih, aku kesini cuma mau nyerahin ini kok.”

Aku menatap lama buku itu sebelum ku terima perlahan. Ku bolak balik buku itu, memastikan bahwa itu benar-benar buku yang ku berikan pada Asa. Memang benar. Ah, hidup memang terlalu banyak misteri. Aku menatap Rayya. Mengabaikan semua tanda tanya yang muncul.

“Makasih ray, aku bener-bener lupa pernah minjemin buku ini ke orang lain.” Aku terdiam sejenak sebelum melanjutkan. “Ngomong-ngomong, aku baru tahu kalau kamu punya motor.”

“Ah, ini punya bibiku, aku pinjam. Males juga jauh-jauh ke sini jalan kaki.”

“Habis ini mau kemana?”

“Mau ke wihara, terus mampir lihat-lihat kebaktian di gereja. Mumpung hari minggu, banyak yang lagi beribadah.” Ia tertawa. “Mau ikut?”

Aku menepuk jidatku keras. “Duh ray, kamu ni gak jelas banget lihat-lihat agama orang.”

“Mumpung masih muda, keraguan yang bergejolak. Jika ditanya besok saat mati tinggal jawab saja. Aku kan mencari Dia yang bertanya.” Ia terkekah. “Toh waktu itu nabi Ibrahim juga melakukan hal yang sama. Lebih baik kita pahami agama dengan cara kita sendiri daripada didoktrin pemikiran orang lain.”

“Seperti yang terjadi selama ini, agama turun temurun. Aku korbannya. Hati-hati saja Ray. Kebenaran sekarang sudah menjadi sangat absurd.”

“Jika kebenaran itu ada, jalan apapun yang diniatkan terhadapnya pasti akan menuju hal yang sama. Para atheis hanya orang-orang yang tersesat. Gak punya peta ataupun kompas, modal nekat.” Ia mendongak. “Memang benar kata Socrates bahwa hidup yang tidak pernah dipertanyakan adalah hidup yang tidak layak dijalani. Tapi ku sadari bahwa pertanyaan itu pun harus memiliki dasar, petunjuk, arah, dan... niat.”

Aku teringat akan penyebab bapakku meninggal. “Yap. Banyak orang tersesat karena niat awalnya sudah salah. Gak punya dasar pula.”

“Jadi mau ikut tidak? Kita berdialektikanya nanti saja kalau sudah dapat data dan informasi.”

“Ah, tidak Ray. Kau saja. Nanti tinggal kau ceritakan padaku. Jalanku adalah melalui sains dan ilmu murni. Banyak kesamaan pararel yang ku lihat antara sains modern dengan ajaran metafisik dari agama. Kita lihat Ray, jika memang kebenaran itu ada, seharusnya kita sampai pada titik temu yang sama.”

Ia tertawa. “Dasar kutu buku. Ya sudah, aku duluan ya.” Ia menaiki motor bebek yang terlihat tua itu dan menyalakan mesinnya. Suaranya terdengar seperti orang batuk.

“Hati-hati.”

“Assalamu’laikum.” Ujarnya. Motornya melaju perlahan menjauh.

“... Wa’alaikumussalam.” Aku menjawab pelan. Menatap wujud kecil Rayya dan motornya yang berbelok di ujung jalan.

Mataku beralih pada buku yang saat ini ku pegang. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mendadak aku merasa seperti tidak mengerti apa-apa akan dunia. Ketika aku berusaha mempelajari segala sesuatu terutama sains untuk mengerti bagaimana semesta ini bekerja, pada akhirnya sepertinya memang masih banyak yang belum ku ketahui, yang belum manusia pahami.

Pikiranku sedari tadi bagaikan menabrak tembok baja. Buntu. Yang ku lakukan hanya menatap terus kosong buku itu, mematung di pinggir jalan kecil.

Sudahlah. Waktu sekali lagi berputar dengan dimensi yang berbeda lajunya. Ibuku sampai memanggilku masuk daripada aku terlihat seperti hiasan depan rumah yang berbentuk manusia. Ku putuskan untuk tak ku pikirkan lagi.

“Aku tahu hidup memang penuh ketidakpastian, tapi yang ini... setahun yang lalu.” Aku menepuk jidaku. Tak habis pikir dengan apa yang terjadi, aku menatap sekeliling sejenak, berbalik, dan memasuki rumah.

***

“Setahun yang lalu??!!” Zen hampir seperti berteriak tepat di telingaku. “Ayolah Fin, plis. Kau bercanda.”

“Aku serius. Ngapain juga aku mengarang kisah hidupku sendiri.” Aku menatapnya lekat, memegang terlingaku yang agak mengeluarkan dengung. “Dan hati-hati kalau teriak di telinga orang.”

Kami masih lanjut berjalan sejak beristirahat sebelumnya. Kali ini tangan Zen tidak memegang makanan apapun. Ku rasa perutnya sudah bagaikan sup yang sedari tadi diisi berbagai cemilan pinggir jalan, walau aku yakin sebenarnya ia masih lapar.

Matahari sudah terbang rendah. Hanya tersisa bagian kecil dari cahayanya yang memancar. Siap beristirahat kembali dalam siklus tiada henti. Tanda waktu maghrib segera menjelang.

“Lalu tidakkah kau berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi?” Zen menggaruk-garuk kepalanya. “Aku masih bingung eh. Jadi sebenarnya kau bertemu setan? Arwahnya Asa yang belum tenang karena belum memahami makna hidup? Atau malaikat yang menyamar untuk memberimu hidayah? Atau hanya mimpi?”

Aku mengangkat bahu. “Zen, tidak semua hal di dunia dapat kau pertanyakan. Banyak hal yang hanya bisa kau pahami secara intuitif, melampaui semua bahasa.”

“Ah kau Fin. Lalu? Sudah?”

“Aku akhiri ceritaku di tempat yang sejak tadi kita tuju Zen.” Aku mempercepat langkah, Zen mengikuti. “Tapi sebelumnya kita shalat dulu. Itu ada masjid.”

Zen tidak menjawab. Berikutnya yang terdengar adalah suara merdu adzan berkumandang bersahutan dari berbagai masjid. Kami mempercepat langkah, melaksanakan apa yang seharusnya kami lakasanakan sebagai manusia beragama dan berTuhan.

Setelah beberapa menit periode yang menenangkan hati, kami duduk-duduk sejenak di tangga masjid. Sekedar menikmati suasana tenang menjelang malam.

“Hey Fin, kebenaran apa yang telah kau dapat selama ini?” Ia mendadak bertanya.

“Entah adanya Zen, tak bisa dipastikan. Mungkin benar karena dipercaya banyak orang, mungkin benar karena dibutuhkan untuk kesealarasan. Tapi kebenaran itu bisa menjadi benar saat kita meyakininya, dan menjadi salah saat mengingkarinya. Sama seperti agama dan Tuhan.”

Zen terdiam. Aku mengambil sepatuku mendekat.

“Sejak pertemuanku terakhir dengan Asa, aku mengalami gejolak yang amat sangat memabukkan hati dan jiwa. Semakin banyak yang ku pelajari, semakin ku sadari bahwa aku belum mengetahui apa-apa. Apalagi ditambah Rayya yang semakin aneh dalam pencariannya. Akhirnya aku sendiri tahu, Tuhan itu memang ada, dan seharusnya memang begitu. Terkadang sebenarnya yang kita cari berada tidak jauh dari kita. Tuhan ada di dalam diri tiap manusia, tinggal bagaimana kita mengimplementasikannya.”

“Ya, apapun agama yang kita miliki, yakinilah dan jalanilah sepenuh hati. Itu semua hanyalah jari yang berbeda menunjuk bulan yang sama.” Zen menyahut.

“Wah Zen, ada gunanya juga kau sering ku ajak ngobrol. Seperti dalam Qur'an, untukmu agamamu, untukku agamaku”

“Aku juga manusia yang bisa berpikir Fin.” Ia mengangkat bahu, kemudian mengambil kaos kaki di sepatunya. “Jadi mau kemana kita sekarang?”

“Tanya peta.”Jawabku singkat. Sepatuku sudah terpasang rapi di kaki.

Ia menghentikan geraknya, menatapku tajam. “Fin. Serius.”

“Lha kau bertanya seperti Dora saja. Kita ke sebelah.” Aku menunjuk sebuah tanah lapang di belakang masjid.

Zen melihat arah yang ku tunjuk. Tidak terlihat apa-apa selain kegelapan. “Heh? Apaan di situ?”

Aku berdiri. “Sudah, ikut aja. Cepat pake sepatumu.”

Tanpa berkomentar lebih lanjut, Zen mempercepat gerakannya memakai sepatu. Setelah selesai ia langsung berdiri, mendekatiku yang sudah berjalan duluan.

Tempat itu hanya diterangi oleh satu lampu di pojok luar masjid. Aku mengeluarkan handphone dan menyalakan fitur senternya. Kami terus berjalan memasuki tanah lapang itu.

“Astaga Fin, ini...” Zen cukup terkejut ketika menyadari ia berada di mana. Tanah itu memiliki banyak gundukan dengan batu bertulis di tiap gundukannya.

“Seharusnya kita sampe sini agak siangan sih. Gak enak juga ke kuburan gelap-gelap. Tapi ya sudah.” Aku mengarahkan senterku satu per satu ke batu yang menancap di tiap gundukan.

“Dan seharusnya kamu bilang dari awal kita mau kemana...” Suara Zen sedikit bergetar. Ia terus mendekat padaku.

“Ssst, ini masih sore Zen, dan di situ ada masjid, banyak orang-orang sedang mengaji juga. Gak usah takut.” Aku masih ke sana kemari mengarahkan senter. “Ah itu dia. Sini Zen.”

Kami mendekat ke salah satu nisan, berjongkok di kanan-kirinya. Aku mengusap-usap nisan yang tulisannya sudah mengabur itu, tertutup debu dan tanah. Di situ tertulis satu kata singkat diikuti dua tanggal di bawahnya. “ASA. 1 Juni 1990 – 21 Maret 2005”

“Eh, ia meninggal bahkan sebelum berulang tahun yang ke-15.” Zen menyeletuk setelah membaca nisan itu.

Aku menatap batu itu dengan seksama. Dikubur di sini seseorang yang cukup kuat menghadapi hidup yang singkat telah menjadi bagian kecil dalam hidupku. Aku bersihkan makamnya dari daun-daun. “Kita berdo’a dulu Zen.”

Kami berdo’a sejenak, hening dalam kegelapan. Dari jauh hanya terdengar samar-samar lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan dari masjid. Sumber cahaya satu-satunya yang paling dekat hanyalah handphone kami berdua. Hening dan sepi yang membuat semua memori itu menyatu kembali. Pikiranku mendadak menjadi sangat tenang.

Setelah kami selesai, aku mengeluarkan buku merah kecil yang sejak dari rumah aku simpan di kantong celana. Buku catatan yang dulu Asa terakhir berikan padaku, yang isinya memberikanku banyak kebijaksanaan hidup. Mungkin sebaiknya aku kembalikan pada yang punya.

“Fin...” Ucap Zen dalam keheningan. “Kau yakin masalah satu tahun itu?”

“Zen, kau tahu aku selalu menuliskan tanggal aku mendapatkan suatu buku pada tiap buku yang ku punya kan?”

Aku menatapnya sejenak. Tanpa berbicara lebih lanjut, aku membuka buku merah yang ku pegang di halaman pertama, menunjukkan padanya sebuah tanggal tertulis dipojok kanan atas.

Tertulis sedikit kabur dengan tinta biru : “22/05/2006”

Aku menutup buku itu, merapikannya. “Sekarang percaya?” Aku meliriknya sambil tersenyum.

Zen melongo begitu melihat itu. Ia seperti masih sulit mempercayai betapa banyak misteri dalam kehidupan.

“Zen, hal yang paling ku ingat dari Asa adalah bahwa kita semua yang punya kesempatan lebih ini, adalah harapan bagi mereka yang terbatas.” Kataku sambil mengeluarkan plastik bening dari kantong. “Itu berarti kita sekarang sedang memegang amanah setiap orang yang tidak memiliki kesempatan sama seperti kita.”

Aku masukkan buku itu ke dalam plastik bening dan merapikannya. “Aku teringat dulu saat mengikuti pendidikan militer. Hal yang sempat ditekankan oleh mereka adalah bahwa tugas dan tanggung jawab tidak bisa hilang, bahkan ketika yang mengemban itu pergi. Ketika seseorang yang mengemban suatu tugas pergi, secara fisik maupun mental, tugas itu dialihkan ke orang lain, walaupun itu artinya orang itu memegang tugas dobel. Dan salah satu slogan yang dibanggakan saat itu adalah ‘Tugasku kehormatanku’”

Zen terdiam, menyimak. Matanya kosong menatap tanah yang gelap. Aku merapikan buku Asa dalam plastik bening, menatapnya sejenak.

“Ketika banyak orang memiliki keterbatasan dalamhidupnya, entah itu keterbatasan umur, kesehatan, ataupun harta, kita yang memiliki lebih adalah harapan bagi mereka.”  Aku tersenyum. “Jadi kata siapa berumur panjang itu enak, tanggung jawab kita berkali lipat, meneruskan tugas mereka yang berumur lebih pendek.”

Aku menaruh pelan buku yang sudah rapi dengan plastik bening itu di atas makam, bersandar batu nisan. Sedikit ku tancapkan agar tidak jatuh, dan semoga plastik itu bisa melindunginya dari hujan. Sementara itu masing-masing dari kami diam, membiarkan sunyi kembali menguasai. Aku menghayati tiap keheningan itu. Setelah sekian lama akhirnya aku berkesempatan untuk mengunjungi makamnya, walau sekedar untuk mengembalikan buku yang sudah berulang kali ku baca.

Aku memejamkan mata, mengurai kembali perjalanan hidupku yang tidak terlalu panjang, mengurai kembali semua kebenaran yang telah ku perjuangkan. Ku buka mataku. Hampir tiada bedanya. Gelap menyelimuti.

Terkadang aku menyukai kegelapan. Ia simbol dari ketidakpastian, ia simbol dari misteri, ia menyimpan jutaan probabilitas yang membuat kita akan selalu bertanya-tanya. Bukankah itu yang membuat kita hidup? Aku terdiam dan berdiri.

“Tapi Fin, sebenarnya apa tugas manusia?” Zen ikut berdiri.

Aku menatap langit gelap tanpa ada cahaya sedikitpun, baik dari bulan maupun bintang. Namun dari sini terlihat jelas bahwa ini semua karena mendung, bukan polusi busuk yang diciptakan manusia dengan semua teknologi yang mereka ciptakan.

“Sederhana Zen... mencari makna.”

-Tamat-

(PHX)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun