Mohon tunggu...
Aditya Firman Ihsan
Aditya Firman Ihsan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

deus, homines, veritas

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Just Go(d) - Bagian 5

3 Agustus 2014   22:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:31 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Zen melongo begitu melihat itu. Ia seperti masih sulit mempercayai betapa banyak misteri dalam kehidupan.

“Zen, hal yang paling ku ingat dari Asa adalah bahwa kita semua yang punya kesempatan lebih ini, adalah harapan bagi mereka yang terbatas.” Kataku sambil mengeluarkan plastik bening dari kantong. “Itu berarti kita sekarang sedang memegang amanah setiap orang yang tidak memiliki kesempatan sama seperti kita.”

Aku masukkan buku itu ke dalam plastik bening dan merapikannya. “Aku teringat dulu saat mengikuti pendidikan militer. Hal yang sempat ditekankan oleh mereka adalah bahwa tugas dan tanggung jawab tidak bisa hilang, bahkan ketika yang mengemban itu pergi. Ketika seseorang yang mengemban suatu tugas pergi, secara fisik maupun mental, tugas itu dialihkan ke orang lain, walaupun itu artinya orang itu memegang tugas dobel. Dan salah satu slogan yang dibanggakan saat itu adalah ‘Tugasku kehormatanku’”

Zen terdiam, menyimak. Matanya kosong menatap tanah yang gelap. Aku merapikan buku Asa dalam plastik bening, menatapnya sejenak.

“Ketika banyak orang memiliki keterbatasan dalamhidupnya, entah itu keterbatasan umur, kesehatan, ataupun harta, kita yang memiliki lebih adalah harapan bagi mereka.”  Aku tersenyum. “Jadi kata siapa berumur panjang itu enak, tanggung jawab kita berkali lipat, meneruskan tugas mereka yang berumur lebih pendek.”

Aku menaruh pelan buku yang sudah rapi dengan plastik bening itu di atas makam, bersandar batu nisan. Sedikit ku tancapkan agar tidak jatuh, dan semoga plastik itu bisa melindunginya dari hujan. Sementara itu masing-masing dari kami diam, membiarkan sunyi kembali menguasai. Aku menghayati tiap keheningan itu. Setelah sekian lama akhirnya aku berkesempatan untuk mengunjungi makamnya, walau sekedar untuk mengembalikan buku yang sudah berulang kali ku baca.

Aku memejamkan mata, mengurai kembali perjalanan hidupku yang tidak terlalu panjang, mengurai kembali semua kebenaran yang telah ku perjuangkan. Ku buka mataku. Hampir tiada bedanya. Gelap menyelimuti.

Terkadang aku menyukai kegelapan. Ia simbol dari ketidakpastian, ia simbol dari misteri, ia menyimpan jutaan probabilitas yang membuat kita akan selalu bertanya-tanya. Bukankah itu yang membuat kita hidup? Aku terdiam dan berdiri.

“Tapi Fin, sebenarnya apa tugas manusia?” Zen ikut berdiri.

Aku menatap langit gelap tanpa ada cahaya sedikitpun, baik dari bulan maupun bintang. Namun dari sini terlihat jelas bahwa ini semua karena mendung, bukan polusi busuk yang diciptakan manusia dengan semua teknologi yang mereka ciptakan.

“Sederhana Zen... mencari makna.”

-Tamat-

(PHX)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun